*Bab 19

Tapi tiba-tiba, kedatangan mbok Yah mengusik ketenangan Dinda saat ini. Dinda pun langsung memperhatikan apa yang sedang ada di tangan mbok Yah sekarang.

"Apa itu, mbok?"

"Ini tadi ... ada kurir yang nitip paket untuk non Dinda. Katanya, milik non Dinda, dan harus diberikan langsung pada tangan non. Katanya, non pesan begitu, non." Mbok Yah menjelaskan sambil melihat paket yang ada di tangannya.

"Hah? Saya pesan begitu? Nggak kok. Saya gak pesan paket apapun, Mbok. Lagian, mana ada saya pesan begitu kalo saya punya paket."

Dinda langsung memperlihatkan wajah bingung. Sementara mbok Yah, tentu ikut merasakan perasaan yang sama. Paket yang ada di tangannya, membuat pertanyaan besar dalam benak mereka berdua.

"Lalu ... siapa yang punya paket ini, non? Alamat yang tertera juga benar. Nama penerimanya juga benar, nama non Dinda."

"Tunggu! Apa mungkin ini paketnya Den Ilya ya non? Den Ilya sengaja ngirim untuk non Dinda buat ngasi kejutan. Den Ilya kan orangnya so sweet, Non."

Mendengar ucapan dari mbok Yah barusan, Dinda langsung mengubah ekspresi wajahnya. Ia juga tersenyum kecil sambil menerima paket yang mbok Yah ulurkan.

"Iya juga ya, mbok. Jangan-jangan ini beneran paket dari kak Ilya. Diakan suka bikin ulah yang cukup membingungkan terkadang."

"Tapi suka, kan?" Mbok Yah malah menggoda Dinda.

Godaan itu dinda tanggapi dengan senyum malu-malu saja. Kemudian, si mbok yang cukup penasaran itu meminta Dinda langsung membuka paket tersebut.

"Aku buka sekarang ya, Mbok."

"Ya, Non. Buka sekarang aja. Mbok juga merasa penasaran."

"Eh, tapi mbok boleh ikutan lihat kan apa isinya?"

"Iya, mbok. Gak papa kok. Sini duduk, kita buka sama-sama."

Mbok Yah melakukan apa yang Dinda katakan. Sementara Dinda sibuk berusaha membuka paket yang terbungkus rapi dengan plastik hitam tersebut.

Setelah berusaha membuka paket itu, akhirnya bungkusan paket terbuka. Karton dari paket itu pun terlihat. Dinda pun langsung membuka karton tersebut yang ternyata isi dari karton itu adalah amplop cokelat yang terlipat dengan rapi.

"Apaan sih isinya, non? Kok ribet banget bungkusannya, bikin perasaan mbok jadi gak enak." Mbok Yah berucap dengan nada agak kesal.

Dinda yang mendengar ucapan itu hanya mengukir senyum kecil. "Sabar, mbok. Kita buka sama-sama biar tahu apa isinya."

Sejujurnya, Dinda juga merasa tidak enak hati ketika melihat amplop tersebut. Entah kenapa, firasat buruk mulai terasa dalam hatinya. Ia pun berpikir jika itu bukan Ilya yang mengirim. Melainkan, seseorang yang entah siapa yang tidak ia ketahui latar belakangnya.

Namun, tangan Dinda dengan lincah membuka amplop tersebut. Perlahan tapi pasti, isi dari amplop itu terlihat di depan mata Dinda. Dan, rasa sakit seperti di tusuk duri pun langsung ia rasakan ketika melihat isi dari amplop tersebut.

Ya. Itu adalah foto masa lalu Ilya bersama para perempuan yang cukup beragam wajahnya. Setidaknya, ada belasan wajah perempuan yang berbeda yang ada di dalam foto-foto tersebut.

Dinda yang melihat foto-foto itu tentu langsung memasang wajah tidak enak. Sementara mbok Yah, dia juga menunjukkan ekspresi kaget sekaligus tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

"N-- non Dinda .... "

"Aku baik-baik saja, Mbok. Jangan cemas," ucap Dinda cepat. Ia langsung memotong perkataan mbok Yah. Karena sejujurnya, ia sedang sangat tidak baik-baik saja sekarang.

