Belum sampai lima menit Khanaya tiba di apartemennya tiba-tiba Qilla datang dengan wajah sembab.
selama menjadi sahabat Khanaya memang memberi akses Qilla untuk masuk kedalam apartemennya, dari dulu Khanaya memang se care itu pada Qilla.
Bahkan bisa dibilang, Khanaya lebih mementingkan kepentingan Qilla dari pada adik bungsunya yang kini baru duduk di bangku SMA semester genap dan akan lulus tahun ini.
"Khanaya, hiks, hiks, hiks ... " Qilla mendaratkan bokongnya di sofa dekat dengan sahabatnya. " Kamu tahu nggak saat ini pikiranku buntu, tiba-tiba mas Huston menentang keinginan ku untuk meraih kesuksesan." adu Qilla dengan lelehan air mata.
Tidak salah? Dua tahun pria itu selalu mengalah, Khanaya sendiri saksinya. Lantas kenapa Qilla begitu saja melupakan pengertian suaminya?
"Katakan sesuatu aku harus bagaimana?" rengek nya sesegukan.
Pekerjaannya bukan sebagai konsultan rumah tangga bahkan dia sendiri masih single, nasehat seperti apa yang ingin di dengar sahabatnya?
Qilla menceritakan sebab pertengkarannya dengan Huston dan Khanaya mendengar dengan baik, hampir semuanya, hanya kurang sempurna karena Qilla tidak mengatakan keluhan Huston tentang urusan batin.
"Kamu harus tahu posisiku, sulit sekali membuat mas Huston mengerti saat ini, dia ... berubah!" tuduh Qilla.
Qilla tidak mau menyerah, ia ingin hubungan dengan suaminya tetap baik tanpa harus meninggalkan kariernya.
"Tinggal selangkah lagi Khanaya, aku tidak mungkin melepas pencapaian ku begitu saja."
"Kenapa butuh saran bila masih membenarkan pikiranmu?" tanya Khanaya.
"Khanaya..." Qilla bangun menggenggam tangan sahabatnya.
"Bantu aku bujuk mas Huston ya?" rayunya yang tidak di hiraukan Khanaya.
"Jawabanku sama seperti suamimu, tinggalkan semua ini. Bukan uang yang akan mengangkat derajat seorang istri, tapi takzimnya."
Harusnya tak perlu lagi nasehat mengingat bukan kali ini saja ada masalah di antara mereka tapi berkali-kali tapi sepertinya tak pernah diambil pelajaran malah menyemangati ambisi yang bisa saja mengikis rasa.
Khanaya sudah sadar jika keperduliannya menimbulkan masalah untuk itu dia akan mencoba acuh kali ini.
******
"Aku ganggu?"
Khanaya meninggalkan apartemen karena menghindari sahabatnya
Memilih berangkat ke restoran untuk menenangkan pikiran, dengan cara mengolah bahan-bahan mentah menjadi salah satu menu ia pikir bisa melupakan sejenak otaknya yang sedang ruwet karena ucapan Huston terus menari di benak.
Tapi apa yang ia dapati?
Saat ini justru kedatangannya di sambut oleh lelaki yang sejak tadi suaranya terus terngiang di telinga.
Lelaki itu tidak sendiri ada Avila di gendongannya.
"Bu, bu, bu..ibu.." celotehnya dengan tangan terangkat kedepannya, mereka memang sudah sangat dekat, hampir setiap waktu dihabiskan bersama, bagaimana bisa mudah akan menjauh begitu saja tanpa rasa rindu.
"Avila rewel, aku tidak bisa menenangkannya." kata pria itu lagi.
Khanaya tidak tersenyum saat meraih tubuh kecil itu kedalam gendongannya. Kening Huston mengernyit melihat wajah Khanaya yang kembali dingin seperti dulu. Ah, atau memang sebenarnya dia saja yang terlalu berharap ada senyum di bibir irit bicara itu.
Wanita yang responsnya sangat singkat.
Aneh, kenapa Huston merasa tidak enak melihat raut dingin Khanaya.
"Sepertinya aku datang di waktu yang kurang tepat." Huston cepat tanggap.
"Enggak apa-apa kalau Avila mau di tinggal." kata Khanaya setelah mereka saling diam beberapa detik.
Khanaya heran, dari semua tempat kenapa dia datang kesini, bukan cuma Qilla tapi juga lelaki yang ada di hadapannya ini.
"Aku pulang saja." seolah mengerti bahwa Khanaya tidak seperti biasanya Huston ingin membawa Avila kembali pulang.
"Masuk dulu, aku.."
Khanaya melihat pemberontakan dari putri kecil mereka. Bolehkah di sebut begitu? Karena selama ini dialah yang menemani tumbuh kembang balita itu.
Tapi Huston menolak ajakan Khanaya.
Dada Khanaya bergetar melihat air mata Avila, anak itu menangis.
"Aku menghargai waktumu."
Huston membawa putrinya pergi.
Jangan kejar, biarkan saja. Khanaya merapalkan empat kata itu bagai mantra. dia harus melepas mereka sebagaimana semestinya. Tapi sungguh air mata gadis itu tetap jatuh.
Ini sudah seperti patah hati bagi Khanaya. Dia harus menanggung luka karena sebuah perpisahan.
Dia merapalkan dalam hati bahwa ini yang terbaik untuk mereka semua, untuk keluarga kecil sahabatnya dan juga untuk dirinya pribadi.
