*Bab 4

"Ada apa, Din?" Ilya berpura-pura tidak tahu padahal sebenarnya, dia sudah bangun beberapa menit sebelum Dinda terjaga dari tidurnya.

"It-- itu ... kak Ilya. Ah, ng-- nggak ada apa-apa kok. Aku hanya ... hanya .... " Dinda menggantungkan kalimatnya. Dia seolah-olah sedang sangat bingung ingin mengatakan alasan apa. Karena guling yang menjadi pembatas antara dia dengan Ilya itu jatuh di bawah lantai di bagian dia tidur.

Sementara Ilya yang melihat wajah panik Dinda, bukannya kasihan, tapi justru merasa semakin gemes melihat wajah wanitanya ini.

"Mm ... kenapa aku merasa tidak nyaman dengan lengan kiri ku ya? Seperti ada yang menindihnya semalaman."

Ucapan itu membuat Dinda langsung memalingkan wajah karena merasa malu juga tidak nyaman. Rasanya, dia ingin sekali menghilang dari pandangan Ilya secepat mungkin.

"Ee ... kak Ilya. Aku harus pergi ke kamar mandi sekarang. Permisi." Dinda berucap sambil berjalan dengan langkah besar.

Ilya yang melihat hal itu langsung tersenyum lebar. "Ada-ada saja. Dia lebih lucu jika dalam keadaan panik ternyata," ucap Ilya pada dirinya sendiri.

Beberapa waktu berlalu, Dinda baru keluar dari kamar mandi. Saat keluar, dia masih dengan baju yang sebelumnya ia pakai. Hal itu karena Dinda lupa membawa baju ganti. Maklum, karena terburu-buru untuk menghindar dari Ilya, baju ganti saja lupa ia bawa.

"Kamu ... sudah mandi, Din?" Ilya berucap sambil mengalihkan pandangannya dari ponsel yang baru saja menyibukkan paginya.

"Su-- sudah, kak. Oh iya, aku juga sudah menyiapkan air mandi buat kak Ilya. Kaka bisa minta tolong mang Mamat buat bantuin kak Ilya mandi." Dinda berucap dengan suara pelan dan sangat hati-hati.

Ilya tidak langsung menjawab. Dia kini sedang menatap lekat wajah Dinda. Hal itu langsung membuat Dinda merasa tidak nyaman.

"Gak perlu bantuan mang Mamat kok, Din. Karena aku bisa mandi sendiri. Kamu tenang aja. Aku gak akan ngerepotin kamu kok kalo mau mandi."

"Eh. Bu-- bukan gitu kok. Aku ... gak mikir kalo kamu ngerepotin aku, kak. Tapi ... aku .... " Dinda yang gugup, malah kehabisan kata-kata untuk diucapkan. Ia malah langsung menggantungkan kalimatnya karena tidak tahu mau bicara apa.

Ilya yang paham akan apa yang Dinda rasakan, tentu tidak ingin merusak suasana pagi terlalu jauh. "Ah, ya sudah. Jangan pikirkan hal lain yang tidak penting. Karena siang ini, kita akan kembali ke kota. Kamu bersiap-siaplah."

"Apa? Siang ini, Kak? Kok cepat banget sih?"

"Cepat ya? Mm ... gak punya pilihan lain. Ada hal mendesak yang mengharuskan aku pulang siang ini soalnya. Maaf jika bikin kamu tidak nyaman. Tapi, kita harus tetap kembali karena aku tidak bisa menunda kepulangan lagi."

"Ee ... gak papa deh. Mungkin, lebih cepat, akan lebih baik."

Setelah obrolan itu, mereka tidak lagi ngobrol. Karena keduanya sibuk dengan urusan juga pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, siang menjelang dan mereka langsung kembali ke kota tempat di mana Ilya tumbuh besar tanpa dampingan orang tua.

Meninggalkan orang tua masing-masing, bukanlah hal yang menyedihkan buat Ilya dan Dinda. Karena sebelumnya, mereka sudah terbiasa jauh dari orang tua mereka. Karena itu, berpisah lagi sekarang, tidak akan ada masalah nya buat mereka berdua.

"Baik-baik jadi istri ya, Nak. Jangan bikin ayah bunda malu dan kecewa sama kamu. Karena kami sudah sangat bangga sama kamu selama ini." Begitulah ucapan sang bunda yang melepaskan kepergian anaknya yang baru saja menikah kemarin.

Dinda tidak menjawab dengan kata-kata. Hatinya tidak tahu harus merasakan rasa apa. Karena pernikahan ini tidak ia inginkan. Tapi dia juga tidak ingin menyalahkan orang tuanya. Karena selama ini, kedua orang tuanya sudah berusaha keras agar ia bisa menikmati setiap tahap pendidikan dengan mudah.

