Asmi masih terkantuk-kantuk saat mang Ali mengantarkannya pulang ke rumah amih. Semalam ia pulang jam setengah 12 malam, sampai kena ultimatum Candra yang mengancamnya tak mau menampung Asmi kalo gadis itu kabur lagi.
Dan pagi ini, suasana damai pagi berikut hawa dingin kota mengantarkannya lagi pada rasa kantuk dan tenang. Padahal matahari sudah melek, dan amih sudah menelfonnya berkali-kali hanya karena takut Asmi terlambat menemui Agah sekeluarga.
"Den rara kalo mau tidur lagi, tidur aja mumpung masih di jalan," ucap Ali begitu iba melihat wajah pucat Asmi yang terlihat begitu lelah.
"Iya mang, maaf ya Asmi ngerepotin..." jawabnya nyengir, ia lantas memasang headset di telinganya lalu memejamkan mata di bangku belakang.
"Nanti kalo udah deket rumah colek aja Asmi, ya mang?!" Asmi berkata kemudian ia menyenderkan kepalanya di sandaran bangku. Tubuhnya tidak begitu lelah, namun hati dan pikirannya teramat letih.
Mang Ali terkekeh kecil saat menoleh ke belakang, niat hati ingin membangunkan majikannya itu namun ia urungkan, pasalnya Asmi begitu nikmat tertidur sampai-sampai mulutnya terbuka sedikit memberi jalan untuk lalat atau nyamuk masuk, wajah yang terkesan baby face dengan pipi merona siapa yang gagal jatuh cinta, mang Ali sebagai bawahan merasa kasihan pada gadis baik ini, aksinya semalam adalah bentuk berontaknya Asmi pada aturan keluarganya.
Mang Ali memutuskan meneruskan laju mobil sampai masuk parkiran rumah, saat masuk ia langsung di sambut oleh beberapa supir di rumah itu termasuk security yang berjaga.
Mang Ali menarik rem tangan, lalu keluar dari mobil, merasa lancang jika harus membangunkan Asmi dengan mencoleknya secara langsung.
Beberapa saat kemudian amih datang dengan decakan, membuka pintu mobil dan menepuk-nepuk pipi putrinya, "neng! Bangun, kamu teh begadang apa gimana?! Ngga malu sama ayam, ayam aja udah pada bertelor?!" tanya nya menembak. Asmi menggeliat membuka matanya, ia cukup terkejut saat menemukan jika yang membangunkannya ternyata amih, Asmi lantas membuka headset yang menyumbat telinganya, menggantungkan begitu saja di kerah kaos, biar masuk nyentuh dadha agar ada sensasi geli-geli manjanya.
"Loh, kok mang Ali jadi cantik gini, kebayaan?!" rayunya terkekeh. Amih memutar bola matanya, "turun! Amih kira kamu udah mandi di rumah aa kamu, tapi masih treningan gini?!" Raden nganten satu ini membantu putrinya turun.
"Gendong atuh mih, Asmi masih setengah sadar nih, karena kecantikan amih yang sama kaya mentari, serab!" godanya lagi tertawa, hanya itu yang bisa dilakukan Asmi jika amih sedang ngomel-ngomel begini, demi meredam amarahnya dan amarah amih, ia lelah jika harus selalu mendebat dan bertengkar dengan amih. (menyilaukan)
"Ga usah gombalin amih. Ngga sadar diri, badan segede apa?!" jawab amih ketus.
Apih keluar dengan sudah berpakaian rapi, ia tersenyum simpul saat putri ketiga rasa bungsunya itu diomeli oleh istrinya, sudah menjadi pemandangan lumrah disini, dan anehnya Asmi seperti tak kapok-kapok dimarahi oleh istrinya itu.
Asmi digiring masuk ke dalam oleh amih sepaket dengan sarapan omelan pagi ini karena ia yang belum siap-siap, sampai-sampai Asmi kenyang duluan padahal belum makan apapun.
"Liat apih, Sasi! Udah siap dari tadi, cuma tinggal nungguin neng Asmi aja!" mata amih terbiasa membeliak bila bicara dengan Asmi, untung tak menggelinding.
Sasi tertawa-tawa melihat rutinitas itu, justru kalo tetehnya tak berulah atau tidak bikin amih marah, maka patut dipertanyakan, apakah hari ini akan kiamat?
"Ya udah, Asmi mah tinggalin aja weh! Ikhlas kok ikhlas," jawabnya masih ngeyel.
"Ngaco!" sungut amih.
Asmi menghembuskan nafasnya berat nan lelah, sejenak ia jatuhkan beban hidup bersama tubuhnya di kasur sebelum mandi, mengingat moment semalam ia jadi tersenyum-senyum sendiri, wajah datar Alva itu ya Allah! Hahaha! Kaya kocokan telur, kaku! Tapi baik! Asmi jadi gemas sendiri sama lelaki darkness itu.
