"Bukan seperti itu cara berwudhu yang benar. Kau bisa melihatku dan aku akan mengajarimu setelahnya."
Cantika merasa kikuk. Dia lalu melakukan apa yang Hanafi perintahkan tanpa membantah. Baginya ini adalah sesuatu yang baru karena dari kecil, dia tidak pernah belajar agama kecuali di sekolah. Bagi orang tuanya nilai akademis dan prestasi yang utama.
"Farida juga dulu sepertimu, tidak bisa beribadah sama sekali, jadi aku tidak kaget melihatnya."
"Dulu keluarga kami memang tidak mementingkan hal ini. Bagi Ayah Fadil, prestasi yang penting," jawab Cantika sedih ingat kembali dengan Fadil yang pernah jadi ayahnya.
Dia merasa bodoh karena mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan ibunya, yaitu membohongi putrinya kalau ayah kandung mereka adalah suami ibunya. Padahal tidak. Ternyata banyak sekali dosa yang dia lakukan hingga dia tidak tahu harus memulai tobat darimana.
"Prestasi penting, tapi agama itu modal anak untuk menjalani hidup dengan lebih baik lagi."
Cantika hanya diam, tapi dalam hatinya dia setuju.
Mereka lalu berada di tempat sholat. "Kau baca saja Alloh ... Alloh jika kau tidak hafal surat Alfatihah atau bacalah apa sebisamu sambil mengikuti gerakan yang kulakukan. Katakan amiin ketika aku mengatakan itu ketika sedang posisi berdiri. Alloh tahu usahamu untuk dekat dengan-Nya. Nanti kita akan belajar ini selama kau berada di sini."
Cantika melihat ke arah Hanafi dengan mata merah. Entah mengapa kata Hanafi menyentuh dirinya.
Mereka lalu melakukan sholat. Alisha yang berada di ruang sebelah melihat keduanya sholat bersama karena ruang sholat itu tidak ada penutupnya.
"Kalian seperti Ayah dan Ibu Lana ketika sholat bersama. Aku juga pernah ikut," celetuk Alisha setelah kedua orang dewasa itu mengucapkan salam terakhir.
"Sekarang tinggal Ibu cium tangan Om seperti ibunya Lana cium tangan Ayah setelah sholat. Begini Ibu," ucap Alisha mempraktekkannya sendiri.
Hanafi menyerahkan tangan kanannya. "Jika bukan karena Alisha, aku malas melakukannya!" lirih Cantika mencium tangan Hanafi.
"Setidaknya kau belajar jadi istri yang baik," sambung Hanafi.
"Istri darimananya, ini cuma sandiwara!" Cantika mengucapkan penuh penekanan di kalimat akhirnya.
"Tidak harus aku kan yang jadi imamnya, maksudku suami masa depanmu nanti."
Cantika memutar bola matanya malas.
"Kau mandi sana, badanmu bau masakan. Lagipula dari rumah sakit kau samasekali belum mandi."
"Kau itu tukang memerintah, lagipula terserah aku mau mandi atau tidak."
"Up to you, aku tidak akan memaksa. Jika kau nyaman dengan bau busuk di badanmu!"
"Aku lihat tidak ada kamar mandi di kamar atas."
"Di pojokan itu ada kan sebelah tangga."
"Pantas."
"Kamar mandi di kamar hanya ada di kamarku saja, kau sudah tahu 'kan? Kalau kau mau tinggal kau gunakan saja."
"Tidak ... tidak ... aku bisa menggunakan kamar mandi lainnya." Cantika lalu berjalan sambil mengangkat sedikit keteknya, untuk tahu apakah dia sebau itu hingga Hanafi mengomentarinya.
"Dasar cerewet!" gumam Cantika ketika naik ke kamar atas. "Alisha, Ibu mau mandi dulu, kau bersama dengan Om ya."
"Iya, Bu."
Beberapa menit kemudian terdengar teriakan dari arah lantai atas. Hanafi yang duduk bersama dengan Alisha terkejut dan langsung naik ke atas.
Di lorong, Cantika berlari dengan hanya memakai handuk lalu memeluk Hanafi.
"Tikus ... tikus aku takut sekali," katanya ketakutan.
Hanafi merentangkan tangannya dengan kaku. Wajahnya seketika menjadi pucat disertai kedua bola mata yang membesar.
"Hanya tikus, aku akan membuangnya," ucap Hanafi. "Kau lepaskan dulu pelukanmu. Aku tidak bisa bernafas."
Cantika membuka matanya. Dia lalu melepaskan pelukannya pada Hanafi, rasa malu tiba-tiba menghinggapinya ketika sadar jika dia hanya memakai handuk yang tidak bisa menutupi sebagian dada dan pahanya.
"Maaf," kata Cantika dengan wajah memerah. Dia kembali pergi ke arah kamar mandi tapi diurungkan karena teringat ada tikus di sana. Dengan cepat dia menghilang ke dalam kamar Alisha.
