*Bab 5

Beberapa saat setelah mobil berjalan, keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak ada satu patah katapun yang terucap sejak masuknya Dinda ke dalam mobil tersebut. Karena sejak tadi, Ilya masih fokus bahkan sangat fokus dengan laptop yang ada di pangkuannya.

Hingga pada saat Dinda tiba-tiba melihat kalung yang masih ia genggam sejak tadi, dan Ilya entah bagaimana bisa langsung melirik ke arah Dinda saat itu. Ilya pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah kalung tersebut dengan cepat.

"Itu ... kalung bundaku, kan Dinda?"

Sontak, ucapan itu langsung membuat Dinda menoleh ke arah Ilya. "Iy-- iya, kak Ilya. Ini kalung bunda kak Ilya. Ee ... ternyata, kamu sungguh mengenali kalung ini dengan sangat baik yah."

"Tentu saja. Kalung ini adalah kalung kesayangan almarhumah bunda. Kalung ini ayah berikan ketika mereka baru pertama jadian. Dan, kalung ini di pesan khusus oleh ayah dari luar negeri hanya untuk bunda."

"Sekarang, ayah berikan padamu, itu tandanya, dia benar-benar sudah memilih kamu dengan sepenuh hati, Dinda."

"Memilih dengan sepenuh hati? Maksud kak Ilya apa?"

"Memilih kamu menjadi istri dari anak kesayangan satu-satunya yang ia punya. Tapi sayang, kasihan di kamu karena anak kesayangan yang menjadi suami kamu ini adalah pria cacat alias tidak bisa membahagiakan kamu."

"Kak Ilya ... ngomong apa sih? Sejujurnya, bahagia itu sederhana kok, kak. Asal merasa nyaman aja, pasti hati bahagia." Dinda berucap dengan nada penuh keyakinan. Hal itu membuat Ilya terdiam dengan tatapan lekat ke arah Dinda.

"Kamu ... yakin dengan apa yang kamu katakan barusan? Ee ... maksud aku ... ah, sudahlah. Jangan dibahas lagi."

"Ah, iya. Aku mau bilang, jika kita sudah tiba di rumahku, maka kamu bebas ngapain aja. Tapi ... jangan pisah kamar aja udah. Karena aku gak ingin mang Mamat dan mbok Yah ngelaporin sama ayah soal hubungan kita yang sama sekali tidak seperti yang ayah mau. Apakah bisa, Dinda?"

"Ee .... " Dinda terlihat sedang memikirkan apa yang Ilya katakan.

'Sejujurnya, aku masih belum siap punya suami. Karena itu, aku berharap agar bisa pisah kamar setelah tiba di rumahnya. Eh, tapi ya sudahlah. Orang tidur satu ranjang aja udah pernah aku lakukan sama dia kok.' Dinda bicara dalam hati dengan melepas napas berat namun pelan.

"Mm ... iya baiklah. Aku mengerti apa yang kamu khawatirkan, kak Ilya. Untuk itu, kamu jangan cemas. Aku akan mendengarkan apa yang kamu katakan selanjutnya."

Ilya hanya tersenyum tipis saja. Kemudian, setelah itu, ia kembali fokus dengan laptopnya. Yang di mana layar laptop itu sedang menampilkan sebuah presentasi sebuah perusahaan.

Dinda yang melihat hal itupun langsung memahami akan kesibukan Ilya sebelumnya. Karena itu, ia pun tidak ingin mengganggu Ilya lagi. Selanjutnya, ia ingin menyimpan kalung tersebut ke dalam tas kecil yang ada di depannya.

Tapi, ketika kalung itu hampir saja ia masukkan ke dalam, suara Ilya tiba-tiba langsung menghentikan gerakan Dinda. "Kamu ... gak ingin memakai kalung itu, Dinda? Jika kamu ingin mengenakannya, biar aku yang bantu."

"Eh, it-- itu ... aku merasa kalo aku masih belum layak untuk memakai kalung ini, kak. Kalung ini adalah kalung bunda mu. Jadi, ini adalah barang yang paling berharga dalam keluarga kalian. Karena itu, aku merasa, aku belum layak untuk mengenakannya."

"Sebenarnya, jika papa sudah memilih, berarti kamu sangat layak untuk memakai kalung itu. Namun, semua keputusan ada di tangan kamu, Dinda. Aku juga tidak akan memaksa."

