."Kau bisa mandi sendiri kan? Karena di sini tidak ada pelayan yang akan membantumu!"
"Itu ada handuk bersih, kau bisa menggunakan. Aku akan mengambilkan baju untukmu. Aku harap kau tidak membuat drama bunuh diri lagi atau pingsan, jika tidak ingin tubuhmu itu kusentuh, atau kulihat lagi." Hanafi berjalan keluar dari kamar mandi.
Pintu kamar mandi langsung ditutup.
Cantika masih tertegun. "Kurang ajar!" seru Cantika kesal. Dia melempar shower itu ke arah Hanafi, tapi tidak bisa karena selang masih menggantung di tempatnya."
"Jangan merusak barangku, karena ku tidak bisa menggantinya. Kau kini telah jatuh miskin, Nona!"
Terdengar teriakan kesal dari dalam kamar mandi. Dia hendak ke kamar Farida untuk mengambil baju adiknya untuk diberikan pada Cantika. Namun, langkahnya terhenti. Wanita itu tidak mungkin mau menerima barang bekas Farida.
Setelah menimbang hal itu, Hanafi kembali lagi ke kamarnya dan mengambil kaos miliknya, meletakkan diatas tempat tidur. Setelahnya, dia mengambil motor sport miliknya dan pergi dari rumah itu.
Satu jam kemudian, Cantika membuka sedikit pintu kamar mandi dengan ragu. Memastikan tidak ada orang di kamar itu. Setelah yakin, tidak ada Hanafi di sana. Cantika berjalan keluar dengan hanya memakai handuk putih yang membelit sebagian tubuhnya.
Dia melihat di depannya sebuah kaos putih yang masih ada di dalam plastik. Lalu tidak ada pakaian lainnya. Dia mulai memakai itu.
Lalu menengok ke kanan dan kiri, tampak bingung. Menatap lemari di depannya. Berpikir.
Akhirnya, dia memilih sebuah celana kolor pria dari lemari itu. Celana itu terlalu besar untuknya. Dia memakai gesper untuk mengikat celana itu. Ini lebih baik daripada tidak memakai dalaman sama sekali. Terlalu berbahaya.
Cantika lalu duduk termenung. Berpikir apa yang akan dia lakukan ke depannya. Bunuh diri? Tidak bisa dia lakukan hal gila itu lagi, walau sebenarnya dia ingin mati saja. Memulai hidup dari awal, itu akan sulit karena nama baiknya sudah hancur. Dia bahkan malu untuk memperlihatkan wajahnya di depan masyarakat luas.
Harta? Entahlah, ayahnya adalah mafia narkoba, hartanya mungkin telah disita semua oleh Polisi.
Menangis. Dia sudah lelah hingga air matanya sudah mengering. Kalut, itu yang dia rasakan.
Mendadak perutnya berbunyi keras. Melilit. Sepertinya asam lambung yang dia derita mulai kumat lagi karena semenjak kematian anak dan ayahnya dia belum makan sesuap nasi pun.
Cantika menengadahkan kepala ke atas. Berpikir. Apakah harus dia mengemis pada orang asing?
Perutnya kembali lagi terasa sakit. Dia akhirnya bangkit dan berjalan keluar kamar. Dia rupanya berada di lantai pertama rumah itu. Di depan kamarnya ada ruang makan dan ruang santai juga tangga yang menuju ke atas. Rumah yang sangat sederhana yang pernah dia tinggali, tapi tertata rapih.
Matanya mencari sosok dingin itu. Namun, tidak menemukannya. Akhirnya dia berjalan mencari dapur. Awalnya dia melihat ruang tamu di sebelah kamarnya. Lalu, dia melihat ada ruangan lain di sebelah ruang makan. Cantika berjalan ke arah ruangan itu. Benar juga, ini adalah dapur yang dia cari.
Dia melihat ke dalam lemari pendingin. Hanya ada telor dan juga minuman kemasan. Lalu dia memeriksa semua lemari tempat penyimpanan di atas meja dapur.
Mie instan di tangannya terasa berharga sekarang. Untuk pertama kalinya dia senang menemukan benda itu. Dia membuang rasa gengsinya lalu mulai membuat mie instan. Hal yang belum pernah dia lakukan.
Dia melakukan semua perintah yang ada di bungkus mie itu. Ketika dia akan membuka bumbu, dia mulai mencari gunting di setiap lemari. Terasa sulit menemukan benda itu.