Hanafi menggelengkan kepalanya sambil mengusap dadanya. "Jika dia disini terus, akan bahaya."
Selama ini hidupmu tenang walau ada dua wanita di rumah ini. Namun, sekarang datang dua perempuan lainnya. Yang satu dewasa dan yang satu masih kecil. Yang dewasa ini selalu membuat masalah untuknya.
Tidak lama kemudian, Hanafi mengetuk pintu kamar Alisha.
"Kau sudah bisa menggunakannya. Tikus itu sudah mati dan kubuang."
Sebenarnya tidak, tikus pembawa masalah dan pembawa rejeki bagi Hanafi, kembali masuk ke tempat pembuangan air yang terbuka di kamar mandi.
Dia tidak bisa mengambilnya dan memilih untuk membiarkannya. Mungkin dia akan dapat rejeki lagi nanti. "Astaghfirullah," batin Hanafi memikirkannya.
Setelah diketuk berkali-kali Hanafi tidak mendapatkan jawaban. Dia lalu membuka pelan pintu kamar itu. Tidak terkunci dan tidak ada orang di sana.
Hanafi kembali turun ke bawah. "Kau lihat ibumu?" tanya Hanafi pada Alisha.
"Dia tadi masuk ke sana," tunjuk Alisha pada kamarnya.
Hanafi lalu masuk ke kamarnya. Tepat di saat itu, Cantika keluar dari kamar mandi. Seketika bau feminim menyeruak dan menyebar ke ruangan itu hingga ke ujung hidung Hanafi yang normal.
Hanafi kembali menelan salivanya kuat-kuat ketika melihat wajah segar Cantika dan helaian rambut basahnya. Dia mengusap wajahnya pelan sambil menunduk. Astaghfirullah, hanya kata itu yang dia ucapkan lagi.
Cantika seperti tidak merasa bersalah. Dia hanya mengernyitkan dahinya dan mendekati Hanafi.
"Kau kenapa?" tanyanya menyentuh bahu keras pria itu.
Seketika seperti ada aliran listrik yang menyengat di tubuh pria itu. Hanafi menegang di tempatnya. Wajahnya pun berubah menjadi kaku.
"Perutku mulas, aku mau ke belakang," jawabnya bingung. Dia langsung pergi berlari ke kamar mandi membuat Cantika menahan tawanya.
Dia tahu apa pikiran pria dewasa itu.
Setelah urusannya dikamar mandi selesai, Hanafi kembali ke ruang tengah. Di sana dia melihat Alisha sudah tertidur pulas dalam pelukan Cantika. Suasana gelap hanya cahaya dari layar televisi yang hidup.
Hanafi hendak mematikan televisi ketika mata Cantika terbuka.
"Aku akan membawanya ke atas," kata Hanafi.
"Jangan, dia ingin tidur di sini saja. Di atas sepi dan dia tidak mau ke sana."
"Kalau begitu dikamarku saja, di sini dingin."
"Kami biasa tidur di AC yang dingin dan udara sekarang terasa sangat panas, gerah walau sudah memakai kipas angin," terang Cantika.
"Kau benar, sangat gerah." Dulu dia tidak merasakan udah seperti ini, tapi baru sehari Cantika di sini saja sudah membuat dia panas dingin.
"Tapi dikamarku ada AC, kalian pasti akan nyaman," ujar Hanafi.
"Kau tidur dimana nanti?"
"Aku terbiasa tidur di sini akhir-akhir ini karena tidak ada orang di rumah. Biasanya ada Farida Lana juga Erick dan istrinya. Setelah mereka pergi, terasa sepi."
"Makanya kau cari istri agar rumahmu kembali ramai," timpal Cantika sambil menarik selimutnya untuk menutupi kaki hingga perut.
"Mana ada wanita yang mau tinggal bersamaku."
"Pasti banyak, kau itu masih gagah dan tampan tidak kalah dengan anak muda, walau tidak kaya tapi mapan."
"Buktinya belum ada yang mau denganku!"
"Mungkin kau yang terlalu pemilih." Hanafi terdiam.
"Kau harus mencari istri yang baik dan setia walau sulit, jangan mau menikah hanya karena nafsu semata."
Hanafi mengatup bibirnya rapat. Masa lalunya itu pahit dan akan dia pendam sampai mati. Dia tidak ingin membuka luka lama itu. Luka yang membuat dirinya trauma untuk membina hubungan cinta dengan wanita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Anggi Susanti
hanafi punya masa lalu seperti apa ya cantika km kan sdh ada dirumah itu kenapa bukan km aja yg jadi istri hanafi walau blm sah secara agama dan negara km kan dinikah kan sama ayahmu sebelum meninggal
2023-06-16
0
Triiyyaazz Ajuach
hrs byk" komunikasi Hanafi dan Cantika biar mkin tahu satu sama lain
2023-06-15
0