Diani yang masih berusaha memikirkan alasan, kini langsung bertambah gugup. "Ee ... tidak ada yang aku pikirkan. Aku hanya berucap kata-kata yang tiba-tiba aku ucapkan saja. Lagian, dari mana kamu tahu aku barusan terlihat lega? Orang aku hanya kaget dan berpikir tentang korban yang Ilya timbulkan saja."
"Ah, ya sudah, jangan bahas soal itu lagi. Gini, aku punya satu cara yang lebih ampuh jika cara yang kamu lakukan nanti tidak berhasil."
"Cara? Maksudnya bagaimana?"
"Kamu ingin mengirim foto ini ke istrinya Ilya, bukan?"
"Iya." Lula berucap sambil mengangguk pelan.
"Aku rasa, cara ini kurang efektif, Lula. Bisa saja kalau Ilya sudah menjelaskan pada istrinya kalau ini hanya masa lalu, kan? Lagian, ini hanya sebuah foto saja. Terlalu biasa dan tidak bisa menjaminkan apa-apa."
"Lalu ... aku harus bagaimana? Bukankah kamu juga sudah menyetujui cara ini kemarin?"
"Mm ... aku punya ide yang lebih baik untuk meyakinkan foto-foto ini supaya lebih terasa nyata dan sulit untuk Ilya jelaskan." Diani berucap sambil tersenyum licik.
"Bagaimana?" Lula pula menjawab dengan serius.
"Sini kuping mu! Biar aku katakan rencana yang ada dalam benakku sekarang."
Karena terlalu penasaran dengan rencana yang Diani punya, Lula pun langsung mendekatkan kupingnya ke Diani. Tanpa menjawab terlebih dahulu apa yang Diani katakan tentunya. Sementara Diani pula, ia langsung membisikkan apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Keduanya pun terlihat sangat serius sekarang.
Diani serius berucap, sedangkan Lula pula, serius mendengarkan. Sambil di selingi anggukan tanda ia paham, Lula pun akhirnya tersenyum penuh kepercayaan.
"Bagaimana?" tanya Diani setelah apa yang ingin ia katakan selesai ia ucapkan.
"Bagus. Aku suka ide yang kamu punya. Ternyata, kamu sangat pintar bikin ulah ya, Diani."
"Jangan memuji aku seperti itu, Lula. Karena aku bukan tandingan orang lemah seperti perempuan pada umumnya. Jika urusan menyakiti, aku cukup mahir. Jadi, selalu ingat siapa aku jika pikiranmu mulai ingin memudar dan mulai ingin bertolak belakang dari apa yang sudah sama-sama kita sepakati."
Ucapan dengan nada serius itu terdengar seperti sebuah ancaman buat Lula. Karena itu, Lula pun terdiam tanpa ingin menanggapi kata-kata itu dengan ucapan. Sementara Diani, ia malah tersenyum lebar ketika mendapati lawan bicaranya seolah takut akan apa yang ia katakan.
"Jangan ambil pusing apa yang aku katakan barusan. Itu hanya bercanda," ucap Diani sambil tersenyum menyeringai.
"Hm." Lula mencoba ikut tersenyum walau itu agak sulit.
'Bercanda dia bilang? Aku yakin kalau apa yang ia katakan bukan hanya sebatas bahan candaan saja. Melainkan, keseriusan yang sedang benaknya pikirkan.'
'Dia adalah perempuan yang cukup berbahaya sepertinya. Karena itu, aku tidak boleh terlalu percaya dengan apa yang ia katakan. Dan, tidak boleh terlalu ikut dalam urusan balas dendam yang sedang ia rencanakan. Karena aku merasa kalau dia agak sedikit berbeda. Bukan hanya sekedar ingin balas dendam atas kehilangan kakaknya saja. Tapi, ada hal lain yang sedang ia inginkan. Yang sedang ia sembunyikan dari aku,' kata Lula lagi dalam hati.
...
Beberapa hari berlalu. Dinda dan Ilya terlihat semakin dekat dan semakin romantis saja. Sekarang, Ilya lebih sering keluar dari rumah. Entah apa yang sedang ia kerjakan, tapi yang jelas, dia bilang kalau ia sedang menyiapkan kejutan untuk Dinda.
