"Apa?" Dinda berucap dengan wajah serius.
"Perhatian." Ilya berucap enteng.
"Perhatian?" Dinda dengan wajah bingung pun menatap lekat wajah Ilya yang masih mempertahankan senyum kecil di bibirnya.
"Maksud kak Ilya perhatian apa?" Dinda yang tidak mendapat jawaban pun kembali mengucapkan pertanyaan yang sebelumnya ia tanyakan.
Bukannya menjawab langsung. Ilya malah kembali mengukir senyum lebar. "Ya Tuhan, Dinda. Wajah kamu itu kok bisa seserius itu menanggapi apa yang aku katakan. Aku hanya bercanda aja kok. Habisnya, kamu setiap hari sibuk dengan kegiatanmu mengurus taman. Aku .... "
"Tunggu deh." Dinda dengan cepat berucap sambil mendekat beberapa langkah ke Ilya. "Kak Ilya bilang aku setiap hari sibuk dengan kegiatan mengurus taman? Bukannya kak Ilya juga setiap saat selalu sibuk dengan pekerjaan kak Ilya? Sibuk sama ponsel, juga sibuk sama laptop. Kalau aku .... "
"Kamu cemburu ya .... " Ilya malah menggoda Dinda dengan memotong ucapan Dinda tanpa menunggu Dinda selesai mengatakan apa yang ingin ia katakan terlebih dahulu.
"Eh! Cem-- cemburu apanya? Aku hanya gak mau dituduh sendirian aja kok. Karena yang sibuk itu bukan cuma aku doang. Kak Ilya juga, bukan?"
Ilya yang mendengar ucapan dengan nada gugup itu malah tersenyum lebar. Entah kenapa, wajah itu terlihat sangat lucu di mata Ilya. Sudah lama ia menahan diri untuk dekat dengan Dinda sejak kejadian waktu itu. Tepatnya, sejak kecewa akan harapan Dinda yang ia harapkan cemburu karena ia dekat dengan perempuan lain.
Kini, rasa ingin selalu dekat itu tidak bisa ia tahan lagi. Karena itulah, ia yang langsung mengorbankan egonya untuk menghampiri Dinda terlebih dahulu. Dan, ternyata itu sangat membahagiakan buat Ilya. Mengorbankan rasa egois sangat sebanding dengan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini.
Karena itu pula lah, Ilya bertekad jika ia akan selalu mengesampingkan rasa ego yang selama ini besar hanya untuk selalu bersama dengan Dinda. Dengan kata lain, perlahan ia menginginkan Dinda untuk tetap dia miliki walau bagaimanapun caranya.
"Mm ... kak Ilya kok malah tersenyum sih? Apa yang kamu pikirkan, ha?"
Ucapan Dinda membuyarkan lamunan Ilya. Dia yang ketahuan diam sambil menatap Dinda pun langsung menyembunyikan rona merah wajahnya akibat malu.
"Aku ... nggak ada apa-apa kok. Oh iya, aku bawakan kamu minuman nih? Duduk di kursi dulu yuk," ucap Ilya berusaha menenangkan hatinya sendiri dengan mengalihkan pokok pembicaraan sebisa mungkin.
"Eh, se-- sejak kapan kamu bawa minuman itu, kak Ilya?" Dinda berucap sambil melihat ke arah minuman yang ada di atas meja taman.
"He he ... bukan aku yang bawakan. Mbok Yah yang mengantarkannya tadi."
"Mbok Yah? Kapan mbok Yah datang? Kenapa aku gak lihat ia sama sekali?"
"Mbok datang bareng aku, Dinda. Kamu gak liat karena terlalu fokus sama tanaman kesayangan kamu itu. Lagian, aku sengaja minta mbok jangan terlalu berisik. Karena ... mm ... aku ingin bicara berdua aja sama kamu sekarang."
Dinda pun langsung menatap lekat Ilya. "Bicara ... berdua aja? Mau bicara apa?"
"Banyak. Ayo duduk dulu!"
Tanpa berucap, Dinda pun langsung mengikuti apa yang Ilya katakan. Mereka pun duduk berhadapan di kursi taman yang ada di bawah pohon hias yang rindang dan terawat.
