*Bab 7

Pada akhirnya, suasana diantara mereka berdua pun kembali membaik. Dinda sedikit-sedikit mengalihkan pikiran Ilya dengan bercerita tentang masa lalunya saat tinggal di rumah tantenya. Hingga cerita tentang pernikahan perjodohan yang sepupunya jalani pun ia keluarkan.

"Jadi, sepupu kamu juga udah nikah, Din? Dan pernikahannya itu juga karena di jodohkan?"

Ilya kelihatan menanggapi dengan serius. Sepertinya, ia sangat tertarik dengan cerita yang Dinda ceritakan.

"Iya, kak Ilya. Kakak sepupu aku juga menikah karena perjodohan. Dan sekarang, mereka hidup sangat bahagia. Di tambah, hadirnya dua anak kembar tampan yang mungil itu. Uh ... mereka kelihatan semakin sangat bahagia." Dinda berucap sambil tersenyum karena membayangkan anak kembar dari kakak sepupunya yang tiba-tiba membuat ia merasa rindu.

Sementara Ilya yang melihat wajah bahagia dari Dinda, langsung memasang wajah sedih. Sedih karena sadar diri, kalau ia tidak akan bisa membahagiakan Dinda seperti yang kakak sepupu Dinda rasakan.

"Tapi sayang, pernikahan kita pasti akan jauh berbeda dari mereka, Dinda. Meskipun sama-sama dijodohkan, tapi suami kakak sepupumu itu sempurna, bukan? Tidak sama seperti aku yang cacat ini."

Seketika, ucapan itu membuat Dinda langsung membeku. Dia pun terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bergerak menoleh untuk melihat Ilya yang ada di belakangnya sekarang.

"Kamu ... kenapa selalu ngomong gitu, kak Ilya?Selalu kekurangan mu yang kamu katakan. Kenapa tidak pernah berpikir setiap sisi kelebihan yang kamu punya. Karena setiap orang itu punya sisi kelemahan juga kekurangan mereka masing-masing kok."

Ilya menatap lekat wajah Dinda. Ia melihat mata Dinda yang sepertinya menyimpan kesedihan juga kekesalan saat ini.

"Aku hanya bicara sesuai kenyataan, Dinda. Menikah dengan aku itu sama saja dengan menjerumuskan diri ke sumur kesepian. Karena aku tidak akan pernah bisa menjadi suami seutuhnya. Ketidaksempurnaan ini menjadi penghalang terbesar untuk aku bisa membahagiakan istriku."

Dinda tidak tahu harus bicara apa. Nada sedih itu juga ikut membuat hati Dinda merasa sedih. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana cara agar bisa menghibur Ilya. Dan, membuat Ilya tidak terus-terusan berpikir negatif. Karena masih banyak hal positif yang bisa Ilya pikirkan agar dia bisa merasa bangga dengan dirinya sendiri.

"Dinda, aku minta maaf karena telah mengikat kamu di sini bersama dengan ku. Masa depanmu yang cerah langsung terkubur dalam akibat menikah denganku. Aku sungguh ... minta maaf."

"Kak Ilya jangan ngomong gitu. Aku kan sudah bilang padamu, kalau kebahagiaan itu tidak berdasarkan fisik aja. Kebahagiaan itu sederhana. Hati nyaman aja udah bisa bikin seseorang bahagia." Dinda berucap dengan nada berapi-api karena terlalu serius.

Tidak hanya itu, tanpa sadar ia dengan erat memegang tangan Ilya yang kini sedang berada di atas pangkuan Ilya. Dinda yang merasa kalau ucapan Ilya itu tidak benar, langsung mengeluarkan pendapat dengan penuh semangat.

Tanpa ia sadari jika ia sedikit melampaui batasnya. Dia memberikan harapan yang besar untuk Ilya sekarang. Padahal, dia sendiri tidak menginginkan itu terjadi. Karena tidak ada sedikit perasaan cinta yang bisa ia rasakan untuk Ilya saat ini.

Entah memang tidak ada, atau Dinda yang belum menyadari hatinya. Tapi satu hal yang pasti, Dinda masih terikat akan pernikahan paksa yang ia jalani sekarang.

