Abra kini memantapkan diri untuk membawa sang istri ke Jakarta. Selain itu, ia tidak ingin jauh dari istrinya dan ingin menghilangkan gosip perselingkuhan itu.
"Mas, ini toko baju, apa kita...?" tanya Naya.
"Iya sayang, Mas akan membelikan kamu baju. Baju itu sangaylah tidak layak untukmu. Maafkan ibuku ya," ucap Abra.
Naya hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka masuk ke dalam toko baju.
Banyak mata yang menatap ke arah mereka, membuat Naya merasa insecure dengan penampilannya saat ini. Seolah Abra merasakan apa yang dirasakan istrinya, Abra lebih merangkul tubuh Naya.
"Aku hanya untukmu. Jangan hiraukan apa yang mereka bicarakan. Kau cantik di mata Allah dan di mata Abang," bisik Abra, membuat Naya menatap ke arahnya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa untuk mewakili perasaannya. Naya sangat bahagia karena Abra tidak berubah sama sekali. Keyakinan hatinya akan cinta suaminya kini ia buktikan. Naya tersenyum dalam tangisnya, dan Abra menghapus air mata yang sudah jatuh.
"Mbak, kami beli baju ini," ucap Abra seraya menyentuh gamis yang begitu simpel namun terlihat begitu indah.
"Gamis?" tanya Naya tak percaya. Karena saat ini dirinya bukanlah wanita yang berhijab. Abra tersenyum seraya menyentuh pipi Naya.
"Apakah kau bersedia, apakah kau siap dengan perubahan kita?" tanya Abra seraya menatap Naya dengan penuh cinta. Naya menganggukkan kepalanya dengan penuh haru. Ia sering mendengar tausiah para kyai di langgar dekat rumahnya, "Suami yang benar-benar mencintai kita adalah suami yang mau mengajak kita hijrah dan belajar untuk semakin baik dan semakin baik lagi." Naya merasa terharu dengan ajakan Abra yang ingin istrinya menutup sedikit demi sedikit auratnya.
"Aku bukan ahli agama, tapi aku ingin istriku cantik di dunia dan juga nanti di akhirat," ucap Abra, membuat pelayan toko itu terharu.
"Mari kita coba bajunya, mbak," ucap pelayan itu dengan ramah. Naya mengikuti pelayan itu, sedangkan Abra memilih baju lagi untuk istrinya itu.
"Wah, suami mbak sangat mencintai mbak ya? Sangat jarang suami macam dia mbak," ucap pelayan itu. Naya hanya bisa tersenyum dan membenarkan apa yang pelayan toko itu katakan.
"Suami mbak tulus mencintai mbak. Jadi, pertahankan. Suami mbak cakep... pasti akan ada pelakor yang akan datang jika mbak tidak pintar menjaganya," imbu pelayan itu seraya membantu Naya memakai hijabnya.
"Saya akan berusaha, mbak. Terima kasih ya mbak," ucap Naya seraya tersenyum. Kemudian mereka keluar dengan gamis yang telah dipakai oleh Naya. Abra tersenyum melihat sang istri.
"Masya Allah, cantiknya istri abang. Saya akan ambil yang ini lagi ya mbak," ucap Abra seraya menyerahkan gamis dan beberapa daster pada pelayan itu.
"Baju ini biar langsung dipakai, tidak apa-apa kan mbak?" tanya Abra.
"Tidak apa-apa mas. Mari ke kasir, mbak," ucap pelayan itu.
Masih terdengar jelas bisikan para pembeli lainnya yang mengatakan bahwa Abra tidak pantas bersama Naya. Namun Abra selalu menguatkan hati Naya dengan menggenggam tangan sang istri.
"Udah mbak. Jangan dengarkan mereka. Mereka iri sama mbak. Iri itu tandanya tak mampu mbak, betulkan mas?" tanya pelayan itu seraya menguatkan Naya.
"Apa yang dikatakan mbak ini benar. Lain kali mustahil mereka akan menatapmu tanpa berkedip," ucap Abra.
Setelah membayar semua yang dibelinya, mereka mencari tempat untuk makan. Namun, tiba-tiba Abra ingat bahwa ongkos ke Jakarta dulu telah dibayar dengan uang dari cincin Naya yang telah ia jual. Abra menarik tangan sang istri untuk membeli cincin sebagai ganti cincin yang dulu.
