Elvira bergegas turun dari taxi tanpa sempat menghiraukan barangnya lagi. Dia sudah tiba di Rumah sakit sesuai dengan petunjuk dari yang diberikan petugas padanya. Entah kenapa belum ada keluarga sama sekali disana sebagai wali Mita, hingga El disana hanya berteman dengan air matanya.
Ia kebingungan sendiri disana, mengintip sejenak para perawat membersihkan luka sahabatnya. Dadanya begitu sesak, ia tak mampu tapi harus tetap membuka mata disana. Ia tahu jika sudah tak ada harapan lagi untuk Mita meski hanya sekedar untuk membuka mata dan menyapanya untuk yang terakhir kali.
"MIta," isak El yang sesegukan kehabisan airmata. Hingga akhirnya perawat keluar dan mempersilahkan El masuk menemui sahabatnya.
"Ke-keluarga sebentar lagi datang, dan saya sementara disini."
"Baik,"' angguk seorang perawat padanya.
Sekujur tubuh El gemetar mendekati brankar itu, dimana Mita sudah abadi memejamkan matanya. Semua telah dibersihkan, bahkan jam tangan kembaran mereka pun sudah ada di nampan dan terlepas dari tangan Mita beserta acesoris lain yang ia pakai sebelum kejadian.
"Mita," rengek El memeluk tubuh Mita yang diselimuti kain putih itu, dan bahkan ia tak berani membuka dan melihat wajah sang sahabat untuk yang terakhir kalinya. Ia menangis tersedu-sedu disana sendirian, tanpa ada seorangpun yang mengusap Pundaknya seperti ketika Mita mengusap Pundak El ketika kehilangan Ibunda tercinta.
"Aku maunya disambut sama senyum dan pelukan kamu, bukan begini. Tahu begini, aku ngga akan pulang asal masih bisa lihat kamu tersenyum di video pernikahan. Aku ngga mau.... Bangun, Mita!!" raung Elvira dengan isaknya yang membabi buta.
Tubuh El merosot hingga duduk meringkuk disamping brankar Mita saat itu, memeluk lututnya dan bersandar lemas disana kehabisan tenaga dan tak kuat lagi menangisinya.
Tatapan El tertuju pada sebuah paperbag yang ada dikolong brankar saat itu. El membukanya, dan ternyata adalah sebuah kebaya abu-abu dengan tulisan nama Elvira disana. Pasti itu kebaya yang dibuatkan oleh Mita untuknya, agar seragam dengan kebaya pernikahan Mita nanti. Tak ada kata lagi yang bisa El ucapkan, Ia seperti orang linglung dan begitu frustasi dengan keadaan saat ini.
El hanya memeluk lututnya sendiri dengan mata yang mulai membengkak akibat tangisnya tak kunjung reda. Hingga langkah kaki terdengar datang dalam jumlah banyak, mereka mencari Mita dan segera masuk kedalam ruangan itu setelah perawat memberitahu ruangannya.
"Mita! Astaga, Mita!" Ibu Nurul, ibunya MIta meraung-raung memeluk jasad anaknya yang telah dingin disana, begitu juga ayahnya.
"Elvira?" sapa ayah Mita yang saat itu melihat El meringkuk dilantai. Ia lantas meraih tubuh El dan memeluknya dengan erat karena memang sudah menganggap El sebagai putrinya sendiri saat ini.
"Pak... Bapak!!" tangis El lagi dalam pelukannya, meski tangis itu tanpa air mata karena sudah benar-benar kering saat ini.
"El, kamu selamat? Bukankah mereka menjemput kamu di Bandara?" El menggelengkan kepala dan menjelaskan semua kronologis kejadian yang ada. Perih, tapi itu semua sudah terjadi dan tak bisa dihindari lagi.
"Kenapa begini, Nak? Kamu baru aja mau bahagia, tapi kamu justru pergi secepat ini ninggalin ibu. Bangun, Nak." Ibu merintih perih, terdengar begitu perih dihati Elvira saat ini yang kembali teriris dengan suara ibu didekatnya.
Mereka semua mengurus kepulangan Mita saat itu. Berhubung hari masih sore, mereka akan secepatnya memakamkan Mita agar segera tenang dengan rumah barunya.
El ikut ke rumah itu karena Bu Nurul dan Pak Danang yang mengajaknya langsung pulang kesana karena memang itu tujuan awalnya. El hanya bisa duduk dipojok dengan segala rasa perih yang ada, ketika sang sahabat mulai diurus jenazahnya. Bahkan ia tak bisa ikut shalat jenazah saat itu karena berhalangan, hingga semakin sakit rasanya.
Bahkan ketika jenazah Mita dibawa ke makam, Bapak tak mengizinkan El ikut karena harus menjaga ibu di rumah dan menyapa tamu yang datang. Ibu masih syok dan murung saat ini, duduk melamun memegangi undangan sisa yang semuanya sudah tersebar dan tinggal menuju hari H. Bahkan disebelah ibu ada jam tangan dan cincin pertunangan Mita, dan ibu sama sekali tak menoleh atau menyentuhnya.