"Bunda tahu, ini pasti tidak mudah buat kamu, Din. Tapi, ini adalah pilihan terbaik buat kita semua. Jalani hidup dengan bahagia ya, Nak. Hanya itu harapan terakhir bunda."

"Jangan ngomong gitu, bunda. Dinda gak suka. Dinda gak mikir kalo hal ini berat kok, Bun. Dinda akan melakukan apa yang bunda katakan. Tapi, jangan bilang ini yang terakhir. Karena itu akan membuat hati Dinda tidak tenang."

"Anak bunda." Saat itu, tangisan tidak bisa bundanya bendung lagi. Dia pun merangkul Dinda dengan erat selama beberapa saat.

"Pergilah, Nak. Bunda pasti akan merindukanmu." Bunda Dinda berucap lagi setelah pelukannya ia lepaskan.

Dengan sedikit berat hati, Dinda melangkah. Si ayah tidak berucap satu patah katapun. Seperti biasa, orang tua itu terlihat tidak terlalu akrab dengan Dinda. Entah apa alasannya, ayah Dinda itu terasa selalu asing buat Dinda.

Sejak kecil juga, mereka tidak saling bicara jika tidak ada hal yang begitu mendesak. Satu rumah, tapi jarang berkomunikasi. Itu rasanya sangat tidak enak.

Dinda pun melakukan hal yang sama. Tidak berbicara dengan sang ayah barang sepatah katapun. Setelah bersalaman, maka ia langsung melanjutkan langkah kakinya menuju mobil, tempat di mana Ilya sudah menunggu dirinya sejak beberapa menit yang lalu.

Namum, belum sampai ia ke mobil, ayah Ilya pula yang kini menahannya. Orang tua itu sepertinya ingin mengatakan sesuatu pada Dinda. Karena itu, dia langsung menahan tangan Dinda dengan cepat.

"Ada apa ... ayah?" Dinda berucap dengan nada ragu.

"Dinda. Kamu sekarang adalah menantu ayah. Mm ... ayah minta tolong padamu yah, tolong jaga Ilya dengan baik. Sayangi dia sepenuh hati kamu. Yah, meskipun kata-kata itu terdengar sangat tidak nyaman buat kamu. Tapi, ayah sangat berharap kamu bisa belajar menerima Ilya dengan semua kekurangan yang ia miliki."

"Dinda. Ayah percaya kamu bisa menjaga anak ayah dengan baik. Jadi, tolong jangan kecewakan ayah ya, Nak."

"Oh ya. Ini." Ayah Ilya berucap sambil menyerahkan sebuah liontin dengan permata merah muda berbentuk hati ke tangan Dinda.

"Apa ini, ayah?" Dinda melihat liontin tersebut dengan fokus.

"Ini adalah kalung almarhumah bunda Ilya. Ayah berikan padamu sekarang. Ayah yakin, kamu yang paling berhak memilikinya, Dinda."

"Ap-- apa? Kalung bunda kak Ilya? Tapi ayah ... Dinda merasa ... dinda tidak cocok untuk menjadi pemiliknya. Jadi .... "

"Dinda. Ayah yang merasa kamu cocok. Karena itu, ayah serahkan kalung ini padamu. Jadi, tolong terima yah."

Perasaan tidak nyaman langsung menyelimuti hati Dinda. Ingin menolak, tapi tidak bisa. Karena itu, ia terpaksa menerima walau dengan hati yang sangat berat.

Setelah kalung ia terima, Dinda pun segera pamit untuk masuk ke dalam mobil. Beberapa saat setelah Dinda duduk, mobil berjalan meninggalkan rumah yang paling mewah di desa ini.

Dengan berjalannya mobil, maka berjalan pula kehidupan baru Dinda. Meski ia tidak yakin dengan apa yang sedang menunggunya di depan saja, ia tetap melangkah dengan penuh semangat. Karena mundur pun tidak bisa. Maka hadapi saja dengan tenang. Begitulah pikiran Dinda saat ini.

Terpopuler

Comments

Fi Fin

Fi Fin

ini cerita novel beda dengan novel2 yg vercerita laku2 lumpuh biasa nya laki2 lumpuh di novel2 lain itu pada tempramental

2024-06-18

0

Hari Dunddung

Hari Dunddung

kalau udah nyampe kota jangan hadirkan pelakor Thor......

2023-05-25

4

Liswati Angelina

Liswati Angelina

semoga gak ada konflik yg berat thooorrr

2023-05-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!