Jalan takdir?

Ketika hati mulai memilih tidak menutup kemungkinan seseorang melihat dan menerima sebongkah rasa yang pernah hadir dalam sanubari.

Cinta tidak bisa dipaksakan, ia akan hadir dengan sendirinya.

Setiap hati punya rasa, ia akan mengikuti alur desirannya.

Huston menatap putrinya yang tertidur pulas.

Ia bahagia.

Dirinya sempat berpikir tidak akan bisa berpaling dari Qilla.

Tapi kenyataannya, tidak.

Waktu yang menyangkutkan hatinya pada gadis yang pernah berstatus sebagai sahabat Istrinya.

Sosok Khanaya sangat berarti dalam kehidupan masa lalunya bersama dengan orang yang pernah begitu ia perjuangkan.

Kini seolah takdir ingin membalik keadaan, dia yang harus berusaha keras untuk meluluhkan hati wanita yang sudah seperti pahlawan di masa lalu.

Bukan sosok asing, mereka selalu bersama meski tanpa rasa lebih sebelumnya.

Benar perkataan orang Jawa yang mengatakan. Witing tresno jalaran soko kulino artinya cinta ada karena terbiasa.

Kebiasaan yang dilakukan Khanaya menumbuhkan rasa di hati Huston, tapi hati wanita itu terlalu keras hingga terlalu sulit bagi ayah satu anak itu untuk melunakkan.

******

Kenyataannya Khanaya memilih pergi. Tidak ada satupun yang menyangka jika itu menjadi keputusan mutlak wanita 29 tahun itu.

Marah? Tidak. Kecewa? Mungkin.

Sudah hampir seusia orang mengandung Khanaya meninggalkan Indonesia. Dan selama itu tidak ada komunikasi yang bisa memberi kejelasan hubungan keduanya.

Bram juga tidak menyangka putrinya memilih untuk pergi, keadaan berubah setelah Avila menjadi pasien ayah Khanaya. Dari sana Bram bisa melihat dengan jelas seberapa dewasa dan bertanggung jawabnya seorang Huston.

Terakhir kali Bram menghubungi sang putri Khanaya dalam keadaan baik dan semakin dewasa.

Khanaya tipe wanita akhir zaman, yang mementingkan karier di atas segala-galanya.

Usianya yang sudah matang, tidak sekalipun ia habiskan untuk hal tidak berguna.

Pacar?

Ia tak punya.

Mantan?

Dia sudah buang pada tempatnya.

Aarav melihat kakanya yang tertawa lepas mengamati wajah cantik dengan mata menyipit itu dengan penuh kasih.

Entah apa yang membuat kakanya hingga saat ini masih betah sendiri? Yang pasti bukan karena tidak ada yang mau, tapi kakanya saja yang sepertinya belum bisa membuka hati.

Tawa indah itu harus berakhir ketika ponsel di tangan Khanaya di turunkan dari telinganya.

Entah dengan siapa sang Kaka berbicara tetapi Aarav cukup senang dengan seseorang yang bisa membuat kakanya seperti gadis normal.

"Jaga diri baik-baik sayang." itu kalimat akhir yang Khanaya tunjukkan pada orang di sebrang sana.

"Kamu?"

Aarav tersenyum.

"Kenapa?"

"Di tunggu Kak Darene dan Melly di bawah."

"Owh, aku akan segera turun."

Aarav bergabung dengan kakak, adik dan kedua orang tuanya.

"Sebentar Kak Khanaya turun."

*******

"Aksa sering menemui Papa menanyakan kabar sekaligus keberadaan mu."

Khanaya sudah mendengar jika pernikahan lelaki itu kandas, tapi tidak terlalu perduli.

"Sampai kapan sendiri? nggak pengen punya beginian?" Darene menimang bayi merah yang tak lain anak dari Aarav dan Sea.

Mendengar pertanyaan si sulung Tirani dan Bram ikut melihat putrinya. Khanaya hanya meringis tapi tak menunjukkan wajah kesal ataupun tersinggung.

Urusan jodoh itu sama Tuhan, Khanaya tidak terlalu memikirkan, berapapun usianya dia tidak merasa merugikan siapapun.

"Papa dan Mama berapa hari disini?"

"Tidak bisa lama, pasien Papa tidak bisa ditinggal terlalu lama." tutur Bram.

Khanaya manggut-manggut.

"Selain untuk melihat cucu, papa juga ingin bicara serius denganmu."

Ucapan ayahnya awalnya tidak terlalu di dengar tapi ketika satu nama disebut Khanaya tidak sedikitpun melewatkan apa yang ayahnya sampaikan.

"Awalnya papa kira Huston mendatangi papa perihal kepergianmu ternyata salah."