"Ibu minum dulu," tawar El, yang bahkan membantu ibu meneguk air putihnya saat itu. Terasa amat sakit meski hanya sekedar air yang bahkan bisa dengan sendirinya masuk kedalam tenggorokan hingga ibu kembali menteskan air matanya.
"Mita baru saja mau bahagia dengan kekasihnya, El. Tiga tahun menjalin hubungan itu tanpa restu, dan susah payah meraih izin dari orang tua Bayu untuk menikah. Tapi kenapa justru begini ketika sudah dekat pada semua yang Mita impikan," ucap ibu dengan wajah piasnya. Seakan taka da lagi harapan untuk melakukan apapun saat ini.
Mita memang berhubungan dan sempat ditentang orang tua Bayu kala itu karena Mita bukan berasal dari keluarga sekelas mereka yang kaya raya. Hingga akhirnya Mita mampu membuktikan diri jika Ia pantas bersanding bersama Bayu dengan gelar Dokter yang ia miliki.
"Bayu bagaimana?" tanya Ibu, dan El baru sadar bahwa ia tak memikirkan itu sejak tadi.
"Yang El tahu, Bayu selamat, Bu. Tapi, El tak tahu lagi bagaimana selanjutnya." El menundukkan kepala lagi-lagi menaha kepedihannya.
"Bagaimana ini? Undangan sudah disebar, semuanya sudah dipersiapkan dengan begitu matang. Tenda, dan semuanya Sudah siap dan akan datang sesuai waktu yang sudah ditentukan. Bahkan bagian dapur saja sudah penuh dengan persiapan pesta, bahan dan alatnya.
Harusnya mereka memasak untuk doa pesta, tapi yang terjadi adalah memasak untuk tahlilan malam pertama anak mereka.
"Bu Nurul, ada tamu." Seorang pria masuk dan memanggilnya saat itu. Bu Nurul sudah tak mampu berkata-kata lagi hingga hanya El yang mampu mewakilinya saat ini.
"Suruh masuk aja, Pak," pinta El padanya.
Pria itu mengangguk, lalu pergi hingga akhirnya tamu itu datang masuk dan menghampiri.
"Bu Lita?" panggil Bu Nurul pada calon besannya saat itu. Tapi El tak suka dengan cara Bu Lita menatap mereka, terutama dengan matanya yang tajam seperti tengah menyusuri rumah sederhana itu.
"Bagaimana keadaan Bayu, Bu?" tanya Ibu, padahal seharunya bu Lita menyampaikan dukanya untuk Mita saat itu terlebih dulu.
"Bayu bahkan belum sadarkan diri hingga saat ini. Tapi, setidaknya dia masih hidup."
Ucapan apa yang dilontarkan Bu Lita, padahal saat itu didepannya ada calon besan yang putrinya baru saja meninggal karena peristiwa yang sama dengan putranya. Ibu hanya bisa mengelus dada mendengarnya.
"Sejak awal saya sudah katakana, mereka tak mungkin menikah. Kenyataannya? Dari awal sampai saat ini, ada saja yang terjadi seolah memang takdir tak merestui."
Dada ibu langsung terasa sakit mendengar itu semua. Napasnya sesak, dan menundukkan kepala dengan napasnya yang terengah-engah tak karuan rasa, bahkan dunia seakan gelap dibuatnya karena sama sekali tak bisa membuka mata. Semua terasa berat.
"Bu, kami baru saja mendapat musibah dan calon menantu ibu meninggal. Bisakah sedikit berbela sungkawa? Apakah tak ada rasa simpati sama sekali dari ibu untuk Mita dan keluarganya?" El bersuara sedikit keras, dicampur segala rasa cemas dihatinya saat ini pada bu Nurul yang sudah sangat lemah dipangkuannya. Ia sudah menghadapi berbagai karakter orang disana, dan Ia juga terbiasa para orang seperti bu Lita.
"Mita sudah meninggal dan urusan dia selesai. Anak saya Bayu, divonis lumpuh dalam waktu lama. Masa depan dia masih panjang seharusnya!" sergah bu Lita pada El yang berani menentangnya. Ia tak suka ditentang, apalagi gadis seperti El yang baru ia lihat seumur hiudupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 198 Episodes
Comments
Molive(virgo girl)♍
maaf thorr
sedikit teguran...
di sambut dengan (senyuman)
bukan sama (senyuman)
2023-07-25
0
mama Al
besannya gitu amat ya
2023-06-24
0
☠☀💦Adnda🌽💫
astaghfirullah itu maknya sibayu nggak punya perasaaan amat y.... ibunya mitha aj masih blm percaya anaknya meninggal..... sabar..... sabar
2023-06-01
0