"Di laci bawah wastafel," ucap Hanafi membuat Cantika terkejut. Tanpa sengaja dia menyentuh pegangan panci dan panci jatuh ke lantai. Percikan air panas mengenai kulit Cantika yang halus. Seketika timbul bercak kemerahan di sana.
"Ceroboh!" kata Hanafi mendekat.
Cantika mengabaikan rasa sakitnya, dia berjalan keluar dari ruangan itu, tapi terhenti ketika tangan Hanafi memegang tangan Cantika. Cantika berpikir pria itu pasti akan meminta maaf atas apa yang dia katakan.
"Bersihkan!" perintah Hanafi.
Mata Cantika melebar. Hanafi lalu berdiri di depan Cantika.
"Kau dengar tidak! Di sini tidak ada pelayan yang bisa kau perintahkan seenakmu. Kau harus mengerjakan semuanya sendiri."
"Aku tidak memintamu membawaku kemari!"
"Rasa kemanusiaan ku yang membawamu kemari. Andaikata ada tempat penampungan lain, tentu aku akan melemparkanmu ke sana. Sepertinya rumah gelandangan pun tak akan menerimamu!" ejek Hanafi.
Cantika ingin membantah, tapi kata-katanya dia telan kembali. Apa yang Hanafi katakan memang benar. Seketika rasa sedih itu kembali menghinggapi hatinya.
"Untuk sementara aku akan menampungmu di sini karena kasihan, sampai kau punya rumah lagi."
Cantika menatap sinis pada Hanafi.
"Aku bisa membiayai hidupku sendiri tanpa harus menjadi pengemis."
Hanafi berdiri dengan bersandar santai di meja dapur. Kedua tangannya dilipat di dada, menatap Cantika dari bawah ke atas, lalu tersenyum penuh misteri. Senyum yang sama sekali tidak ingin Cantika lihat.
"Ya, kau bisa menjual tubuh indahmu. Sepertinya banyak pria yang akan rela membelinya."
Ingin rasanya Cantika menampar mulut pria jahat di depannya. Lalu menyiramnya dengan air kotor bekas cucian piring. Nampaknya itu akan menyenangkan.
Cantika terdiam menatap marah pada Hanafi.
"Inilah hidup, kau harus bekerja keras untuk bisa bertahan. Apa yang kau alami tidak seberat dengan apa yang Farida dulu alami."
"Aku tidak memintamu membantuku!"
"Sayangnya, ayahmu menyerahkan tanggung jawabnya padaku. Aku hanya memenuhi wasiatnya. Suka atau tidak suka kau harus menerima hal itu."
Cantika menelan salivanya dengan sulit. "Kau hanya mencari kesempatan saja!"
"Kesempatan yang mana? Walau aku dan ayahmu melakukan ijab itu, bukan berarti secara agama kau sudah menjadi istriku. Bagaimana pun secara agama ayahmu tidak ada hak untuk menikahkanmu. Kau butuh wali untuk menikah ulang."
"Aku pun tidak akan pernah menikah dengan pria seperti mu yang menyarankan seorang wanita untuk menjual diri!" ucap Cantika menghentakkan kakinya hendak pergi dari rumah Hanafi.
"Aku tidak butuh bantuanmu!" omelnya.
"Tapi kau butuh dalaman dan baju untuk pergi dari sini," kata Hanafi tenang.
Cantika menghentikan langkahnya.
Pria itu maju ke depan, menyerahkan tas di tangannya ke tangan Cantika.
"Kau bisa mengganti bajumu dengan baju yang baru kubeli ini. Tadinya aku pikir kau tidak akan mungkin mau menerima baju Farida untuk kau kenakan jadi aku berinisiatif membelinya. Ingat, ini bukan pemberian tapi hutang yang harus kau bayar dilain waktu."
"Kau bisa mengganti pakaian di kamar tadi atau kamar atas, milik Farida," lanjut Hanafi lagi.
Farida dan Farida, nama wanita yang dibenci Cantika selalu dia dengar dari mulut Hanafi. Hal itu membuat mood Cantika berantakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Triiyyaazz Ajuach
ya jelas Farida terus yg disebut karna Farida adik kesayangan Hanafi , lagi pula mending kurangi dech Cantika sikap angkuh dan aroganmu itu skrg kau tdk pnya apa" lagi msh aja sombong
2023-06-08
0
Anggi Susanti
ya mau vagaimana lagi emang farida adik angkat hanafi yg sangat disayangi jadi hanafi ya terus menyebut nama farida lah suka gk suka km harus terbiasa mendengar sdh baik hanafi mau menampungmu
2023-06-08
2