Dinda terdiam. Apa yang Ilya katakan sedikit membuatnya percaya kalau ia adalah orang yang memang dipilih oleh juragan terkaya di kampungnya untuk menjadi menantu. Tapi, dia ingat akan alasannya menikah. Pernikahan hanya untuk melunas hutang.

Si ayah yang banyak berhutang untuk membiayai pendidikannya juga pendidikan adiknya yang kini ada di pondok pesantren, mengharuskan ia untuk di korbankan agar tanah sepetak yang menjadi sumber penghasilan mereka tidak habis di ambil karena hutang. Dan lagian, jika pun tanah itu diambil untuk menebus hutang, itupun tidak cukup. Karena tahan mereka hanya sepetak. Sedangkan hutang mereka, cukup besar.

Mobil terus berjalan. Keduanya juga sudah kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Dinda yang bosan melihat sisi jalan, lalu mengeluarkan ponsel yang sudah cukup tua bagi Ilya.

Ilya memperhatikan Dinda secara diam-diam. Yah, meskipun tidak fokus memperhatikan, tapi mata tidak bisa untuk tidak mencuri pandang ke arah perempuan yang sedang duduk di sampingnya saat ini.

Beberapa jam berlalu. Jarak desa mereka dengan kota tempat Ilya tinggal cukup jauh. Lebih jauh dari kota yang Dinda tinggali sebelumnya. Karena itu, Dinda merasa cukup lelah sampai ia tidak sadar kalau ia tiba-tiba terlelap dengan keadaan yang masih melihat ponsel.

"Den Ilya. Nona Dinda .... "

"Aku melihatnya, Mang." Ilya memotong cepat ucapan mang Mamat.

"Apakah ... den Ilya merasa terganggu? Jika iya, kita menepi dulu sebentar. Bagaimana?"

"Gak papa, Mang. Biarkan saja ia tidur di bahuku. Kasihan juga ia kalo kita menepi. Karena jika kita menepi, otomatis ia akan dibangunkan, bukan?"

"Iy-- iya juga sih, Den."

Yah, sekarang, Dinda memang sedang tidur di bahu Ilya. Entah bagaimana bisa, tiba-tiba saja tubuh Dinda condong dan jatuh ke bahu Ilya. Dan Dinda malah sangat menikmati hal tersebut. Tidurnya pun jadi semakin nyenyak. Sementara Ilya, ia malah langsung menghentikan apa yang sebelumnya ia lakukan.

Beberapa waktu kemudian, akhirnya, mobil tiba juga di sebuah rumah yang megah. Rumah yang cukup besar dengan dua lantai itu pun terlihat indah terawat. Ada kolam renang di samping rumah. Juga ada taman. Tapi, tamannya tidak ada bunga. Hanya ada tumbuhan hijau saja.

Dinda yang merasa gerakan pelan saat Ilya menggerakkan bahunya setelah sekian lama ia bertahan, langsung terjaga dari tidur. Ia pun lagi-lagi memasang wajah panik dengan wajah tiba-tiba merona merah.

"Eh ... it-- itu ... kak Ilya. Apa ... apa yang sudah terjadi?" Dengan gugup karena sangat malu, Dinda berusaha untuk menenangkan hatinya.

"Apa yang sedang terjadi? Mm ... gak ada. Hanya ada orang yang lagi-lagi tidur dengan memakai bantal bahuku, itu saja. Bukan masalah besar kok." Ilya malah berucap dengan nada datar seperti tanpa beban.

Tentu saja Dinda merasa semaki tak karuan. Mana ada kata lagi yang terdapat dalam ucapan Ilya barusan. Yang langsung membuat Dinda semakin bertambah malu lagi dan lagi.

"It-- itu ... maafkan aku, kak. Aku ... beneran gak sengaja kok. Aku ... gak sadar. Maaf." Dinda berucap pelan karena merasa tidak nyaman juga terlalu canggung.

Terpopuler

Comments

Fi Fin

Fi Fin

semoga ga ada ulet keket di novel ini

2024-06-18

0

Meita Yasmine

Meita Yasmine

awal yg ringan di cerita ini. pdhl bagus loo kenapa sedikit sekali yg kasih komen. bagus loo kak ceritamu semoga banyak yg suka ya kak 🥰

2023-08-06

2

Hari Dunddung

Hari Dunddung

Ternyata Dinda mulai nyaman bersama ilya

2023-05-25

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!