"Nggak. Tidak ada yang tahu selain orang-orang yang paling dekat dengan aku. Karena aku tidak ingin mereka mencemooh aku saat mereka tahu kalau aku gagal melakukan apa yang sedang aku kerjakan. Karena ... aku punya nama yang sangat buruk di mata banyak orang."
Ucapan itu membuat Dinda merasa bersalah dan kasihan. Tapi, dia tidak tahu bagaimana cara menghibur pria asing yang dengan tiba-tiba saja bisa menjadi suaminya.
"Ah, sudahlah, Dinda. Jangan pikirkan apa yang aku katakan barusan. Intinya, aku akan kembali ke kota dalam waktu dekat. Apa kamu bersedia ikut? Jika kamu keberatan, aku juga sebenarnya tidak ingin memaksa. Tapi ... aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak ikut aku kembali."
"Aku akan ikut. Kamu tenang saja, Kak Ilya. Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Karena itu, jangan cemas."
"Hm ... baiklah. Terima kasih, Dinda. Oh iya, terima kasih juga sudah mau membantu aku. Sebelumnya, setiap aku ingin beranjak dari kursi rodaku, ada mang Mamat yang akan membantu. Tapi malam ini, dia tidak lagi membantu aku turun dari kursi roda. Ia hanya mengantarkan aku sampai depan pintu kamar saja. Mungkin, ia pikir sudah ada orang lain yang menggantikan tugasnya buat membantu aku. Karena itu, terima kasih banyak."
"Tidak perlu berterima kasih, Kak Ilya. Karena aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan saja kok. Lagian, kamu juga sedang butuh bantuan tadi, bukan? Jahat banget dong aku kalo hanya diam dan ngeliat kamu yang sedang kesusahan."
Entah apa yang Dinda pikirkan saat ini. Ia begitu lancar mengatakan begitu banyak kata di depan Ilya. Karena beberapa saat yang lalu, ia terkesan masih sangat canggung ada di sekitar pria asing yang bergelar suaminya ini.
"Mm ... jika gak ada yang mau kakak bicarakan lagi, aku bisa istirahat sekarang?"
"Oh, iya. Silahkan. Istirahat saja. Karena kebetulan, aku juga mau istirahat karena cukup lelah dan ngantuk."
"Oh, iyalah."
Selesai berucap, Dinda langsung bangun dari duduknya. Ia berniat untuk tidur di sofa malam ini. Karena, sangat tidak mungkin bagi Dinda untuk tidur satu ranjang dengan Ilya meskipun mereka sudah halal untuk bersama.
Sementara itu, Ilya yang melihat Dinda semakin menjauh dari ranjang merasa heran. Awalnya, ia berpikir kalau Dinda mungkin ingin melakukan ritual manja anak perempuan sebelum tidur. Seperti, menyisir rambut, menggosok gigi, cuci muka, atau ... memakai beberapa alat kosmetik yang Ilya sendiri kurang memahami apa yang sebenarnya para perempuan itu kenakan. Cuma mau tidur doang, ribetnya minta ampun. Pikir Ilya ketika mengetahui para perempuan yang ia kenal mengatakan apa saja yang mereka lakukan sebelum tidur.
Namun, istri sahnya ini terlihat tidak sama dengan para perempuan itu. Ia malah langsung duduk di atas sofa setelah meninggalkan ranjang Ilya. Hal itu membuat Ilya sedikit bingung. Dan, ketika Dinda sedang mengatur posisi untuk berbaring, Ilya baru sadar kalau Dinda memang ingin beristirahat di atas sofa tersebut.
"Kamu kok malah ingin berbaring di sana? Apa di sini sudah tidak punya tempat lagi?"
Pertanyaan itu langsung membuat Dinda memasang wajah kaget. Karena dia sebelumnya benar-benar tidak berpikir, kalau Ilya juga akan meminta ia untuk tidur satu ranjang dengannya setelah permintaan Ilya yang ingin ia duduk di samping ketika ngobrol beberapa waktu barusan.
