Setelah makan siang, Marien dan William berjalan-jalan sebentar menyelusuri dermaga untuk menghabiskan waktu. Sebuah paper bag yang dibawa oleh Marien membuat William curiga apalagi Marien tidak mengijinkan dirinya untuk membawa benda itu.
Marien memang sengaja karena dia tidak mau William melihat jika di dalam paper bag itu ada sebuah hadiah. Bagaimanapun dia merasa William tidak perlu ikut terlibat dengan permasalahan yang sedang dia alami dengan kakaknya.
Mereka berdua berhenti sebentar untuk duduk di sisi dermaga. Marien duduk di sebuah kursi sedangkan William duduk di sisinya. Burung-Burung camar terbang merendah untuk mencari makan. Burung-Burung itu bahkan tidak takut pada manusia yang berlalu lalang di sekitarnya.
"Setelah ini kau mau pergi ke mana?" tanya Marien pada William.
William melihat jam yang melingkar di tangan sebelum menjawab pertanyaan dari Marien. Sebaiknya dia kembali dengan Marien dan menghabsikan waktunya lebih banyak di rumah. lagi pula pekerjaannya sudah selesai dan bisa dia lanjutkan esok.
"Tidak ke mana-mana. Kita pulang saja jika kau sudah tidak mau pergi ke mana pun!"
"Baiklah. Aku rasa sebaiknya kita pulang saja. Di sini tidak ada apa pun yang bisa dilihat selain burung camar!"
"Kau benar, berikan barang-barang milikmu. Biarkan aku yang membawanya!" pinta William.
"Tidak perlu, aku bisa membawanya sendiri!" tolak Marien sambil beranjak.
"Kenapa, Marien? Apa itu benda penting sehingga aku tidak boleh membawanya?" William semakin curiga.
"Tidak, aku hanya tidak mau merepotkan dirimu saja!" Marien sudah beranjak dari tempat duduk lalu mendorong William pergi. William tidak bertanya lagi, rasa curiga jika Marien sedang menyembunyikan sesuatu darinya semakin kuat. Dia akan kembali bertanya nanti setelah mereka tiba di rumah.
Sebuah taksi diberhentikan. Marien membantu William untuk masuk ke dalam mobil. Sejauh ini William tidak melihat sebuah kepura-puraan atas apa yang Marien lakukan padanya. Mungkin Marien sedikit berbeda tapi memangnya apa yang dia harapkan? Mereka hanya terikat satu tahun saja dan setelah itu, mereka berdua adalah orang asing yang akan berjalan di jalan yang berbeda.
Marien tersenyum karena William menatapnya tanpa berpaling. Marien bahkan melihat ke kanan dan ke kiri karena dia mengira William melihat sesuatu yang ada di sampingnya.
"Apa di wajahku ada noda?" tanya Marien sambil mengusap wajahnya.
"Yes!" William mengusap wajah Marien, seolah-olah ada noda di sana yang sesungguhnya tidak ada.
"Benarkah?" Kini Marien mengusap seluruh wajahnya.
"Sudah bersih, tidak perlu dibersihkan lagi."
"Jika begitu terima kasih," Marien tersenyum lalu berpaling. Entah kenapa dia merasa semakin dekat saja, jika mereka selalu bersama seperti itu mungkin mereka akan semakin dekat lagi dan tentunya hal itu tidak boleh terjadi karena mereka sudah memiliki kesepakatan.
Mereka berdua diam, selama di perjalanan. Sampai saat ini, Marien tidak pernah bertanya siap sebenarnya William bahkan dia tidak terlihat ingin tahu akan pria itu. William pun tidak mungkin menceritakan dirinya begitu saja pada Marien. Dia justru menunggu Marien bertanya tapi sayangnya sampai sekarang tidak satu pun pertanyaan terlontar dari Marien.
Marien kembali membantu William untuk turun dari mobil setelah mereka tiba. Dia melakukannya dengan hati-hati saat membantu William untuk duduk di kursi rodanya namun lagi-lagi Marien tidak mau memberikan barang-barang miliknya pada William padahal William kembali meminta Marien memberikan semua barang bawaannya padanya.
Mendadak William jadi kesal, dirinya seolah-olah tidak berguna sehingga Marien tidak mempercayai dirinya hanya untuk membawa satu barang saja.
"Apakah aku benar-benar tidak berguna bagimu, Marien?" akhirnya pertanyaan itu terlontar juga.
"Apa maksud perkataanmu?" tanya Marien tidak mengerti.
"Apakah bagimu pria cacat ini tidak berguna sehingga tidak bisa kau andalkan?"
"Tidak begitu, William. Aku tidak menganggapmu seperti itu?" Marien semakin tidak mengerti karena William seperti marah padanya.
