Rashmi sudah duduk di kursi makan berbahan kayu jati, bergabung dengan yang lain, makan tapi berasa jadi tawanan yang mesti ikut aturan penjaranya amih. Ia menurunkan dahulu buku-buku tebal yang ia bawa sekalian dari kamar sepaket dengan tasnya biar ngga bolak-balik ke kamar lagi.
"Taruh dulu atuh tas sama bukunya neng, meni riweuh mau makan juga!" ujar Bajra.
"Biar langsung otewe A, males ke kamar lagi," jawabnya membalikan piring.
Gadis itu, sebenarnya lebih senang makan sendiri, ketimbang makan rame-rame gini kaya lagi di kondangan aja. Selain itu juga ia tidak harus merasa tersiksa begini.
Bayangkan saja, posisi duduknya harus tegak sempurna mirip tiang bendera, bukan mulut yang menyambar makanan tapi makanan yang masuk menghampiri mulut. Padahal jika biasanya di kantin kampus atau di cafe bersama Elisa ia lebih senang sambil senderan di sofa atau kursi, mulut nyamber makanan kaya bebek entok.
Ia menyendok nasi beserta lauk pilihannya pagi ini.
Menu di atas meja begitu beragam, ada ayam serundeng, tahu dan tempe goreng, karedok kacang panjang, lalapan--sambal--ikan asin paketan favoritnya orang sunda, dan nasi tutug oncom.
"Teh, maaf ih! Pang-ambilin tahu itu," pinta Sasi pada Asmi, ia mengambil tahu goreng namun karena jiwirannya kurang kuat jadinya ia malah menjatuhkan tahu untuk Sasi tepat di atas piring tanah liat berisi sambal.
"Ups!"
Bwahahahaha! Candra, Katresna, dan Sasi sendiri tertawa tergelak, bahkan Nawang dan Bajra mengulas senyuman yang mereka lipat seraya menyuapkan nasi.
"Oleng nih," imbuh Candra. Tapi kemudian tawa mereka terhenti seketika kala amih berdehem.
"Diganti aja," apih berkata mengangguk singkat.
"Maaf Si, ngga sengaja. Teteh ambilin yang baru..." ujar Asmi.
"Ngga apa-apa, biarin lah teh...biar ada sensasi pedes-pedesnya..." balas Sasi. Suasana makan jika ada amih tuh mirip-mirip makan di antara todongan senjata api oleh perompak Somalia, ngeri-ngeri sedep. Suasana sarapan begitu khidmat kayak lagi mengheningkan cipta, hanya suara alat makan dan kunyahan yang terdengar.
"Amih, hari ini sampai 3 hari ke depan Asmi pulang telat, soalnya kebagian jadwal bikin vlog rutin himpunan anak teater," ijinnya membuka obrolan. Lirikan mata amih sedikit mendelik, bukan karena benci tapi memang sudah menjadi karakter amih begini, judes!
"Bilang sama mang Dedi, biar nanti jemputnya sesuai sama jam pulang neng Asmi, jangan ngelayap kemana-mana dulu, amih pasti pantau Asmi, inget...hari minggu kosongin jadwalnya, Asmi suka lupa...den Agah sama kanjeng ayu ngajak ke pendopo," jawabnya, apih masih kalem dengan stelan kemeja batik bersiap untuk pergi ke pabrik teh dan gula milik keluarga Kertawidjaja.
"Iya," jawab Asmi singkat. Di rumah ia benar-benar gadis penurut macam boneka susan. Katresna dan Nawang saling lirik memberikan kode, mereka tau jika adik iparnya itu begitu tertekan apalagi mengingat obrolan kemarin yang menurut mereka begitu mengikat dan membebani jiwa muda Asmi, tapi apalah daya mereka yang cuma mantu disini, sudah dari azalinya nasib anak-anak diatur oleh amih dan apih termasuk jodoh.
"Neng Dhara sama Kelana belum bangun neng?" tanya amih.
"Belum mih, tadi abis solat subuh terus tidur lagi," jawab Nawang tersenyum meski dibawah tekanan suasana tegang, terkhusus untuk Asmi, poor Asmi.
"Dibangunin aja neng, biar sarapan sama-sama." Pinta amih diangguki kedua mantunya.
Asmi diam menyimak padahal dalam hatinya ia sudah mengejek, mana mau bocah-bocah makan disini, orang amih udah kaya penjajah Londo yang lagi ngawasin kerja rodi.
Tak ada lagi sinjang yang melilit di perut ataupun stagen dan kebaya. Ia layaknya para gadis pada umumnya, berpakaian casual hanya saja lebih sopan. Hari ini ia bahkan memakai dress putih dibawah lutut.
Tak akan ada yang menyangka jika gadis manis nan jelita ini adalah turunan ningrat yang kemana-mana terbelenggu aturan adat, karena covernya mirip orang-orang milenial pada umumnya. Hanya saja Asmi sering ke kampus diantar supir tidak bisa mengendarai mobil apalagi motor. Sebenarnya sempat ia belajar berkemudi dulu, hanya saja setelah kecelakaan ia menabrak guci mahal amih di halaman, amih melarangnya untuk belajar mengendarai mobil lagi. Asmi melirik jam di dinding, "Si, buru ah! Udah jam segini nanti kamu telat..teteh jadi ikutan telat." Asmi menunduk mengambil tas dan buku, beranjak dari kursi dan meraih gelas berisi air mineral.
