"Apanya yang beda?" nada suara Qilla cukup tinggi."Keluarga Mas tidak menyukai aku, sekarang Mas bandingkan antara aku dan Khanaya?"
Huston memijit pelipisnya, harusnya dia bisa khusyuk mendo'akan Avila. Tapi yang terjadi justru berdebat sepanjang malam dengan mantan istrinya.
"Aku tidak membandingkan kalian, tapi aku minta pengertian kita sedang dalam masa berkabung."
Harusnya yang paling sedih disini adalah Aqilla, karena dia satu-satunya yang mempunyai hubungan darah dengan anak itu.
Tapi dilihat dari segi manapun Qilla tidak sedih perihal kepergian Avila, Qilla sibuk mencari kesenangannya sendiri.
Kemana perginya tangis sesegukan di pemakaman tadi?
Apa karena Qilla seorang aktor maka semudah itu membuat bermacam ekspresi?
Akhir dari pertemuan itu adalah Huston yang meninggalkan Qilla yang tidak berhenti meneriaki namanya.
******
"Dia sudah pergi?" tanya Dewi begitu melihat Huston masuk kedalam rumah.
Bukan pergi, tapi aku yang meninggalkannya di luar.
"Iya, Mom." beda di hati beda di bibir.
"Qilla datang untuk bicara. Setidaknya, kita bimbing. Doakan yang terbaik untuknya. Dengarkan keluhannya. Dia butuh tuntunan bukan tuntutan."
Senyap kedua pasang mata kini melihat pada Khanaya.
Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan di balik raut datar seorang Khanaya. Mata Huston menelisik dengan seksama, sayangnya tatap sayang penuh kasih dan khawatir itu tidak bersambut.
Khanaya mengenal peringai Qilla. Wanita itu tidak suka di abaikan, hinaan dan cacian Qilla padanya sudah lama dilupakan.
*******
Mendengar titah Dewi kini langkah mereka menuju kamar yang terletak di kiri tangga.
"Ini kamar Avila?" tanya Khanaya melihat setiap detail kamar yang bernuansa biru langit, warna yang lembut, warna kesukaan Avila.
"Harusnya, tapi dia bahkan belum melihatnya."
"Sekedar ucapan selamat saja dia tak sempat mengatakannya."
Khanaya beralih melihat ke sebuah ranjang yang tidak terlalu besar, ataupun cukup kecil. Mungkin muat untuk mereka berdua?
Sama-sama menikmati rasa kehilangan, tapi keduanya sadar apa yang di tetapkan takdir itu yang terbaik untuk Avila.
"Jangan menangis."
Huston memejamkan matanya, ketika Khanaya memagut bibirnya lembut dan dalam.
"Mau ku buatkan kopi?"
Huston mengerang pelan, ketika Khanaya melepaskan bibir mereka dan menawarkan sesuatu yang sangat random di saat seperti ini.
Yang dibutuhkan Huston sekarang, memanaskan ranjang untuk melukis sejarah mereka.
Dan, ia ingin Khanaya yang berada di atas ranjang ini.
Keinginan yang sama sejak ia menjadi suami Khanaya.
Sayangnya mereka hanya punya waktu sebentar untuk beristirahat setelahnya Huston harus terbang ke Makasar tiga jam mendatang.
Di banding mementingkan diri, Huston lebih perduli pada perasaan Khanaya.
Selama ini Khanaya sudah melayani sebagaimana semestinya.
Peran yang Khanaya lakoni seperti pasangan pada umumnya, Khanaya melakukan kewajibannya sebagai istri. Pun, malam indah seperti pasangan pada umumnya.
Huston sadari di binar mata istrinya belum ada getar cinta untuknya, entah kapan Huston bisa mendapatkan tatapan itu dari sang istri. Kapanpun Huston rela menunggu.
Tidak di cintai saja dia diperlakukan seperti suami pada umumnya, bagaimana jika ada cinta?
"Pranatah menjemput ku dua jam lagi."
"Mas istirahatlah, biar ku siapkan segala sesuatunya. Rencananya berapa hari di sana?"
Selalu seperti itu.
Perhatian dan mengerti.
"Empat sampai lima hari."
Dengan telaten, tangan Khanaya mengisi koper Huston dengan pakaian, dan perlengkapan pria itu.
Khanaya tahu banyak tentang Huston. Selera pakaian pria itu, makanan bahkan hobinya.
Huston terpaku pada tas kecil yang berada di atas kopernya. Khanaya hampir tahu semua yang ia butuhkan, bahkan menyangkut pekerjaannya.
"Sudah bangun?"
Huston menyugar rambutnya. "Hm,"
Dan Khanaya tidak bicara lagi sampai tubuh Huston menghilang di balik pintu kamar mandi.
Setelah itu, ia keluar dan menemukan sepasang pakaian untuknya di sisi ranjang.
Kemeja dan juga celananya?
Senyumnya melengkung.
Tidak ada yang lebih mengerti seleranya selain Khanaya.
Huston sudah berpakaian, Khanaya baru keluar dari kamar mandi.
Khanaya menggulung rambutnya, hingga memamerkan tengkuk putih mulusnya.
Sebuah jepit permata di sematkan di rambutnya, menambah kesan manis dan elegan.
Mata Huston merekam kegiatan singkat wanita itu. Hingga Khanaya mengenakan antingnya.
Dan begitu benda itu berada di tempat semestinya hasilnya memukau pandangan Huston, hingga ia harus menelan ludahnya.
Keindahan seorang Khanaya terlalu nyata dan menyilaukan.
Khanaya memejamkan matanya, ketika merasakan bibir Huston bermain di tengkuk dan semakin merambat ke arah telinganya.
"Mas bisa terlambat."
Huston menghentikan sentuhannya pada Khanaya. Dan mengenggam tangan itu keluar dari ruangan yang akan membuat dirinya hilang kendali saat asistennya sedang menunggu di ruang tamu.
"Tak usah mengantarku."
"Kenapa?"
Karena aku tak yakin jika melihatmu sekali lagi bisa melangkah menjauh yang ada aku ingin membawa langkahku menuju ke arah mu, tanpa mau beranjak.
Huston meringis dalam hati.
Kata-kata itu hanya di ujung lidah tak bisa ia sampaikan dengan lisan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Sandisalbiah
Huston belum sepenuhnya lepas dr masa lalunya walau dia mencintai Khanaya... nyatanya dia tak pernah menolak Qilla yg selalu berusaha utk mendekatinya...
2023-08-28
0
M. salih
cintai huston khanaya kasihan
2023-06-24
0
mia
sudah bersama kenapa TDK mencoba membuka hati Kay ..
2023-06-07
0