"Lihat aku, apa untuk membawa satu barang saja tidak bisa? Apa kau meremehkan aku atau kau ingin menghina aku?"
"Tidak, aku tidak bermaksud seperti itu!"
"Jika begitu jelaskan padaku. Kenapa kau seperti tidak membutuhkan aku dan merepotkan diri sendiri? Kedua kakiku memang tidak bisa aku gerakkan tapi kedua tanganku bisa!"
Marien belum menjawab, dia sedang mencari tahu kenapa tiba-tiba William marah seperti itu dan tanpa dia sadari William jadi kesal karena dia selalu menolak bantuan yang dia tawarkan pada Marien.
"Aku tidak bermaksud menyinggungmu, William. Sungguh!" ucap Marien.
"Jika begitu apa yang kau bawa? Kenapa benda itu seperti begitu berharga seolah-olah aku tidak boleh menyentuhnya?"
"Bukan benda penting!" Marien melangkah melewati William, sebaiknya mereka tidak berdebat lebih dari pada itu apalagi untuk sesuatu yang tidak penting namun William belum berhenti karena dia ingin Marien mengandalkan dirinya dan mengatakan apa pun yang sedang dia alami meski dia hanya suaminya untuk satu tahun ke depan.
"Kita belum selesai, Marien!" ucapnya.
"Aku tidak suka bertengkar, William. Ini bukan hal penting, hanya sebuah hadiah yang akan aku berikan pada Alexa saja!" ucap Marien sambil mengangkat paper bag yang dia bawa.
"Bagimu tidak penting, tapi bagiku penting. Aku suamimu, sampai satu tahun ke depan dan aku rasa kau ingat itu. Meski aku hanya suami bayaranmu tapi aku ingin kau mengandalkan aku dan mempercayai aku. Aku ingin berguna bagimu tapi sepertinya kau tidak menginginkan peranku dalam kehidupanmu bahkan kau tidak mengatakan padaku kenapa kau harus membeli hadiah untuk kakak yang kau benci itu. Apa kau seperti Fiona yang menganggap aku tidak berguna?"
"Tidak, bukan begitu!" jawab Marien yang masih berdiri membelakangi William.
"Lalu, kenapa kau memperlakukan aku seperti suami yang tidak berguna?"
"Aku tidak?"
"Kau melakukannya, Marien. Berkali-kali aku menawarkan bantuan tapi kau selalu menolak seolah-olah kedua tanganku ini tidak berguna atau jangan-jangan kau memang menganggap aku tidak berguna selama ini hanya karena aku suami bayaranmu saja?"
Marien tidak menjawab, dia bingung karena dia tidak bermaksud menyinggung perasaan William. Padahal dia tidak mau William tahu lalu terlibat dengan permasalahannya dengan Alexa tapi sikapnya justru membuat pria itu tersinggung. Mereka berdua diam, William pun sudah tidak menunggu lagi karena dia tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh Marien.
William pergi melewati Marien yang masih diam, sepertinya dia yang terlalu mendalami perannya menjadi suami Marien padahal sudah jelas jika mereka terikat karena sebuah perjanjian. Marien membutuhkan dirinya untuk menghindari pernikahan yang harus dia jalankan dan dia membutuhkan Marien untuk menghindari pengkhianatan dan hinaan Fiona. Dia benar-benar lupa jika itulah peran mereka berdua. Sepertinya dia terbuai dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh Marien selama ini padanya.
Marien melangkah menuju sofa, kenapa dia jadi merasa bersalah? Dia tidak bermaksud memperlakukan William seperti itu, dia tidak bermaksud menyinggung perasaan William tapi yang dia lakukan hanya semata-mata untuk tidak melibatkan William saja karena saat ini, William berusaha untuk bangkit. Jika Alexa tahu, dia takut William berakhir seperti dirinya. Sulit mendapatkan pekerjaan bahkan yang lebih buruk, usaha yang dilakukan oleh William untuk bangkit akan sia-sia karena ulah Alexa saja.
Jangan sampai hal itu terjadi sehingga William kembali menjadi bahan tertawaan Fiona. Dia hanya ingin melindungi William saja dari kakaknya yang licik. Lalu apakah yang dia lakukan salah tapi sampai sekarang, dia tidak mengenal suami yang dia nikahi secara mendadak itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Aidah Djafar
Marien alangkah baiknya jujur pada suamimu 🤔 Willi pasti akan kasih kamu solusi yg baik untukmu 🤔
2023-12-09
2
Dini Lestari
merien terbuklah dlm segala hal apapun mungkin itu lebih baik ,wlliam jga pasti senang dn bisa membantumu
2023-11-21
0
Borahe 🍉🧡
Fiona terlalu tertutup dgn suaminya.
2023-11-03
2