*Bab 12

"Ya, Ilya Mulyadi yang pernah kuliah di kampus kalian. Yang dulunya adalah raja kampus karena wajahnya yang tampan juga dia anak orang kaya meskipun katanya, dia anak desa yang besar di kota."

Perempuan itu terdiam sejenak. Sepertinya, benak dari perempuan itu berusaha mencerna apa yang Diani katakan.

Setelah beberapa detik terdiam. Akhirnya, perempuan itu angkat bicara kembali. "Ya. Aku ingat dia sekarang. Aku benci pria itu karena dia sudah menyakiti kakakku sampai kakak memilih mengakhiri hidup karena di permainkan cintanya oleh Ilya, si brengsek itu."

"Nah, sekarang, kamu sudah ingat dia, bukan?" Diani berucap dengan perasaan lega karena usahanya untuk memancing amarah telah berhasil.

"Aku tidak akan lupa pria bajingan itu. Sejak lama aku berusaha mencari pria itu. Tapi sayangnya, aku tidak menemukan dia sama sekali. Dia seperti lenyap begitu saja."

"Aku tahu di mana dia. Dia menghilang karena sekarang, dia sudah punya istri."

"Apa!? Dia sudah menikah? Bagaimana bisa dia menikah dan hidup bahagia sedangkan kakakku tidak ada lagi di atas dunia ini. Aku tidak terima akan hal ini. Ini sungguh tidak adil." Perempuan itu bicara dengan nada tinggi membuat semua mata memperhatikan mereka seketika.

Diani yang merasa kalau ini tidak baik, ia pun langsung menenangkan si perempuan yang bernama Lula itu dengan cepat. Dan, ia juga menenangkan para pengunjung yang lain agar tidak lagi memperhatikan mereka berdua.

"Tenanglah. Jangan terlalu terbawa emosi, Lula. Ini tidak baik untuk kita."

"Bagaimana aku bisa tenang, Diani. Pria bajingan itu sedang berbahagia sekarang. Tapi aku, aku hidup dalam kesedihan karena kehilangan kakak satu-satunya yang aku miliki."

"Bukan hanya kamu yang kehilangan kakak, Luna. Aku juga."

Sontak, Lula pun langsung terdiam dengan tatapan lekat ke arah Diani. "Apa maksud ucapan kamu barusan, Diani? Kamu juga? Maksud kamu bagaimana?"

Diani pun menceritakan apa yang terjadi pada Lula. Tentunya, dengan wajah yang dia buat sangat sedih dan tidak lupa air mata yang mengalir perlahan. Tapi, cerita yang ia ceritakan tentunya ada cukup banyak perubahan agar kesalahan tertuju lurus ke Ilya, bukan karena kecelakaan yang sengaja ia rencanakan.

"Jadi ... kakak kamu juga meninggal karena Ilya si bajingan bia- dab itu, Diani?" Kini, nada ucapan Lula sudah berubah. Tidak lagi berapi-api karena marah. Tapi, berubah prihatin dan terdengar ikut merasa sedih.

"Hiks, iya. Dia hisk benar-benar malang," ucap Diani sambil menangis.

"Maafkan aku, Diani. Ternyata, kakak kamu bernasib lebih tragis dari kakak ku. Ya sudah, mari bahas apa yang ingin kamu bahas sebelumnya. Maksudku, untuk apa kamu ajak aku bertemu?"

"Sudah aku katakan sebelumya, bukan? Aku datang untuk mengajak kamu balas dendam, Lula. Ayo balas dendam ke Ilya. Hancurkan rumah tangganya yang sekarang ia bena. Buat ia merasa menderita karena apa yang sudah ia lakukan terhadap kakak-kakak kita."

"Maksud kamu ... kamu ingin mengajak aku balas dendam dengan menghancurkan rumah tangga Ilya? Tapi ... bagaimana dengan istrinya, Diani? Bukankah istrinya tidak tahu apa-apa atas kesalahan yang Ilya perbuat? Istrinya tidak ada sangkut pautnya dengan niat balas dendam ini. Jadi ... kenapa kita harus menghancurkan rumah tangganya?"

