Makanan sudah dipanaskan, Marien membantu William untuk duduk di kursi rodanya. Setelah menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka, suasana kembali seperti sedia kala. Memang lebih baik seperti itu, cukup masalah di luar saja yang membuat pusing dan mereka tidak perlu menambah masalah lainnya dengan hubungan sementara mereka.
William sudah duduk di kursi roda, Marien mengambil sendal di dalam lemari dan setelah itu dia kembali mendekati William untuk memakaikan kedua sendal itu di kakinya. William memandangi apa yang istrinya lakukan, dia tidak menduga akan bertemu dengan Marien bahkan wanita itu bersedia merepotkan diri untuk merawat dirinya.
"Lantai begitu dingin, jangan sampai kakimu kedinginan!" ucap Marien.
"Aku tidak bisa berjalan, bagaimana kedua kakiku bisa kedinginan?"
"Kau benar, tapi kau tetap harus memakai sendal!"
"Terima kasih, Marien. Padahal kau tidak mendapatkan apa pun dengan menikah denganku bahkan kau harus merepotkan diri seperti ini dengan merawat aku. Bukankah kau bisa menghindari pernikahan itu tanpa perlu menikah denganku?"
"Saat itu aku panik, aku merasa tidak ada jalan lain selain memintamu untuk menikahi aku. Aku pikir hanya itu jalan satu-satunya yang harus aku lakukan oleh sebab itu aku melamarmu tanpa pikir panjang. Dari pada menikah dengan pria tua itu, lebih baik aku menikah denganmu!"
"Tapi kau bisa mencari yang lebih baik dari pada aku dan kau lihat? Kau harus repot hanya untuk pria tidak berguna ini!"
"Jangan berkata seperti itu, William. kita berdua membuat kesepakatan dalam keadaan sadar dan saling menguntungkan. Sekarang waktunya makan sebelum makanannya dingin."
"Apa kau sudah makan?" tanya William.
"Tentu saja sudah, maaf aku tidak mengajakmu. Aku tidak mau mengganggu jadi aku pikir?"
"Tidak apa-apa," sela William sambil mengusap tangan Marien yang berada di bahunya.
Marien tersenyum, sentuhan tangan pria itu cukup menenangkan. Marien mendorong William keluar dari kamar, dan membawanya menuju dapur. Marien bahkan mengambilkan makanan untuk William serta segelas minuman.
"Aku tinggal sebentar. Kau tidak keberatan, bukan?" tanya Marien.
"Mau peri ke mana?" William berpaling dan melihat ke arahnya.
"Sebentar saja, aku akan kembali lagi!"
"Baiklah, jangan terlalu lama. Temani aku makan!" pinta William.
"Aku akan kembali!" Marien mengusap bahu William sebelum pergi, sekarang dia jadi terbiasa melakukannya. William memandangi kepergiannya sebelum makan. Dia harap apa yang ditunjukkan oleh Marien saat ini benar-benar tulus dan ada maksud tertentu seperti yang Steve ucapkan.
Marien merapikan barang-barangnya yang ada di ruang tamu. Dia akan mencari pekerjaan lagi nanti setelah William selesai makan. Dia harap besok dia mendapatkan keajaiban sehingga dia mendapatkan pekerjaan. Ponsel dibawa, dia bisa mencari pekerjaan sambil menemani William yang sedang makan.
William kembali melihat ke arahnya sampai Marien duduk di hadapannya. Marien begitu fokus sehingga tidak mempedulikan dirinya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya William.
"Mencari pekerjaan, apa lagi," jawab Marien yang masih saja fokus pada layar ponselnya.
"Pelan-Pelan saja, tidak perlu terburu-buru!" semoga saja Steve sudah menemukan sebuah perusahaan yang bisa Marien kelola sebelum menemukan sebuah pekerjaan.
"Aku tidak bisa menunda terlalu lama, William. Tabunganku akan menipis jika aku tidak segera menemukan pekerjaan baru!"
"Kau tidak perlu mempedulikan hal itu, Marien. Serahkan semuanya padaku apalagi kau sudah menjadi tanggung jawabku!"
"Baiklah, tapi aku bosan terlalu lama di rumah!"
"Sudah, nikmatilah waktumu sebelum kau menemukan pekerjaan dan sibuk nantinya!"
"Baiklah, kau benar. Tapi aku harap segera mendapatkan pekerjaan!" Ponsel diletakkan, Marien beranjak untuk membereskan piring kotor karena William sudah selesai makan. Marien sedang membawa piring kotor ke wastafel dan hendak mencucinya saat ponsel yang dia tinggalkan berbunyi. Pekerjaan pun ditinggalkan, Marien buru-buru menjawabnya apalagi itu dari ayahnya.