Hati Dinda sangat kacau. Meskipun ia tahu kalau semua foto itu hanya masa lalu Ilya, tapi bagaimanapun, rasanya sungguh tidak nyaman.

Kemudian, terakhir ia temukan sebuah amplop putih yang tertutup dengan rapi. Dinda tidak membuang waktu lagi, dia langsung merobek amplop tersebut untuk melihat isi di dalam amplop yang terakhir ini.

Sungguh tak disangka, dalam amplop putih itu isinya adalah hasil USG dan alas pendeteksi kehamilan sejak dini. Dua benda ini terasa langsung menghancurkan dunia Dinda seketika.

Kemudian, ada selembar surat yang terlipat dengan rapi. Tangan Dinda bergetar membuka surat tersebut. Dia tidak ingin melanjutkan semua ini. Tapi sayang, hatinya tidak menginginkan ia berhenti. Karena itu, mau tidak mau dia terap membuka surat tersebut meski tangannya sangat berat untuk ia gerakkan.

Sementara mbok Yah, dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ingin mencegah, tapi tidak bisa. Karena apa yang sudah terjadi, memang tidak bisa ia halangi lagi. Semua berjalan begitu saja dengan cepat.

Mata Dinda terus membaca satu demi satu kata yang tertulis dalam surat tersebut. Tanpa sadar, buliran bening jatuh perlahan meski dia sudah berusaha keras untuk menahannya.

Isi dari surat tersebut adalah.

*Mas Ilya. Apa kabar kamu sekarang? Aku dengar, sekarang kamu sudah menikah ya? Sungguh tega kamu sama kami, Mas. Kau lupakan aku dan anak kamu. Kau tidak mau mengakui anak ini sebagai anakmu. Tapi tetap saja, ini anak kamu, Mas. Darah daging kamu. Sekalipun kamu tidak pernah melihat anakmu. Sekarang, usianya sudah lima tahun. Tapi dia masih tidak tahu di mana papanya berada. Kamu kejam, Mas. Sangat kejam pada anakmu sendiri.*

Begitulah isi surat yang Dinda baca sekarang. Yang langsung membuat ia merasa sangat marah akan sikap Ilya pada perempuan yang sudah ia nodai, tapi tidak ia nikahi. Dinda mendadak merasa jijik sama Ilya karena surat itu.

Mbok Yah yang melihat Dinda menangis, langsung merasa serba salah. Ingin ia tenangkan, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Karena jika salah cara, maka Dinda akan semakin merasa tidak nyaman.

"Non ... Dinda. Apa ... apa isi surat itu?"

Dinda dengan tangan ringan langsung memberikan surat tersebut pada mbok Yah. Kemudian, dia langsung bangun dari duduknya setelah surat tersebut mbok Yah terima.

"Bakar semuanya setelah mbok selesai membaca! Jangan ada satupun yang tertinggal karena aku tidak ingin melihat sedikitpun kenangan masa lalu kak Ilya."

"Ba-- baik, non Dinda. Tapi ... pesan mbok hanya satu, Non. Bicaralah baik-baik dengan Den Ilya setelah ia pulang nanti. Karena bicara langsung dengan orang yang bersangkutan itu akan lebih baik dari pada diam membisu, Non Dinda. Kesalahpahaman bisa teratasi jika bicara langsung, Non."

Dinda tidak menjawab apa yang mbok Yah katakan. Ia pun terus melanjutkan langkah kakinya meninggalkan mbok Yah yang kini masih menatap kepergiannya yang meninggalkan taman tersebut.

Dalam hati Dinda berkata. 'Kesalahpahaman seperti apa yang bisa aku selesaikan jika bicara langsung dengan kak Ilya, Mbok? Semuanya sudah jelas. Masa lalu kak Ilya memang seperti itu. Buruk. Sangat amat buruk.'

'Tapi, bukan itu yang paling aku sesali sekarang. Tepatnya, aku menangis bukan karena aku tahu seburuk apa masa lalu kak Ilya. Karena untuk masa lalu, aku sudah tahu semuanya.'

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!