Sementara Ilya yang melihat keseriusan Dinda, langsung terdiam membeku. Dengan tubuh yang sulit untuk ia gerakkan, Ilya merasa detak jantungnya begitu cepat. Entah kenapa, ia merasa getaran yang berbeda muncul di dalam hatinya.

'Ya Tuhan. Apa ini? Kenapa aku bisa merasakan hal yang sudah lama tidak aku rasakan sebelumnya. Hal yang telah mati bersama perginya Diana buat selama-lamanya dari hidupku, dan dari dunia ini. Rasa itu ... sungguh nyata. Rasa yang tidak ingin aku rasakan karena rasa bersalah atas apa yang sudah terjadi pada Diana.' Ilya berucap dalam hati sambil terus menatap Dinda.

Beberapa saat terus diam. Akhirnya mereka saling menyadari apa yang sedang terjadi. Dinda yang langsung bangun dari jongkoknya sambil melepas tangan Ilya, berusaha menyembunyikan rona wajah karena malu akan apa yang baru saja ia lakukan. Sementara Ilya sendiri, juga berusaha terlihat biasa saja dengan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Ee .... " Keduanya sama-sama ingin mengatakan sesuatu. Tapi, karena serentak, mereka pun kembali terlihat canggung saat ini.

Suasana diam kembali tercipta karena niat yang sama barusan.

Hingga beberapa saat kemudian, Ilya yang kembali memulai ulang pembicaraan.

"Sebaiknya, kita masuk sekarang. Hari sudah semakin siang," ucap Ilya dengan suara agak pelan.

"Iy-- iya." Dinda hanya menjawab satu kata saja. Karena saat ini, hatinya yang entah kenapa bisa gugup itu tidak mengizinkan ia bicara banyak.

....

Sore hari siang berikutnya, Dinda tidak menemukan Ilya saat ia bangun dari tidur siangnya. Ini hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Karena itu, ia merasa agak cemas dan bimbang.

Setelah tidak menemukan keberadaan Ilya di tempat yang biasanya Ilya datangi, Dinda langsung mencari mbok Yah yang kini sedang berada di dapur.

"Mbok, kak Ilya ... pergi ke mana ya? Kok gak ada di rumah sekarang?"

Mbok Yah yang sedang berberes di dapur pun langsung menghentikan pekerjaannya.

"Den Ilya ke rumah sakit, Non Dinda. Hari ini adalah jadwal Den Ilya buat kontrol kesehatan."

"Oo .... Mm ... jadi, kak Ilya masih kontrol kesehatan ya?"

"Iya, Non. Sebulan sekali, Den Ilya harus periksa ke dokter agar sakitnya gak kambuh ke kondisi yang sangat sakit."

"Maksud, mbok bagaimana?" Dinda berucap dengan nada agak kaget sekaligus prihatin.

Mbok Yah yang tadinya masih berdiri, sekarang langsung mengajak Dinda untuk duduk di kursi meja makan. Kelihatannya, mbok Yah ingin bercerita soal keadaan Ilya pada Dinda. Sedangkan Dinda yang sangat ingin tahu akan keadaan Ilya pun langsung duduk tanpa pikir panjang lagi.

Mbok Yah pun langsung memulai ceritanya untuk menceritakan apa saja yang selama ini sudah Ilya alami. "Non Dinda, Den Ilya itu tidak seperti yang Non Dinda lihat sekarang. Karena yang Non Dinda lihat itu Den Ilya yang kuat tampa sakit sedikitpun, bukan? Tapi pada kenyataannya, Den Ilya itu sering merasa sakit, perih atau nyilu di bagian pinggang hingga ke kakinya. Karena itu, dia harus periksa ke dokter agar rasa itu tidak terasa sangat sakit."

"Ap-- apa? Apakah kondisi kak Ilya sebegitu parahnya, Mbok?"

"Lebih parah dari yang non Dinda bayangkan. Den Ilya hidup dengan ketergantungan obat sekarang. Jika pikirannya kacau, maka tubuhnya akan segera merespon dengan cepat."

"Tapi ... sayangnya, non Dinda tidak akan melihat sisi lemah dari Den Ilya. Karena Den Ilya adalah tipe pria yang sangat pintar menyembunyikan kelemahan yang dia miliki. Karena itu, Non Dinda gak akan tahu hal itu jika bibi tidak memberitahukan kepada, Non."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!