"Ada apa, Dad?" sebenarnya dia enggan tapi dia tidak memiliki permasalahan apa pun pada ayahnya.
"Besok kau harus pulang, Marien!" perintah ayahnya.
"Tidak bisa, aku tidak bisa pulang!" sudah jelas dia menolak karena dia enggan kembali dan bertemu dengan Alexa.
"Pulang, Marien. Bawa suami pecundangmu itu pulang ke rumah!" teriak ayahnya lantang. William dapat mendengarnya oleh sebab itu tatapannya sudah tertuju ke arah Marien yang sudah terlihat marah karena tidak terima ayahnya mengebut William sebagai pecundang.
"Jangan menyebut suamiku sebagai pecundang!" ucap Marien kesal.
"Aku tidak peduli, besok malam ada perjamuan keluarga sebelum kakakmu menikah jadi kau harus kembali bersama dengan suamimu itu!"
"Aku rasa aku tidak perlu berada di antara kalian karena aku bukanlah bagian dari kalian!"
"Marien!" ayahnya berteriak lantang.
"Jangan membuat masalah dan jangan membuat aku marah jadi besok kau harus pulang dan jangan lupa, bawa si pecundang itu serta!"
"Baiklah, baik. Tapi sekali lagi Daddy memanggil suamiku sebagai pecundang, aku tidak akan pernah pulang lagi bahkan aku tidak akan pernah menghadiri pernikahan Alexa!" Marien mengakhiri percakapan setelah berkata demikian. Kesal dan amarah campur aduk dalam hati. Tidak akan dia biarkan William dianggap pecundang oleh ayah dan kakaknya.
"Apa semua baik-baik saja, Marien?" tanya William. Meski dia sudah mendengar tapi dia ingin Marien mengatakannya secara langsung.
"Aku rasa kau sudah tahu, besok malam kita harus pulang ke rumahku karena ada perjamuan. Maaf jika ayahku memanggilmu sebagai pecundang," Marien tampak tidak enak hati.
"Jangan dipikirkan, terserah mereka mau berkata apa. Saatnya sudah tiba nanti, kita akan membungkam mereka semua yang menganggap aku sebagai pecundang."
"Apa kau mau ikut pulang denganku?" tanya Marien.
"Tentu saja, aku tidak bisa membiarkan dirimu dihina dan dipermalukan jadi kita harus selalu bersama!"
"Terima kasih, William. Maaf jadi melibatkan dirimu!"
"Ck, aku juga melibatkan dirimu. Semenjak kau melamar aku dan aku menyetujuinya, saat itu juga kita sudah sepakat untuk saling melibatkan diri dalam permasalahan yang kita hadapi oleh sebab itu, berjanjilah padaku satu hal, Marien. Berjanjilah kau tidak akan menyembunyikan apa pun lagi dariku, berjanjilah kau mau mempercayai aku dan mengatakan hal tidak menyenangkan yang kau dapatkan dari kakakmu. Apa pun itu jadi berjanjilah!"
"Aku berjanji padamu asalkan kau tidak mengeluh karena sudah terlibat dengan permasalahan yang aku alami!"
"Tentu saja tidak!" William meraih tangan Marien lalu memberikan kecupan di atas punggung tangannya.
"Aku tidak akan pernah mengeluh!" ucapnya lagi.
"Hm," Marien berdehem, dia jadi salah tingkah meski itu bukan pertama kali William melakukan hal itu.
"A-Aku harus mencuci piring!" Marien menarik tangannya lalu melangkah menuju wastafel dengan cepat. Sudah dua kali William melakukannya dan dia harap tidak lagi karena jantungnya tidak kuat.
William menatap punggung Marien sejenak dan setelah itu dia berpaling. Tatapan matanya jatuh pada ponsel Marien yang ada di atas meja. Makan malam? Sepertinya dia harus memberikan buah tangan untuk ayah mertuanya agar istrinya tidak dipermalukan meski dia tahu, pada akhirnya cibiran yang akan mereka dapat tapi tidak jadi soal karena dia tidak akan membiarkan Marien mendapatkan cibiran seorang diri. Jika Marien mendapatkan penghinaan karena dirinya maka dia pun harus mendapatkannya karena mereka harus berbagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Priskha
sama anak sendiri kok ngomongnya kasar ya klau bkn org tua sdh aq bogem tuch mukanya
2024-02-13
2
Aidah Djafar
yg pecundang tuh Luh Daddy ank di jual demi perusahaan 🤔🤦
2023-12-09
1
Dini Lestari
moga aja kmu cepet sembuh william jdi kmu bisa membuktikan pd orang2 bahwa kmu bkn pecundang ,,moga keajaiban cepet datang .
2023-11-21
1