Cantika berusaha untuk menjauh dari Hanafi, tetapi pria itu bisa meraihnya. Dia trus melawan hingga tubuhnya merasa lelah dan lemas. Tubuhnya diangkat ke atas.
Cantika terbatuk-batuk ketika sampai ke permukaan. Hanafi langsung membawanya ke tepian.
Sesekali ombak besar menghempas tubuh keduanya, tapi Hanafi tetap memeluk dada Cantika dengan erat.
Tanpa sengaja kaki Cantika terkena batu karang dan terluka. Namun, dia diam saja. Hingga mereka sampai ke tepian dengan susah payah. Keduanya berbaring diatas pasir dengan nafas terengah-engah.
"Selain jahat kau juga bodoh, pantas saja selama ini hidupmu sangat kacau dan berantakan. Kau tidak punya otak sedikitpun untuk melakukan hal baik, bahkan untuk tubuhmu sendiri," omel Hanafi.
Cantika menatap tajam pria di depannya dengan penuh amarah. "Jika kau tahu aku bodoh kenapa kau selamatkan aku. Biarkan aku mati agar kau tidak perlu melihat wanita sepertiku lagi dan adikmu itu pun akan bahagia setelahnya.
"Kau benar, untuk apa aku bersusah payah menolong wanita yang sakit jiwanya sepertimu, seharusnya kau kubiarkan mati saja di dalam sana. Adikku pasti akan hidup tenang setelahnya. Kau pun tidak lagi menjadi beban orang tuamu dan anakmu? Oh, aku tidak tahu apakah dia akan bahagia atau sedih mengetahui kau tiada," ejek Hanafi sambil melepaskan kaosnya yang basah dan memerasnya.
"Aku selalu sial bertemu denganmu!" ujar Cantika hendak bangkit. Namun, rasa sakit yang teramat sangat menjalar di kakinya. Membuat dia mendesis sambil memegang kakinya.
Hanafi melihat kain putih yang menutupi kaki Cantika berwarna merah darah. Dia lalu menunduk dan menyingkapnya.
Luka itu tampak dalam. Darah pun masih mengalir di sana.
"Kenapa harus pakai gaun panjang jika ingin bunuh diri?" gumam Hanafi sambil menyobek gaun tidur Cantika hingga sebatas paha. Sebagian sobekan itu dia gunakan untuk menutup luka Cantika agar darah tidak terus keluar.
Setelahnya, dia melihat ke atas tebing. Mereka terjebak di pantai itu.
"Akan sulit bagi kita untuk naik ke atas di saat malam seperti ini dalam kondisi kau terluka," ujar Hanafi.
Cantika masih terdiam.
"Beruntung kalau malam ini tidak hujan sehingga kita masih bisa selamat dan tidak tenggelam."
Matanya mulai menyapu tempat itu. Dia lalu melihat celah gua di diantara dinding tebing.
"Ayo kita menepi baru memikirkan apa yang harus kita lakukan." Hanafi kembali memakai kaosnya. Setelah itu, dia menatap ke arah Cantika yang terlihat memalingkan wajah ke samping.
"Jika kau sampai mati, aku pun akan ikut mati karena dikira aku yang membunuhmu," ujar Hanafi mengangkat tubuh Cantika. Tubuh wanita itu tinggi semampai tapi terasa ringan ketika diangkat. Hanafi tebak bobotnya tidak lebih dari 50 kilogram.
"Aku bisa jalan sendiri," tolak Cantika memberontak.
"Kau yakin bisa jalan sendiri?" ucap Hanafi menjatuhkan Cantika begitu saja ke atas pasir dan membuat wanita itu mengaduh kesakitan.
Hanafi berdiri tinggi di depan Cantika sambil menyunggingkan senyuman mengejek.
"Ayo, cepat jalan!" ucapnya dingin.
Cantika menggigit bibirnya erat menahan tangis. Dia merasa bernasib buruk karena bertemu dengan pria tidak punya hati nurani seperti ini. Dia berusaha untuk berdiri, tapi tidak sanggup.
"Tinggal saja aku disini!" ujar Cantika.
Nampak sudah raut wajah tidak sabar dari Hanafi. Pria itu menarik tangan Cantika sehingga wanita itu berdiri dengan satu kakinya lalu mengangkat tubuhnya.
Di saat itu, Cantika bagaikan seorang bayi dalam pelukan orang tuanya yang mencari sebuah perlindungan.