"Kejutan apa sih yang kamu punya untuk aku, kak?" Dinda berucap saat mengantarkan Ilya sampai depan pintu rumah mereka.
"Sesuatu. Jangan tanya apa karena aku tidak bisa menjelaskannya. Karena ... jika aku jelaskan, itu nama bukan kejutan lagi."
Dinda tidak menjawab apa yang Ilya katakan. Ia hanya memasang wajah murung karena rasa penasarannya tidak terjawab. Ilya yang melihat hal itu langsung menyentuh, lalu menggenggam tangan Dinda dengan penuh kasih sayang.
"Sabar yah, wanitaku. Aku ingin membuatkan sesuatu yang spesial buat kamu. Jadi, janganlah murung seperti ini. Karena kejutan ini, aku harap bisa menggantikan pernyataan tanpa cinta dan bunga yang aku lakukan tempo hari. Jadi, hal spesial ini harus aku kerjakan dengan sebaik mungkin. Karena itu, aku tidak bisa mengajak kamu, atau juga mengatakan padamu. Jadi, tolong mengerti yah."
"Aku mengerti kok, kak Ilya. Mm ... kira-kira, butuh berapa lama buat kamu menyelesaikan pekerjaan kamu itu?"
"Paling tidak .... " Ilya langsung mengantungkan kalimatnya. Sepertinya, dia sedang berpikir berapa lama lagi waktu yang harus ia habiskan untuk menyiapkan pekerjaannya itu. "Mm ... mungkin dalam satu minggu lagi jika tidak ada halangan yang mengganggu."
"Wah! Apa yang kamu siapkan dalam waktu selama itu, kak?"
"Rahasia."
"Kak Ilya ... ih, bikin kesal."
"Jangan kesal dong, Dinda cantik .... Ini kan rahasia."
Begitulah Dinda masih tetap memperlihatkan wajah kesalnya pada Ilya. Tapi, itu hanya wajah kesal yang ia buat-buat saja. Tidak benar-benar kesal karena ia tahu, semua yang indah itu butuh waktu yang cukup panjang.
Ilya pun meninggalkan rumah. Sebelum pergi, ia melambaikan tangan ke arah Dinda sambil tersenyum. Lambaian tangan itu hanya Dinda sambut dengan senyum manis saja.
"Hati-hati di jalan," ucap Dinda masih dengan senyum terbaiknya.
"Tentu, sayang. Jangan cemas." Ilya berkata dengan senyum manis pula.
Lalu, sebuah ciuman dari jauh ia lemparkan ke arah Dinda. Hal itu membuat Dinda langsung merona karena malu. Bagaimana tidak? Pertama, Ilya sudah memanggilnya dengan sebutan sayang di depan orang lain. Dan yang kedua pula, Ilya dengan berani memberikan ia ciuman mesra, meskipun itu dari jauh. Tapi tetap saja, ada mbok Yah yang melihatnya. Bukan hanya mbok Yah saja, mang Mamat, pak Toha selaku sopir juga ada. Bagaimana dia tidak malu dengan semua orang yang melihat tingkah Ilya barusan.
"Kak Ilya apa-apaan sih? Berangkat sana! Jangan bikin ulah di tengah-tengah orang banyak." Dinda berucap sambil menahan malu.
"Ih ... aku gak bikin ulah. Kan wajar kalo .... "
"Mang Mamat, amankan kak Ilya. Dia udah mulai nakal sekarang." Dinda berucap cepat dengan memotong perkataan Ilya barusan.
"Eh, itu .... " Tentu saja mang Mamat tidak bisa menjawab apa yang Dinda katakan. Karena saat nama dia dipanggil saja, dia sudah merasa tidak enak hati. Bagaimana bisa ia ikut campur di antara sepasang suami istri ini?
Dinda tahu kalau apa yang ia katakan tidak akan di dengar oleh mang Mamat, karena itu, ia tidak ambil pusing sedikitpun. Kemudian, ia lalu berucap lagi pada pak Toha.
"Jalankan mobilnya, Pak! Jangan biarkan kak Ilya semakin lama bertingkah."
Sama seperti mang Mamat, pak Toha juga merasakan hal yang sama. Terjepit di antara Dinda dan Ilya membuatnya tidak bisa berucap apa-apa selain nyengir tak enak sambil melirik Ilya yang ada di belakangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments