Kesunyian kadang kala membuat manusia bisa berpikir lebih jernih. Dan, ketika keadaan tenang seperti ini banyak keputusan tepat tercetus.
Namun, bagaimana jika sunyi yang di maksud Keadaan yang begitu mencekam di setiap detiknya.
Huston mendudukkan dirinya, duduk dengan tenang dan menatap dua perempuan yang begitu berarti di hidupnya.
Khanaya membalas tatapan pria di sofa, sangat tenang melebihi tenangnya air di dasar laut.
"Avi mau di operasi jika Ibu mau menjadi ibuku beneran." kalimat itu keluar dengan polosnya.
Khanaya mengangguk pelan. Matanya tak lepas dari wajah orang di ruangan itu.
Huston masih mengamati tapi tidak berani untuk menebak apa yang akan di ucapkan wanita itu untuk membujuk putrinya.
Khanaya menimbang, kalimat yang baru saja terlontar dari bibir kecil Avila tentang memintanya jadi ibu tidak di dengar sekali ini saja, sering. Sampai Khanaya tidak tahu ini keberapa kalinya Avila masih melamarnya untuk menjadi ibu yang sesungguhnya.
Mereka masih saling tatap dengan pikiran berbeda. Huston dengan penasarannya tentang jawaban yang akan Khanaya berikan pada Avila, Khanaya dengan pertimbangan tentang keselamatan nyawa seorang anak yang sudah seperti belahan jiwanya.
Huston mengerang pelan, ketika mendengar jawaban dari Khanaya.
Keinginan yang selalu diinginkan dari wanita itu selama bertahun-tahun ini yang belum membalas rasanya.
Lihatlah wanita itu, sama sekali tidak sungkan atau memposisikan dirinya dengan tingkah seorang gadis yang malu-malu ketika berhadapan dengan seseorang yang berapa kali di tolaknya.
Tidak ada senyum di wajah datar itu. Tapi hanya dengan ungkapan sederhana itu mampu membuat dada Huston bergetar.
Mimpi?
Huston beberapa kali mencubit punggung tangannya untuk menyadarkan diri.
Tapi. Sakit?
Nyatakan?
"Ibu akan bicara pada kakek dan nenek,"
"Sungguh?"
"Ya, tidurlah. Ibu akan menjaga Avila disini." tulus Khanaya.
Gadis kecil di atas brankar itu memeluk lengan gadis yang di panggilnya ibu, hatinya terlalu bahagia hingga rasa sakitnya tak lagi terasa.
******
"Jangan berbuat sesuka hatimu."
Itu kalimat pertama setelah Huston menarik tangan Khanaya begitu putrinya terlelap.
"Keberatan menikahi ku?"
Omong kosong!
Huston mengusap wajahnya gusar.
Pertanyaan macam apa itu?
Khanaya sedang tidak ada waktu untuk berdebat, ia lelah. Tidak hanya fisik tapi juga dengan hatinya. Dimana pun dia berada hanya Avila menjadi pusat rindunya. Kemanapun dia pergi Avila juga tempatnya kembali.
Takdir?
Khanaya percaya itu, dan kini akan lebih baik menjalani sesuai jalan yang sudah terpilih untuknya.
******
"Untuk apa kamu menuruti? Dia bukan darah daging mu!"
"Mom, please!" iba Huston. Sampai kapanpun dia akan menganggap Avila putrinya, meskipun fakta tidak demikian. Demi Tuhan dia sangat menyayangi Avila.
Khanaya duduk di sofa single di hadapan ibu dan anak yang sedang menyingkap sebuah kebenaran.
Terkejut?
Sangat.
Tapi jika Huston saja masih bisa bersikap demikian tidak ada keraguan Khanaya untuk melangkah.
"Kamu? Bagaimana jika saya tetap tidak merestui?"
"Mom!"
Huston pergi tidak sanggup mendengar penolakan sang ibu. Bukan yang pertama, tapi cukup sakit hati jika di dengarkan.
Khanaya mengantar kepergian laki-laki itu dengan pandangannya, sampai Huston menghilang.
Setelah suara pintu tertutup Khanaya menghela nafas.
Bukan lega, tapi sesuatu yang membebaninya.
Percayalah.
Ini bukan perjuangan receh, ataupun perjuangan cinta putri Bramyansyah.
Tapi... Ini tentang memperjuangkan sebuah nyawa.
Pintar, tangkas, bijaksana tapi acuh dan tentunya cantik.
Ini yang Dewi lihat dari Khanaya setelah pertemuan beberapa kali.
Khanaya bukan tipe wanita yang gila dihormati, tapi juga tidak suka jika di remehkan.
Fokus Khanaya kembali pada ibu Huston.
Sementara Ibu Huston sudah menilai sosok Khanaya lebih dulu.
Dewi bisa melihat tak ada binar cinta di mata Khanaya untuk Huston, berbeda dengan tatapan putranya pada gadis ini.