*******
Pagi bergulir menjadi siang, mata hari bertukar dengan sinar rembulan.
Keadaan itu terus berjalan hingga satu pekan berlalu.
Khanaya terpaksa menonaktifkan ponsel nya selama itu.
Tapi hatinya justru di hantui kekosongan.
Dia mulai merasa sepi, karena benar-benar hanya memiliki Avila dua tahun belakangan. Waktunya sudah di monopoli anak sahabatnya itu. Kini karena kesibukannya dulu dia baru merasakan efeknya, efek dari terlalu perduli dan terlalu mengutamakan sesuatu.
Mau berkesah sama siapa? Kedua orang tuanya sibuk, kakaknya yang sudah berumah tangga juga terkesan jauh, kedua adiknya juga sibuk dengan kegiatan masing-masing. Andai dia memiliki kekasih.
Tapi itu benar-benar baru dirasakan Khanaya saat ini, merasa bagai sebatang kara.
*******
Permainan takdir untuk Khanaya.
Sudah hampir tiga bulan Khanaya menghindari mereka, tapi siapa sangka sekarang mereka kembali dipertemukan.
Tidak benar menerima tamu malam-malam begini di tambah tamu yang datang adalah suami orang. Apalagi setelah sekian lama mereka tidak bertemu.
"Boleh aku duduk?"
Untuk pertama kalinya Khanaya kembali ke apartemen setelah tiga bulan, bagaimana langsung mendapat tamu seperti ini?
Sebentar, pria itu baru saja meminta izin duduk? Itu artinya dia ingin masuk?
Khanaya tersenyum masam. Bagaimana dia terus saja bertemu dengan orang-orang yang ingin dia hindari.
"Silahkan masuk." adalah dua kata yang salah dan akan mengawali sesuatu yang akan menciptakan sesal.
Khanaya melihat Huston. Bukan haknya mengawatirkan seseorang yang tidak ada hubungannya, bukan ranahnya juga untuk bertanya apa yang terjadi pada Huston.
Secangkir kopi dan beberapa kue yang baru Khanaya beli dari mini market ia hidangkan.
"Terimakasih," ucap Huston lalu menyesap kopi buatan Khanaya. Sudah puluhan bahkan ratusan kali Khanaya membuatkan minuman untuknya, jujur pengecap rasanya sudah terbiasa dengan kopi buatan gadis itu, bahkan setelah Khanaya pergi tiga bulan ini tanpa kabar, Huston begitu merindukan kopi buatan gadis itu. Citra rasanya selalu pas.
"Qilla tahu kamu kesini?"
Ada satu hal yang menarik dan membuat penasaran Huston adalah Khanaya yang tidak pernah menyebut dirinya, gadis itu selalu memilih pertanyaan yang otomatis tertuju pada inti tanpa embel-embel panggilan.
Khanaya juga si paling tanpa basa-basi.
Huston mengangkat bahu sebagai jawaban.
"Dia dirumah?"
Ada atau tidak wanita itu sama saja, dia hanya bisa berbaring tanpa berbuat apa-apa atau bergadang semalaman diruang kerja.
Khanaya tidak akan bertanya apa yang terjadi di antara mereka, apakah mereka bertengkar lagi atau hal lain yang disebut masalah. Khanaya hanya tidak mau menyinggung urusan pribadi mereka.
Seandainya Khanaya tidak pernah mendengar pertengkaran mereka tiga bulan yang lalu mungkin dia tidak akan se-risih ini berhadapan dengan Huston.
Huston bukannya tidak tahu Khanaya tidak nyaman karena kehadirannya, tapi dia mencoba abai.
Entah mengapa dia bisa begitu tenang hanya duduk berhadapan dengan Khanaya.
Sapaan ringan yang dia dapat dari sahabat Istrinya malam ini mengobati rindunya. Rindu?
Telah lama Qilla mengosongkan kalbu pria itu yang dirasakan hanya dingin dan hampa. Bukankah selama ini cuma ada Khanaya?
Untuk Khanaya sendiri tidak tahu apa tujuan lelaki itu datang. Selama ini obrolan panjang atau tawa bersama yang terjalin, hanya tanya sekedar kepentingan Avila atau istri pria itu.
Baiklah, mungkin Khanaya harus bertanya apa tujuan laki-laki itu kesini agar dia bisa istirahat dengan tenang setelah suami sahabatnya itu pergi.
"Adakah yang perlu ku dengar?"
Perlahan Huston mengangkat kepala hingga tatapan mereka bertemu. Khanaya yang tidak sengaja menatap pandangan Huston padanya sempat kikuk. Khanaya tampak gugup saat menangkap pesona yang selama dua tahun ini tak pernah dilihat dari pria tersebut.
Bergelut dengan pikirannya sendiri, Khanaya dibuat syok dengan ungkapan Huston.
"Aku ingin bercerai."
DUARR!!!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Sandisalbiah
saat kesabaran sudah berada di titik terendah.. kejenuhan... lalu kemaren² ngapain aja bang..? istri ngelunjak di biarin.. nah sekarang mau cerai.. kenapa ngaduh nya ke Khanaya.. bikin masalah aja.. 😏😏
2023-08-28
0
M. salih
cerai tapi Khan yang akan disalahkan pasti
2023-05-27
0
mia
asli baca novel ini berasa jd antagonis sinis terus komentarnya aku ..😂😂😇🙈
2023-05-26
1