"Ap-- apa maksud kak Ilya barusan?" Ingin pura-pura tidak mengerti padahal kenyatannya ia sungguh sangat memahami apa yang Ilya katakan. Jika tidak, mana mungkin dia barusan berucap dengan nada gelagapan kalo bukan gugup.
"Kamu tahu apa yang aku maksud. Jangan berbaring di sana. Di sebelah aku masih ada tempat yang cukup luas buat kamu tidur. Tubuhmu yang mungil itu tidak akan mengganggu batasan antara aku dengan kamu. Jadi, tidurlah di sini sekarang."
"Ta-- tapi .... "
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Dinda? Kamu takut aku akan mengganggu tidurmu? Jika benar begitu, kamu tidak perlu cemas Adinda, karena aku lumpuh, tidak akan bisa mengusik ketenangan orang lain meskipun orang itu ada di sampingku."
"Dan lagi, aku masih punya perasaan kok. Gak akan mengusik tanpa seizin dari orang yang ingin aku usik. Aku masih tahu batasan ku, Din. Jadi, jangan takut padaku. Meskipun kita tidur satu ranjang, tidak akan terjadi apa-apa antara aku dengan kamu."
Penjelasan panjang lebar itu membuat Dinda merasa cukup bersalah atas penolakan yang ia buat barusan. Karena itu, tanpa menjawab dengan kata-kata, Dinda langsung memilih mengikuti apa yang Ilya katakan.
Meski terlihat sangat canggung untuk bergerak, Dinda tetap berusaha keras agar apa yang ia rasakan tidak terlihat oleh Ilya. Dia pun berbaring dengan hati-hati di samping Ilya dengan jarak yang lumayan jauh.
"Kamu masih saja takut padaku. Baiklah kalau gitu, aku berikan batasan buat aku dan kamu." Ilya pun langsung meletakkan guling di tengah-tengah mereka. "Ini batasannya. Di sana milikmu. Dan ini milikku. Bagaimana? Apa kamu merasa nyaman dengan batasan ini?"
"A-- aku .... Maaf, kak Ilya." Hanya itu yang bisa Dinda ucapkan. Padahal, yang ingin ia katakan sangat banyak pada Ilya. Tapi, bibirnya terasa sangat berat. Jangankan berucap banyak kata, beberapa kata itu saja sangat sulit untuk keluar dari bibirnya.
"Ya sudahlah. Tidak perlu minta maaf. Aku maklum apa yang kamu rasakan saat ini. Kamu butuh waktu untuk terbiasa dengan aku yang bawel dan banyak mintanya ini. Maklum, sudah terbiasa bawel dan cerewet sejak kecil."
"Ah, jadi makin banyak ngomong aku sekarang. Ya sudah, selamat istirahat. Semoga mimpi indah."
Setelah kata-kata itu terucap, tidak ada jawaban juga tidak ada kata-kata lain yang terdengar. Keduanya pun sama-sama terlelap beberapa waktu kemudian. Mungkin, karena cukup lelah seharian dengan apa yang mereka alami, keduanya malah langsung bisa memejamkan mata meski berada dalam kondisi yang baru bagi mereka.
Pagi menjelang dengan cepat. Malam dingin ternyata berlalu begitu saja. Namun, siapa sangka jika pagi ini akan sedikit mengejutkan buat hati Dinda. Dia yang tidak sadar saat tidur nyenyak, kini malah berada di samping Ilya. Bahkan lebih tepatnya, ia kini tidur dengan berbantalkan lengan Ilya.
"Ah, in-- ini .... Ya Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang terjadi sebenarnya?" Dinda heboh sendiri sampai membuat Ilya langsung terjaga dari tidurnya.
"Ada apa, Din?" Ilya berpura-pura tidak tahu padahal sebenarnya, dia sudah bangun beberapa menit sebelum Dinda terjaga dari tidurnya.
"It-- itu ... kak Ilya. Ah, ng-- nggak ada apa-apa kok. Aku hanya ... hanya .... "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments