Bab. 18

Cantika menyematkan selimut di tempat tidur Alisha.

"Ibumu akan tidur bersamamu sampai kau pulih lagi," kata Hanafi menjawab pertanyaan Alisha.

Cantika mulai merasa lega. Dia menatap Hanafi sejenak kemudian langsung mengalihkannya ketika Hanafi menangkap basah tatapan itu.

"Sudah mau Maghrib, kalian mau sholat berjamaah atau mau sendiri?" tawar Hanafi.

"Aku tidak bawa mukena," kilah Cantika.

"Ibu tidak pernah sholat 'kan?" timpal Alisha jujur membuat Cantika terdiam. Sekak mat untuk wanita itu. Wajah Cantika berubah menjadi pias seketika. Mendadak dia malu dengan kebenaran ini.

"Di ruang sholat masih ada mukena bersih, dulu Fa...." Hanafi tidak menerus kata-katanya.

"Uyun, adik iparku yang meninggalkannya sekarang dia ada di kampung bersama dengan Erick, adikku."

"Katakan saja Farida, aku tidak masalah dengan hal itu," balik Cantika.

"Dia juga." Hanafi memasukkan kedua tangan di saku. "Aku akan mandi, kau bisa bersiap sholat, jika mau, aku akan menunggu di bawah."

"Di lemari juga ada beberapa pakaian rumah yang bisa kau gunakan, semua masih baru."

Cantika mengangkat kedua alisnya ke atas. Hanafi sudah mempersiapkan semua hal untuk mereka bahkan sampai hal kecil seperti kamar yang Alisha gunakan ini. Dia tahu jika ini kamar anak Farida dulu karena masih ada lukisan dinding lama bergambar Mickey Mouse. Namun, semua sudah bersih dari hal yang berkaitan dengan Maulana.

Apakah Hanafi sendiri yang berinisiatif atau ada tangan Farida dibelakangnya? Cantika hanya bisa menebak tanpa tahu jawabannya. Biar waktu yang akan menjelaskan segalanya tentang niat pria ini.

Dia saat ini, Cantika hanya butuh tempat tinggal untuk sementara sampai urusan tentang kepemilikan benda terlarang di rumah ayahnya selesai. Setelah itu, mereka bisa menempatinya lagi, jadi dia tidak harus menumpang pada orang asing.

"Ibu jadi mau sholat?" tanya Alisha.

Cantika merasa tersentil dengan pertanyaan putrinya. Dia lalu mengangguk karena tidak mungkin baginya menolak di depan anaknya.

Cantika lalu pergi ke bawah, dia sempat berpapasan dengan Hanafi yang sudah siap dengan Koko dan Sarungnya. Pria itu memang bertambah gagah dengan pakaian itu. Auranya berbeda.

"Mau wudhu? Kau bisa gunakan pancuran dibelakang di dapur ada itu. Lalu gunakan sandal bersih setelahnya. Itu di rak sandal," tunjuk Hanafi.

Dengan langkah ragu, Cantika pergi ke dapur setelah sebelumnya memakai sandal yang ditunjuk Hanafi. Dia mencari tempat wudhu itu, setelah menemukan dia melihat ke sekitar, memastikan tidak ada Hanafi yang melihat.

Cantika yang tidak tahu caranya berwudhu lalu melihat tutorialnya di handphone sambil praktek tanpa menggunakan suara takut jika Hanafi tahu kebenarannya.

Selesai berwudhu dia membalikkan tubuhnya dan pergi ke tempat sholat di sebelah ruang tengah. Ruang tengah dan meja makan ada di dalam satu ruangan besar.

Hanafi sedang duduk menghadap kiblat sambil memegang tasbihnya. Penampilannya terlihat kalem jika seperti itu, tidak menakutkan seperti biasanya.

Di belakang pria itu sudah digelar sajadah dan mukena. Tanpa disuruh Cantika lalu memakainya. Dia lalu menjadi makmum pria itu tanpa tahu doa dalam sholat itu apa. Yang penting terlihat sholat dulu.

Entah mengapa, ketika bersujud ada rasa sedih yang teramat sangat. Mendadak air matanya mengalir tanpa bisa dia tahan. Sehingga Isak itu terdengar sampai sholat itu selesai.

Cantika tergugu di sana hingga tidak bisa mengatakan sepatah katapun.

Hanafi tersenyum lalu menyelesaikan dzikirnya. Membiarkan Cantika dengan hatinya.

Setelah selesai berdzikir Hanafi melipat sajadah yang dia kenakan. "Kau atau Alisha mau makan apa? Jangan meminta makanan hotel karena aku tidak akan ada di sini."

Cantika mengusap air matanya. Dia ingat Alisha pasti lapar karena ini sudah petang.