"Mas sudah banyak mengeluarkan uang untuk Naya," ucap Naya yang tidak ingin masuk ke toko perhiasan yang ada di pasar itu.
"Apa yang kau katakan? Semua yang aku miliki juga milikmu. Setelah ini, kau yang mengatur keuangan rumah tangga kita. Aku yakin jika kau yang mengelolanya, maka akan semakin berkah dan berokah bagi masa depan kita," ucap Abra. Kemudian mereka masuk ke toko perhiasan.
"Cincinmu dulu aku yang menjualnya. Sekarang kau pilihlah mana yang kau inginkan," ucap Abra. Namun tiba-tiba,
"Wah, ini benar-benar kau, Nay... Wah dah punya duit makanya bisa masuk ke toko perhiasan?" tanya orang itu, tanpa menyadari bahwa di sisi Naya, ada suaminya.
"I...ia b..." jawab Naya gugup.
"Pasti mertuamu tidak tahu ya, atau jangan-jangan kau nyolong duit dia ya? Awas saja, aku pasti akan melaporkan ini pada Sani," ucap wanita berperawakan buntet itu.
"Ja-..." Namun Abra segera menghentikan kalimat Naya. "Apa yang akan bibi katakan pada ibuku, atau apa yang akan ibu lakukan pada istriku?" tanya Abra dengan tatapan tajam.
"Abra... kau?" ucap wanita itu, tidak percaya.
Mendengar apa yang di katakan wanita itu, pikiran Abra semakin kacau. Apa saja yang ibunya lakukan pada istrinya selama ia tidak ada? Tangannya kembali mengepal jika membayangkan semua yang ia lihat saat ia baru sampai.
"Astaghfirullah," ucap Abra pelan menahan amarah yang selalu muncul tiba-tiba. Wanita itu langsung pergi dari hadapan Abra. Kemudian Abra pura-pura tersenyum pada istrinya dan berharap setelah mereka berada di kontrakkan nanti, ia bisa bertanya semuanya pada Naya dan berharap sang istri menceritakan semuanya tanpa ada yang disembunyikan, terutama masalah kandungan dan kegugurannya.
"Kau jangan bercanda, Sum. Abra membawa Naya ke toko perhiasan, dan pakaian Naya saat ini sangat bagus?" tanya Bu Sani tidak percaya dengan apa yang dikatakan temannya itu.
"Ini bentar lagi aku kirimkan gambar mereka ya. Bahkan Abra membelikan Naya kalung. Wah Sani... jika Naya saja mendapatkan banyak, tentunya juga berkaciopratang dong," gida Sum yang semakin membuat hati Sani memanas.
Bu Sani mematikan ponselnya dengan wajah pias.
"Tidak, aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Abra akan selalu menjadi milikku, bukan milik wanita pendatang itu. Abra adalah anakku yang saya besarkan dan Alhamdulillah. Saya yakin Abra akan lebih patuh pada saya," batin Bu Sani sambil berusaha tersenyum pada tamu yang tersisa.
Bu Sani ingin menguasai Abra yang sudah dijadikan sumber uangnya.
"Ibu, kenapa? Dari tadi bapak melihatmu gelisah," tanya suaminya.
"Abra telah mengeluarkan uang yang banyak untuk wanita itu! Saya tidak terima, Pak. Seharusnya uang itu jatuh kepada saya, bukan wanita pendatang itu," jawab Bu Sani sambil menyela dengan tegas.
"Ibu, dengan melihat kemarahan Abra, seharusnya kita tidak menciptakan masalah lagi. Ketika Abra membawa istrinya ke Jakarta, kemudian tidak mengirimkan uang lagi untuk kita, itu akan menjadi masalah yang sangat sulit diatasi," ucap Pak Rusdi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Whatea Sala
Aku kepengen sih buat cerita,tapi bingung dan gak bisa mau belajar kok males,😉
2023-05-29
0
Whatea Sala
Lanjut....semangat thor...,emang gak mudah bikin cerita,yang mudah itu ghibah,ya thor...👍💪😁
2023-05-29
0
Whatea Sala
Thor...pokoknya jangan biarkan abra jadi atm berjalan keluarga ya..karna kini saatnya mereka merasakan apa yang dirasakan naya,maaf cuma komen😁😁
2023-05-29
0