Beberapa kali bertemu Dewi juga menemukan kesamaan antara putranya dan Khanaya.
"Apa yang membuatmu setuju, aku tak melihat cinta untuk putraku?"
Nyawa. Dia sudah mengorbankan waktu dan perasaan untuk Avila.
"Pernikahan tidak melulu atas dasar cinta Tante," karena yang menikah atas nama cinta berakhir perpisahan banyak. Sayang dari bait terakhir hanya mampu Khanaya ucapkan dalam hati.
Dewi meringis. Khanaya berbeda dengan Qilla yang mudah tersinggung, wanita ini tegas dan tentunya tidak kekanakan.
"Kamu yakin dengan putraku?" kini Dewi yang memantapkan keputusan terakhir sebelum semuanya terlambat.
Dan, setelah pembicaraan penting di rumah Dewi, Khanaya pulang.
Khanaya memilih Huston.
Jangan tanya karena atau sebab, semua tau jawabannya.
Apa ada rasa Khanaya untuk Huston?
Tidak ada.
Tapi dari dua belah pihak keluarga memilih setuju. Orang tua Khanaya karena sudah mengetahui kwalitas Huston. Ibu Huston karena tidak ingin putranya terus terpuruk dalam kesedihan.
******
Waktu tiga hari yang sudah disepakati bersama harus meleset hingga satu minggu. Karena Avila drop dan Khanaya sedang sangat bersedih.
Tidak ada yang salah. Karena semua tahu secinta apa Khanaya pada Avila.
Tapi yang membuat miris ialah, Ibu kandung Avila tak juga kunjung datang. Kabar yang beredar Qilla sedang menjalin hubungan dengan seorang duta besar yang sudah beristri.
Entahlah!
Khanaya sudah tidak mau perduli pada sahabatnya.
Ini hari malam keempat setelah acara ijab yang mengubah status Khanaya. Tapi hingga kini Sepang pengantin baru itu tak pernah bertemu.
Huston sedang ada masalah serius di kantor, benar-benar diharuskan fokus hingga pria itu belum sempat pulang, sementara Khanaya juga terus berada di rumah sakit.
Keadaan Avila terus menurun hal yang paling buruk terjadi dua jam yang lalu.Tubuh kecil itu bergetar hebat tapi tak ada tanda kesadaran sama sekali.
Kabarnya Huston sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Jika benar seperti itu maka ini kali pertama mereka akan bertemu setelah status mereka sepasang suami istri.
*****
Tepat jam 10 malam Huston datang.
Sekilas mata mereka bertemu, tidak ada sapa karena Khanaya sedang makan dan mulutnya penuh dengan nasi goreng yang di antarkan oleh Mamanya.
Melihat Huston duduk, Khanaya berdiri.
Bukan untuk menghindar melainkan untuk menyiapkan makan malam seperti yang dia nikmati.
Kuyu.
Itu yang Khanaya lihat dari wajah lelaki yang sudah menjadi suaminya.
Pucat.
Itu yang Huston pandang dari wanita yang sudah ia nikahi.
Sama-sama saling memperhatikan tapi tidak saling menampakkan, mungkin hanya sekedar melirik sekilas.
"Lanjutkan makan mu," perintah Huston begitu Khanaya sudah meletakkan piring berisi nasi goreng dan sebotol air mineral di hadapannya.
"Eum." Khanaya duduk di hadapan Huston kembali menikmati makan malam yang sedikit terlambat.
******
Dewi kagum melihat sosok istri putranya. Bangun di pagi buta, sebelum orang-orang terjaga dan membereskan rumahnya hingga menjemur pakaian yang dia tau milik Huston.
Bukan sengaja ia membiarkan, terlebih ini pertama kalinya Khanaya mengunjunginya setelah lima hari menjadi seorang menantu.
Mengecek dapur cucian piring juga sudah beres.
Dimeja makan ada dua cangkir teh yang masih mengepul asapnya.
"Huston tidur di rumah sakit?"
Tanya Dewi setelah Khanaya ikut duduk di meja makan.
Khanaya mengangguk. Sama sekali tidak ada kecanggungan meski Khanaya berhadapan dengan ibu mertuanya.
"Ada Mba yang membersihkan rumah, kamu jangan memaksakan diri."
Tidak seperti teguran tapi lebih seperti perhatian, apapun itu Khanaya hanya mengiyakan.
Dewi gemas melihat sikap menantunya, dia seperti bicara seorang diri.
"Kenapa pulang ke sini?"
Baru setelah itu Khanaya mengangkat wajahnya.
"Ibu tidak mengizinkan saya berkunjung?"
Tidak bisa berkutik. Dewi kaget mendengar pertanyaan Khanaya. Dewi kira jawaban menantunya normal di suruh Huston misalnya.
Apa Khanaya sendiri yang ingin datang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Heryta Herman
hubungan yg rumit...
2024-09-19
0
mia
mau ngucapin selamat berjuang tuk hatimu khanaya ..🤔😇
2023-06-04
0