"Aku akan masak," ucap Cantika melipat mukenanya.

"Kau yakin bisa masak? Nanti kau malah membuat dapurku berantakan lagi. Aku lagi yang repot."

Cantika membesarkan mata seraya mencebik.

"Kau meragukanku?" kata Cantika bangkit.

Hanafi mengendikkan bahunya. Setidaknya wanita itu sudah berhenti menangis sekarang. Wanita itu pergi ke dapur.

"Kau punya apa di kulkas?" seru Cantika dari dalam dapur.

"Kau bisa lihat sendiri," ujar Hanafi ikut bangkit. Dia lalu berhenti di depan pintu dapur.

"Lengkap, kau terlihat sudah mempersiapkan semuanya," ujar Cantika.

"Bagaimana tidak siap-siap, ada Tuan Putri yang datang ke sini, aku takut dia bertambah kerempeng karena kelaparan. Kau tidak akan seperti papan lagi, lebih tipis dari itu, mungkin seperti secarik kertas yang mudah sobek."

Wajah Cantika memerah, dia ingat jika pernah dikatakan tubuh papan oleh pria itu ketika ada di tepi pantai.

"Jangan bahas itu!" kata Cantika.

"Apakah karena itu mengingatkanmu dengan kebodohanmu?"

Cantika melemparkan sebuah apel ke wajah Hanafi dengan kesal, tapi pria itu menangkapnya dengan mudah. Dia lalu menggigitnya dengan wajah mengejek. Cantika selalu saja mati kutu di depan pria itu.

"Aku akan membawa Alisha turun untuk makan," kata Hanafi.

"Biar nanti aku bawa ke atas."

"Dia pasti bosan di atas sendirian. Di sofa depan TV bisa kupasang kasur busa biar dia  santai dan kau bisa mengawasinya dari dapur."

"Terserah."

Hanafi menggelar busa lipat dan memasangkan sprai, lalu naik ke atas. Dia mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilahkan oleh Alisha. "Alisha, ibumu menyuruh Om untuk membawamu turun ke bawah."

"Tapi?"

"Om akan membawamu ke bawah, di sana kau bisa nonton TV sambil menunggu ibumu masak."

Alisha tidak menolak, ketika di tangga Alisha bertanya satu hal pada Hanafi.

"Memang Om sudah menikah dengan ibu?"

"Belum secara negara, tapi kemarin sudah melakukan akad dengan kakekmu. Kau mungkin belum faham karena umurmu masih kecil," jawab Hanafi.

"Tapi aku tidak ingin memanggilmu Ayah."

"Tidak masalah, Cantik. Kau boleh memanggilku sesenangmu."

"Apakah kau akan jadi ayah tiri yang jahat seperti cerita Cinderella?" tanya Alisha lagi. Hanafi menghentikan langkahnya.

"Cinderella itu punya ibu tiri bukan ayah tiri. Soal jahat atau tidak tergantung cara kau melihatku nanti. Kalau kau melihatku seperti monster, maka aku adalah orang jahat. Namun, jika kau melihatku seperti Superman, Batman atau Ironman, maka kau menganggapku adalah pahlawanmu."

"Aku tidak pernah lihat film Superman dan temannya, aku hanya tahu pangeran berkuda putih yang menyelamatkan Rapunzel dari penyihir jahat," balas Alisha.

Hanafi meletakkan Alisha dengan pelan di atas tempat tidur dan memasang bantal dibelakang punggung Alisha agar anak itu nyaman. Dia telah hidup bersama dengan Maulana selama lima tahun, dan anak itu selalu mencari sosok ayah dalam dirinya. Sedikit banyak dia tahu bagaimana caranya untuk menangani seorang anak

"Oh, maka aku adalah pangeran itu yang menyelamatkan kalian dari penyihir jahat."

"Siapa penyihirnya?" balik Alisha.

Hanafi menghela nafasnya. Haruskah dia mengatakan bahwa penyihirnya adalah neneknya sendiri Ira?

Terpopuler

Comments

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

hehew mmg patut klau Ira jadi penyihir jahatnya karna dia yg suka berlaku jahat dgn Farida juga suka mengajarkan Alisha hal" yg buruk hingga kelakuan Alisha pun jadi ikutan kaya Ira egois juga mau menang sndri

2023-06-13

0

Anggi Susanti

Anggi Susanti

ya betul penyihirnya adalah ira nenek alisha sendiri anak dan cucunya sdh baik² malah dihasut jadi jahat sdh tua gk sadar malah menjadi jadi....semoga alisha dan cantika cepat berubah sikap dan sifatnya dalam bimbingan hanafi

2023-06-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!