Khanaya masih mendengarkan.

"Masalahnya adalah belakangan ini, Avila tidak bisa mengendalikan diri."

"Heh?" kaget Khanaya memekik pelan.

"Awalnya hanya kakinya yang lemas, kadang bahunya sakit sampai tak mampu mengangkat tangan, enam bulan kemarin Avila masih bisa mengontrol diri, tapi belakangan ini terlalu sering. Untuk itu dia konsultasi dengan papa."

"Lalu?"

Khanaya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

"Kesalahannya adalah Avila tidak mengatakan apa yang di alaminya pada papanya. Bisa dikatakan ini sangat terlambat diketahui andai saja setahun yang lalu dia langsung kontrol atau memeriksakan ke dokter, atau setidaknya melakukan CT scan."

"Apa yang sebenarnya terjadi pada Avila, pa?"

"Ada tumor yang tumbuh di kepala, tumor itu menekan sarafnya, dan itu membuat dia sering lepas kendali, syaraf motoriknya juga hampir tertekan sepenuhnya, makanya kadang dia bisa lumpuh dadakan."

"Avila masih terlalu kecil, pa."

Bram mengangguk.

"Operasi nya sangat beresiko, keputusannya tumor itu akan diangkat seluruhnya, tapi butuh waktu yang cukup lama dan juga ketelitian tinggi, tapi sepertinya Avila tidak memiliki semangat melewati cobaan ini."

Kini wajah Khanaya berubah. Dia tak bisa membayangkan melihat wajah kesakitan Avila, kenapa selama ini anak itu tak mau memberi tahunya?

Sementara setelah informasi yang Bram sampaikan semua orang menatap wajah sedih Khanaya.

Hati Khanaya terikat dengan seseorang. Mungkinkah ini yang membuatnya susah membuka hati.

Bram juga mengetahui sesuatu yang membuat Huston tercengang dua bulan yang lalu.

Kasihan.

Bram menjadi simpati pada pria yang pernah melamar putrinya, tapi melihat Huston rela melakukan apapun untuk Avila setelah mengetahui kebenaran itu membuat Bram semakin tau seberapa baik pria itu.

"Dia belum setuju untuk operasi."

Khanaya tidak bergeming.

"Halo? Ada apa?" ayahnya seorang tenaga medis, ditelepon malam-malam oleh rekan dokter tentu saja buat Khanaya deg-degan.

"Ada apa?" tidak tahu kenapa Khanaya merasa telepon barusan ada hubungannya dengan Avila. Dan itu benar.

"Pasien bernama Avila memaksa pulang."

Kaget? Pasti.

"Besok papa akan pulang."

"Aku ikut."

*****

Khanaya berlari menuju kamar yang sudah dikonfirmasi oleh ayahnya.

Ini sudah sangat larut untuk membesuk seseorang. Tapi Khanaya tidak bisa menahan perasaannya.

Belasan jam di perjalanan tak membuat semangatnya surut untuk menemui si kecil kesayangannya.

Saat mendorong pintu ruangan tersebut, Khanaya menemukan laki-laki yang dikenalnya tidur masih dengan mengunakan pakaian kantor. Tak mau perduli Khanaya gegas menghampiri dimana Avila berbaring.

Merasakan punggung tangannya di genggam mata kecil Avila terbuka.

"Ibu..."

Cup!

Cup!

Cup!

Khanaya mengecupi seluruh wajah Avila, melepas kerinduan yang sudah terpendam sembilan bulan lamanya.

"Ibu disini?"

Khanaya mengangguk dengan derai air mata.

Inikah alasan sang putri tidak pernah mau melakukan panggilan video dengannya? Avila tampak kurus dengan wajah seperti kapas. Padahal komunikasi antara dia dan Avila tak pernah putus tapi kenapa dia bisa kecolongan seperti ini.

Isak rendah Khanaya mengusik tidur seseorang.

Huston menajamkan pendengarannya, matanya terbuka untuk melihat keadaan Avila tapi mata itu menemukan sosok lain yang sudah lama ingin di hilangkan dari pikirannya.

"Khanaya?"

#######

Masih ada yang menunggu lanjutannya?

Terpopuler

Comments

Heryta Herman

Heryta Herman

jln takdir mu ada bersama si gadis kecil kesayanganmu khanaya..

2024-09-18

0

Sandisalbiah

Sandisalbiah

lalu di mana emak kadungnya... apa udah nyungsep si got palanya jd gak bisa lihat kondisi puteinya...

2023-08-28

0

Zuli Lestary

Zuli Lestary

ooh...
jalan takdir.. slalu menemukan jalan nya untuk pulang

2023-07-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!