Dia lalu membawa Cantika ke dalam celah tebing yang seperti gua. Meletakkannya di atas batu.
Hal yang paling membuatnya merasa beruntung dalam situasi ini adalah korek api dan rokok yang masih ada di saku bajunya, serta pisau lipat.
Pria itu langsung mencari kayu di sekitar gua itu dan menatanya. Baru kemudian mengeluarkan koreknya. Butuh beberapa saat untuk menyalakan api unggun itu.
Setelahnya, dia melihat ke arah Cantika yang sedang kedinginan dan memeluk tubuhnya sendiri.
"Kemarilah, di sini lebih hangat," katanya.
Dia sebenarnya sangat sebal dengan wanita itu, setengah membencinya karena telah menyebabkan Farida menderita. Namun, sisi kemanusiaannya kali ini membuat dia luruh. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu mati membeku setelah dia selamatkan.
Bukannya menurut, Cantika malah membuang muka dengan raut muka sinis. Hanafi membiarkannya. Dia mulai membuka celana jeans miliknya. Namun di dalamnya masih ada celana kolor karet biasa. ..
"Kau mau apa?" tanya Cantika panik.
"Ish, aku bukan pengagummu yang tertarik dengan tubuh kurus seperti itu dan mau memaksamu melayaniku," sarkas Hanafi. Dia meletakkan celana itu dekat dengan tungku agar segera kering.
Mata Cantika menyalak kesal dengan kata-kata Hanafi.
"Kenapa? Kau tidak terima? Memang itu kenyataannya. Tubuhmu itu hanya tulang yang diberi kulit saja, tidak berdaging dan tidak membuat pria manapun berselera. Terlihat bagus ketika memakai pakaian saja selebihnya hanya... . Tidak menarik," ejek Hanafi lagi. Pria itu lalu mengeringkan batangan rokok di dekat tungku sambil menghangatkan tubuhnya.
Ingin rasanya Cantika menyumpal mulut jahat pria itu dengan bara api agar terbakar dan terdiam.
Cantika menyandarkan kepalanya di dinding gua. Tangannya masih memegang kakinya yang terluka. Rasa penat, lelah dan pusing menderanya, belum lagi rasa sakit lukanya belum juga reda. Namun, dia berusaha untuk tidur dan bangun keesokan harinya lalu pergi dari pria buruk ini. Entahlah apa dia masih punya kekuatan untuk pergi. Untuk berdiri saja rasanya tidak sanggup.
Dia melihat apa yang dilakukan Hanafi. Pria empat puluh tahun itu tidak seperti pria pada usianya. Dia terlihat lebih muda dari usianya. Penampilannya pun selalu terlihat santai dan segar. Walau begitu kharisma yang terpancar tidak kalah dengan pria berjas atau pun para artis yang pernah Cantika temui.
Dari perkataan ayahnya tentang Hanafi, pria ini katanya belum menikah. Mungkin dia pria petualang seperti kebanyakan pria pada umumnya tebak Cantika yang melihat dari penampilan Hanafi.

Lama kelamaan Cantika mulai dari memejamkan matanya. Sejenak melupakan semua terjadi dalam hidupnya.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya terasa sangat dingin, seperti berada di bumi bagian Utara. Rasa dingin itu menyerangnya seperti di tusuk oleh ribuan jarum ke seluruh tubuh. Cantika merintih sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Sesuatu yang hangat terasa menempel di dahi lalu lehernya. Cantika yang dalam posisi masih memejamkan mata dan setengah tidak sadar memegang tangan itu.
"Kai, tolong aku. Dingin sekali di sini," rintihannya.
Tidak lama kemudian tubuhnya terasa dipeluk. Nyaman dan hangat, itu yang Cantika rasakan. Dia lalu memasukkan dirinya lebih dalam ke pelukan pria itu. Hingga pipinya menempel ke kulit dada pria itu. Dia menghirup aromanya.
"Aku sangat merindukanmu, Kai. Jangan pergi lagi," gumamnya terisak sambil tangannya memeluk leher pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Anggi Susanti
kau salah cantika kai sdh bahagia kenapa km masih menginginkan kai sdh lupakan dan cari kebahagian sendiri hidup perlu maju jangan jln ditempat aja
2023-06-03
0
Triiyyaazz Ajuach
itu Hanafi ya Cantika bkn Kaisar
2023-06-03
1
Puja Kesuma
kai..kai... jgn panggil nama suami org lgi cantika...nikmati aja kehangatan dari uda hanafi😃😃
2023-06-02
0