Kemudian Asmi beranjak menyiapkan pakaian, mungkin hari ini ia akan memakai dress batik saja berwarna ungu, padahal sih maunya ketemu Agah pake kain kafan saja biar pada ngibrit keluarga Raden Mas Harya Enjan termasuk Agah. Acara mandi Asmi cukup lama karena luluran dulu, sengaja ia lakukan biar amih kesel, meskipun ia sat set dalam ber make up.
Hingga mereka menunggu 7 kali kocokan arisan, gadis itu baru saja keluar dari kamarnya dan bergabung di meja makan.
"Lama!" dengus amih.
"Neng, kang mas Enjan sama keluarganya sudah jalan dari rumah ketemu di pabrik apih..." ujar apih menyendok nasi ke mulutnya. Asmi hanya menggidikan bahunya acuh seraya mengambil sarapan, "ya udah santai aja, bisa ngopi dulu, tidur dulu, belanja dulu, malah bisa main ludo dulu, kan kita pake mobil!" ia menyunggingkan senyuman miring.
"Ya justru itu harus pergi sekarang atuh neng, masa mereka disuruh nunggu?!" sewot amih, Sasi hanya diam mengulum bibirnya seraya menikmati sarapan melihat *war* antara amih dan teteh, pasti sebentar lagi ada yang meledak, Asmi memang hobby bikin amih meledak.
Asmi dengan santainya menyendok tumisan, "kan tadi apih bilang Raden Harya sama keluarganya jalan, lah kita naik mobil jadi pasti cepetan kita lah! Mereka mah paling sore atau besok nyampe ke pabrik karena jalan."
Sasi menyemburkan tawanya bersama apih yang tertawa kecil.
"Ngga lucu neng, ngga lucu!" cebik amih.
Asmi menatap jalanan yang bergerak mundur dengan sorot mata nyalang, hari ini ia kembali menjadi seorang raden rara, bukan Asmi. Bisakah Agah suka pada orang lain saja, atau Sasi saja yang masih piyik!
Semakin dekat dengan lokasi pabrik teh, hawa semakin dingin dan sejuk. Kebun teh terhampar luas milik keluarganya, berdampingan dengan kebun teh orang dan milik pemerintah, letaknya juga tak jauh dengan sebuah pemandian air panas di kawasan Ciwidey.
Jika Sasi langsung berjalan bersama amih menuju kantor apih, maka yang Asmi lakukan adalah diam sejenak di halaman pabrik yang langsung disuguhkan oleh para ibu pemetik daun teh, pabrik apih memang pabrik tua yang turun temurun, namun keasriannya dapat terjaga, dan memiliki pelanggan tetap yang bukan sembarangan.
Sementara ia sibuk menghirup udara sejuk diantara dadha dan paru-parunya yang terasa sesak, apih bercengkrama dengan pak Riki, manager produksi disini.
"Raden, kata raden nganten mau teh?" seorang karyawan pabrik menyapa membuyarkan lamunan bebas Asmi.
"Boleh bu, bikinin aja. Tapi Asmi masih mau disini sebentar," jawabnya diangguki karyawan itu.
Hingga tak ia sadari sebuah mobil mewah berwarna hitam datang, dan didalamnya beberapa pasang mata melihat Asmi.
"Ambu, Agah nyapa dulu neng Asmi. Ambu sama Apa duluan saja ketemu raden Amar sekeluarga," ujarnya meminta ijin, tentu saja kedua orangtuanya itu mengangguk menyetujui, bukankah memang untuk tujuan itu mereka kemari?
Agah tersenyum di balik balutan kaos putih dan jas navy yang melapisinya.
"Ekhem, cantik ya neng. Kaya yang lagi mandangin," kekehnya mengejutkan Asmi.
"Raden," angguk Asmi.
Agah menelan saliva besar, "kok Raden, akang neng, akang..."
Asmi menunduk segan setengah tak rido.
"Camellia sinensis, tumbuh di daerah tropis dan subtropis, terutama di areal yang curah hujan sedikitnya 50 inci setahun. Namun teh dengan kualitas tinggi ditanam diatas ketinggian 1500 meter, karena di ketinggian itu tanaman akan tumbuh lebih lambat dan menjadi lebih enak." Jelas dosen fakultas botani ini membuat Asmi mendongak.
"Dan pabrik milik keluarga Raden Amar Kertawidjaja ini adalah salah satu pabrik teh yang menjaga kualitas rasa," lanjutnya tersenyum simpul melihat gadis cantik diantara alam indah.
Asmi langsung mengalihkan pandangannya ke lain arah, "neng, apa kabar? Saya rindu neng Asmi..." imbuhnya terang-terangan menatap Asmi lekat dari samping, membuat Asmi tak berkutik. Hatinya sudah tak disana, namun bersama seseorang di lain tempat. Keromantisan Agah bahkan tak mampu membawa jiwa Asmi kembali. Asmi terjebak...sungguh sudah terjebak!
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Opi Sofiyanti
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-01-19
0
Lia Bagus
wah asmi mancing² masih ini mah 😅
2024-04-16
1
Wandi Fajar Ekoprasetyo
wkkwkekekekekekeek
2024-04-16
0