Angin sepoi menerpa menambah suasana sejuk yang tercipta di antara keduanya. Selama beberapa saat, keduanya saling diam sambil menikmati minuman masing-masing. Hingga pada akhirnya, Ilya membuka obrolan diantara mereka lagi.
"Dinda, apakah ada yang ingin kamu katakan padaku sekarang?"
Dengan tatapan lekat, Dinda pun menatap lurus ke arah Ilya. "Tidak ada," ucap Dinda sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Kalau begitu, biar aku yang bercerita tentang kehidupan masa lalu yang sebelumnya aku lalui. Tepatnya, sebelum aku menderita lumpuh seperti ini."
"Din, aku yakin kamu tahu dan pernah mendengar semua kisah hidupku yang sangat buruk sebelum kita menikah, bukan? Mustahil jika tidak pernah mendengar. Karena aku adalah bahan gosip terhangat bagi ibu-ibu di kampung."
Ucapan itu membuat Dinda memberikan tatapan serius ke arah Ilya. "Kak ... Ilya tahu akan gosip buruk tentang kak Ilya di kampung? Bagaimana mungkin? Bukannya ... kak Ilya tinggal di kota, sedangkan ibu-ibu yang bergosip itu tempatnya di kampung kita."
Ya, Dinda cukup kaget dengan apa yang baru saja Ilya katakan. Karena sebelumnya, ia pikir Ilya tidak tahu kalau selama ini, ia sering dijadikan bahan omongan para ibu-ibu saat mereka bersama. Karena itu, saat Ilya mengatakan hal tersebut, tentu saja Dinda jadi cukup kaget.
Sementara Ilya, dia malah tersenyum lebar kembali. "Dinda, jangan lupa akan satu hal. Ayahku ada di kampung. Dia juga orang terpandang di kampung bukan? Jadi, sebatas informasi yang beredar, itu sangat gampang untuk aku dapatkan."
"Ayah kak Ilya tahu? Tapi kenapa dia tidak pernah melakukan apapun pada ibu-ibu yang bergosip? Seakan, dia tidak pernah mendengar gosip itu sama sekali. Dia tidak marah atau kesal pada ibu-ibu yang bermulut jelek itu."
Kini, ucapan Dinda barusan bukan hanya membuat Ilya tersenyum. Tapi, langsung membuat Ilya terkekeh karena ucapan itu sangat menggelitik hatinya.
"He he he .... Kamu berharap ayah melakukan apa, Dinda? Apakah ayah harus membungkam mulut para ibu-ibu yang sudah bergosip itu? Atau ... apa?"
Dinda malah menatap kesal ke arah Ilya yang masih tertawa. Karena dia yang serius bicara, malah Ilya tanggapi dengan candaan juga cemoohan.
Namun, Dinda memilih bungkam sekarang. Ia yang kesal, tidak ingin menambah kesal hatinya dengan menjawab apa yang Ilya katakan barusan.
Ilya yang melihat Dinda diam, kini langsung menghentikan tawanya. Ia pun langsung memasang wajah serius karena ia tahu, Dinda tidak suka dengan apa yang ia lakukan barusan.
"Maaf, Dinda. Aku udah bikin kamu kesal. Tapi, wajah kamu yang barusan itu sangat lucu, tahu gak? Masa iya ayah harus melakukan sesuatu untuk gosip buruk tentang aku. Karena gosip itu benar adanya."
Ekspresi wajah Dinda pun semakin menunjukkan rasa tidak enak untuk di lihat. Ilya tahu kalau Dinda sedang kesal atau bahkan tidak suka padanya saat ini. Tapi ia ingin berterus terang pada Dinda sekarang.
Kali ini, Ilya ingin jujur pada Dinda. Dia tahu, masa lalunya yang buruk mungkin akan mempengaruhi hubungannya dengan Dinda. Tapi, jujur lebih baik dari pada diam tanpa menjelaskan apapun.
Meskipun Dinda mungkin tidak akan bisa menerima dia dengan baik. Tapi setidaknya, dia sudah menunjukkan kalau dia bisa berubah meskipun sudah terlambat. Tapi, itu lebih baik dari pada tidak sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments