*Bab 10

Dia pun mengikuti apa yang Ilya katakan. Sebelum pergi, dia sempat berucap beberapa kata. "Kak Ilya janji akan ada pertemuan lain kali dengan aku. Jangan bohongi aku karena aku adalah adik kandungnya kak Diana. Kak Diana pasti gak akan senang di atas sana jika melihat adiknya dibohongi oleh orang yang sangat ia sayangi."

Ilya tidak menjawab. Ia hanya menyunggingkan bibir untuk mengukir senyum kecil saja. Sementara itu, di dalam rumah, Dinda yang merasa tidak nyaman akan Ilya yang masih juga belum turun dari mobil karena berduaan dengan perempuan yang baru saja membuat hatinya merasa kesal, langsung meninggalkan tempat di mana ia berdiri sebelumnya. Mbok Yah dan mang Mamat yang melihat kepergian Dinda langsung bertukar pandang.

"Ya Tuhan, pak. Keadaan saat ini sangat tidak baik-baik saja. Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak?" Mbok Yah dengan nada cemas berucap.

"Bapak juga gak tahu, buk. Ini urusan rumah tangga den Ilya. Mana bisa kita ikut campur."

"Yah, kasihan non Dinda kalau begini ceritanya. Dia pasti sedang sangat cemburu sekarang. Bapak kok ninggalin mobil sih? Kenapa biarkan den Ilya bicara berduaan saja dengan perempuan itu, pak?"

"Yah ... ibuk ini gimana sih? Bapak turun itu karena permintaan den Ilya. Mana mungkin bapak terus bertahan ketika den Ilya meminta bapak turun. Lagian, itu si perempuan siapa sih? Kok kayaknya, gak asing lagi wajahnya itu ya."

"Dia adiknya mbak Diana. Perempuan yang pertama kali datang ke sini bersama den Ilya, Pak. Huh ... kesal ibuk sama dia, tahu gak?"

Begitulah obrolan antara mang Mamat dengan mbok Yah yang masih berada di depan pintu utama rumah mereka. Sedangkan di kamar, Dinda terus menatap diri di depan cermin setelah ia masuk ke dalam kamar tersebut.

Entah kenapa, dia bisa merasa begitu kesal tadi ketika melihat Ilya bersama dengan perempuan lain di dalam mobil. Mana mereka duduk di dalam cukup lama. Membuat kesabaran Dinda langsung lenyap seketika. Dan diapun memilih langsung meninggalkan pintu utama tanpa memikirkan tanggapan dari mang Mamat dan mbok Yah.

Sekarang, setelah duduk diam selama beberapa waktu di depan cermin meja rias, Dinda langsung menyesali apa yang sudah ia lakukan. Ia pun menggerutu, marah pada dirinya yang begitu tidak bisa ia kendalikan.

"Agh! Aku kok bisa bersikap bodoh secara tiba-tiba seperti barusan sih? Ya ampun ... pasti mereka akan mikir yang tidak-tida tentang aku yang pergi begitu saja. Mereka pasti mikir kalau aku cemburu dengan kak Ilya."

"Ya Tuhan ... apa sih yang sudah aku lakukan? Kenapa bisa, aku mendadak hilang kendali seperti ini? Pernikahan ini hanya karena aku yang ingin melunasi hutang ayah. Itu saja."

"Yah, walaupun kak Ilya bilang kalau aku sudah ayahnya pilih sebagai menantu. Tapi pada kenyataannya akan tetap saja, aku menikah hanya karena ingin melunasi hutang. Lebih mirip sebagai pembantu yang bekerja untuk melunasi hutang ayah saja."

Dinda pun menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia yang kesal, kini berusaha terus menenangkan hati. Tanpa ia sadari, sekarang Ilya sudah ada di kamar tersebut.

"Tenanglah, Dinda. Pernikahan ini .... "

"Dinda." Panggilan itu membuat Dinda langsung kaget. Dia yang menutup wajahnya pun langsung membuka seketika.

"Kak Ilya."

"Ngomong apa sih barusan?"

"Tidak ada." Dinda berucap sambil mengalihkan pandangannya dari Ilya. Saat ini, dia sungguh tidak ingin bertatap muka dengan Ilya. Karena hatinya yang tidak karuan, tidak akan mengizinkan wajahnya untuk terlihat tenang dan baik-baik saja.

"Mm ... aku ingin tanya satu hal sama kamu, Dinda. Tolong jawab dengan jujur."

"Katakan saja, kak Ilya. Aku pasti jawab apa yang kamu tanyakan."

"Apa benar kamu marah-marah sama Diani tadi, Dinda?"

Pertanyaan itu langsung membuat Dinda terdiam. Ada perasaan yang sangat kesal tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya saat ini. Rasa kesal yang perlahan berubah menjadi amarah yang jika sedikit saja tidak ia tahan, maka akan meluap dengan cepat seperti letusan gunung merapi.

Yah, jika pernikahan mereka karena saling mencintai, maka dia akan marah karena pertanyaan barusan. Karena sudah jelas bagi Dinda, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang meragukan kebaikan dirinya. Dan, membela perempuan lain di depan dia. Mana mungkin ia akan diam saja karena pertanyaan itu sama dengan suaminya yang lebih mempercayai apa yang orang lain katakan dibandingkan mencari tahu sendiri kebenaran dari apa yang orang lain ucapkan.

Tapi, pernikahan ini karena hutang. Maka, tidak akan hak untuk dia marah meskipun dia sangat ingin. Dan lagi, perempuan itu adalah adik dari perempuan yang pernah Ilya cintai. Tentu Ilya akan berada di pihak perempuan tersebut.

Dinda pun berpikir, tidak ada gunanya menjelaskan. Lagian, Ilya sudah bertanya. Karena itu, dia pasti sangat percaya dengan apa yang perempuan itu katakan.

"Jika dia sudah bilang begitu, maka itulah kenyataannya, kak Ilya. Aku marah karena dia tidak sopan pada mbok Yah. Itu saja. Tidak ada hal yang mengenai kamu. Jika kamu tidak suka karena aku marah padanya, aku minta maaf."

Ilya yang mendengar ucapan itu sontak memasang wajah kecewa. "Jadi ... itu karena mbok Yah?"

"Ya. Karena dia tidak sopan sama mbok Yah. Jadi aku merasa tidak senang. Karena itu aku marah. Jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan, kamu tidak usah memaksa untuk percaya. Karena aku tidak bohong."

Ilya pun terdiam. Dengan tatapan lekat, ia tatap Dinda yang ada di hadapannya. 'Aku sempat berpikir kalau apa yang Diani katakan itu benar. Dinda cemburu padanya. Sehingga aku begitu bersemangat untuk melihat Dinda karena aku pikir, dia sedang cemburu dan aku harus menjelaskan prihal hubunganku dengan Diani. Tapi ternyata, aku hanya terlalu berharap.' Ilya berkata dalam hati dengan perasaan sangat kecewa.

'Ah, Ilya-Ilya. Apa yang kamu pikirkan? Mana mungkin dia bisa cemburu denganmu. Karena pernikahan kalian hanya karena terpaksa. Siapa juga yang suka pria lumpuh yang tidak bisa apa-apa selain menyusahkan orang lain seperti dirimu ini? Jadi, jangan terlalu berharap.'

Begitulah akhirnya Ilya meninggalkan kamar tersebut dengan pikirannya sendiri. Sementara Dinda, ia juga sibuk dengan apa yang ia pikirkan. Intinya, mereka berdua sama-sama salah memahami maksud dari masing-masing.

Dinda yang merasa tidak berhak marah, langsung mengatakan alasan lain untuk menutupi perasaannya. Sedangkan Ilya, ia yang sudah berharap dan merasa di kecewakan, juga langsung memilih diam begitu saja.

Sejak kejadian itu, hubungan keduanya agak kurang baik. Tidak seperti sebelumnya yang terlihat sangat dekat. Yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama di setiap detik.

Kini, mereka lebih banyak menghabiskan waktu sendiri-sendiri. Ilya yang terus menyibukkan diri di kamar dengan laptop dan ponsel. Sedangkan Dinda yang terus ada di taman setelah melakukan tugasnya membantu mang Mamat menyiapkan apa yang Ilya butuhkan. Begitulah selama beberapa minggu berlalu.

Terpopuler

Comments

Patrick Khan

Patrick Khan

.lanjut kak

2023-05-20

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!