Ucapan Lula barusan membuat Diani sangat kesal. Ingin rasanya ia marah dengan nada tinggi pada Lula sekarang. Tapi, hal itu tidak bisa ia lakukan karena ia butuh partner yang sejalan dengannya. Untuk itu, dia harus bertahan sekarang.

'Perempuan bodoh ini benar-benar bikin muak. Balas dendam, tapi tidak ingin menyakiti orang lain? Dia kira, balas dendam seperti apa yang ingin ia lakukan? Dasar perempuan yang benar-benar bodoh.' Diani mengumpat dalam hati.

"Lula dengar! Istrinya mungkin adalah orang yang sudah sangat mengerti bagaimana kehidupan masa lalu Ilya. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa menerima Ilya sebagai suaminya."

"Tapi ... bagaimana kalau perempuan itu tidak tahu apa-apa, Diani? Bukankah sesama perempuan, dia juga adalah korban?"

"Ya ampun, Lula. Kamu lupa apa yang Ilya lakukan pada kakak-kakak kita? Mereka telah tiada. Aku heran padamu, tadi kamu begitu bersemangat ingin membalas perlakuan Ilya setelah tahu kalau Ilya sudah menikah, kamu jadi marah besar. Tapi sekarang, kamu malah bilang seperti ini. Kamu bikin aku jadi sangat bingung, Lula."

Lula terdiam sesaat. "Ya ... aku akui aku kesal akan pria bajingan itu. Tapi, aku tidak berpikir untuk bertindak sangat jauh sampai menghancurkan rumah tangga orang lain."

"Lalu, apa yang ingin kamu lakukan? Kamu ingin jadi penonton saja, begitu? Menonton kebahagiaan Ilya dengan istrinya?"

"Dengar Lula, perempuan yang Ilya nikahi juga belum tentu perempuan yang baik, bukan? Karena perempuan yang baik tidak akan mau menikah dengan pria yang berlatar belakang seorang badboy juga playboy."

"Dan ingat juga satu hal. Kita kehilangan orang yang kita sayangi. Jika Ilya berpisah dengan istrinya, maka itu masih belum seperih sakit yang kita alami karena kehilangan satu-satunya saudara kita. Jadi, jangan terlalu berbesar hati terhadap Ilya, Lula."

Ucapan demi ucapan yang Diani ucapkan ternyata bisa membakar perasaan Lula kembali. Amarahnya bisa muncul lagi dan niat untuk balas dendam kembali membara. Meskipun sebenarnya, hati terdalam Lula menolak untuk berbuat terlalu jauh hanya untuk menghukum orang yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang sedang ia alami.

Dan, kesepakatan untuk bekerja sama pun akhirnya terjalin juga. Diani begitu bahagia karena bisa mengajak Lula masuk dalam rencana untuk merebut Ilya. Sedangkan Lula yang tidak tahu alasan sebenarnya Diani saat ini, hanya bisa merasakan setengah-setengah dari hatinya yang saling bertolak belakang.

Sementara itu, di sisi lain, tepatnya di taman bunga kediaman Ilya dan Dinda. Ilya akhirnya datang ke taman itu setelah beberapa waktu hubungan mereka merenggang karena kedatangan Diani.

Ketika Ilya datang, Dinda sedang sibuk dengan taman bunga yang baru aja mulai berbunga. Dinda yang fokus dengan taman, awalnya tidak sadar akan ke datangan Ilya. Tapi, ketika ia melihat Ilya datang, tentu saja jantungnya mendadak jadi tak karuan.

"Ee ... kak Ilya. Ada apa?"

"Gak ada apa-apa. Mm ... apa aku gak boleh datang ke sini, Dinda?"

"Ah, bu-- bukan itu. Bukan tidak boleh. Hanya saja, kamu sudah lama tidak ke sini. Jadi, aku merasa seperti ada hal yang aneh saja saat kamu tiba-tiba muncul. Seperti kamu yang membutuhkan sesuatu begitu?"

Ilya tersenyum lebar. "Nggak. Aku nggak butuh sesuatu. Eh ... sepertinya iya, aku butuh sesuatu sekarang."

"Apa?" Dinda berucap dengan wajah serius.

"Perhatian." Ilya berucap enteng.

"Perhatian?" Dinda dengan wajah bingung pun menatap lekat wajah Ilya yang masih mempertahankan senyum kecil di bibirnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!