"Mih, pih...aa, teh..Asmi berangkat dulu..." ia salim takzim pada satu persatu keluarganya bersama Sasi, satu mobil ini mereka pakai berdua.
"Hati-hati!" angguk amih dan apih.
"Aa juga jalan sekarang aja, takut telat...ada kelas pagi," balas Bajra melirik arloji di tangannya.
"Iya a,"
"Pulang nanti siang kan?" tanya amih diangguki para menantu dan anak tertua.
"Ya udah, biar nanti mang Asep *ngabedahkeun* dulu balong gurame," jawab amih. (***menangkap ikan dengan cara mengosongkan kolam***)
"Asik, amih mau bagi-bagi gurame," kekeh Katresna. Candra ikut beranjak, ia yang notabenenya seorang yang memiliki jabatan di PT. KAI harus berangkat pagi-pagi juga.
"Teh Nawang praktek jam berapa?" tanya Asmi.
"Ada jadwal jam 9, jadi santai Mi.." jawabnya.
"Apih berangkat sekarang?"
"Iya," jawabnya menerima tas laptop dari amih, sementara anak menantunya sudah berjalan duluan ke arah depan rumah.
"Jajan Sasi mana a?" kekeh bocah smp itu pada kakak pertamanya, sambil berjalan lompat-lompat.
"Anak kecil mah jangan banyak-banyak jajannya, Si..." ujar Bajra tak urung mengeluarkan dompet dan mengeluarkan lembaran hijau 20 ribu untuk Sasi membuat gadis itu berseru kegirangan.
"Yeee!"
"Ih licik! Asmi mana A? Masa Sasi dikasih Asmi engga?" ia merengut, terkadang Asmi ini bersikap manja layaknya anak bungsu.
"Neng Asmi mah udah gede, ngga akan cukup 20 ribu," jawab Bajra.
"Dari a Candra atuh," paksa Asmi.
"Dih, a Bajra yang ngeluarin...aa mah ngga ikut-ikutan!" jawabnya.
"Paksa mi, biar keluar yang biru!" ujar Katresna dikekehi Nawang.
"Jangan atuh, nanti kamu ngga ada yang nyawer kalo malem!"
Sasi menutup mulutnya mendengar ocehan Candra, sementara Asmi sudah menutup telinganya dan berujar sewot.
"Ihhhh, kalo obrolan kama soetra jangan di depan anak kecil atuh!" sengitnya.
"Oh iya! Lupa aa kalo disini masih jomblo. Baru calon suami!" tawa Candra tertawa menggoda padahal Asmi sudah berwajah keruh, "ngga usah bawa-bawa masalah kemaren, Asmi ngga suka!" cebiknya merajuk. Melihat sikap penolakan Asmi lantas membuat kedua kakaknya ini menghela nafas lelah.
"Ya udah! Asmi berangkat aja, assalamualaikum!" kesalnya duluan.
"Emhh, *pundungan*! Ini mau engga?" tanya Candra merayu dengan merogoh saku belakangnya, salahnya yang memang tak bisa mengerem cocot. (**gampangan marah**)
"Teh, tunggu Sasi!" bocah smp itu menyalami kakak dan kakak iparnya satu persatu lalu berlari menyusul Asmi ke dalam mobil.
"Si aa sih! Udah tau Asmi masih sensi...malah digangguin," ujar Katresna.
"Heem, lupa!" Candra meringis.
"Amih ngga ngasih toleransi gitu a? Kan turunan ningrat teh banyak atuh, bukan cuma Agah...kasih Asmi pilihan, Nawang tau Asmi udah cukup umur, tapi yang di khawatirin teh sikapnya belum cukup dewasa, takutnya stress...." jelas Nawang.
"Nanti coba aa ngomong sama amih," balas Bajra.
"Kalo gitu aa berangkat," angguknya singkat.
"Iya,"
"Aa juga," ujar Candra.
"A, " tahan Katresna.
"Bantuin juga a Bajra, kasian Asmi...udah ngga jaman jodoh-jodohan sekarang mah, ditambah Asmi juga kan orangnya easy going, pergaulannya luas...pasti punya banyak temen, kenalan cowok yang menurut dia cocok. Biar dia milih sendiri..." tambah Katresna.
"Iya, nanti."
"Mang, jalan!" Asmi menatap luar jendela meski kini pikirannya entah berkelana kemana, di sampingnya Sasi terbengong melihat kakaknya galau, mungkin secara garis besar ia sudah mengerti apa yang terjadi dengan kedatangan Agah sekeluarga, terlihat pula jika Agah menyukai Rashmi, tapi ia tak mengerti alasan amih kekeh memaksa dan alasan Asmi yang kekeh menolak.
"Teteh ngga apa-apa kan? Teteh marah gara-gara a Candra ngga ngasih jajan?" tanya Sasi polos.
"Engga." Jawabnya ketus teramat singkat, Sasi bukan tak tau jika saat ini kakaknya itu sedang dalam mode tak ingin diganggu, maka ia memilih memasang headset di kedua telinganya sambil dengerin lagu cadas favoritnya. Mobil sejuta umat berwarna silver melaju meninggalkan kediaman Kertawidjaja.
Pandangan Asmi tetap jatuh keluar jendela, namun ia memikirkan masalah kemarin, masih terputar jelas di ingatannya jika Agah dengan terang-terangan meminta dirinya, begitupun ayah dan ibunya. Dan sudah bisa ditebak bagaimana reaksi amih diikuti kata setuju dari apih, membuat dunia Asmi serasa hancur....apakah cinta memang sudah tak diperlukan lagi di dunia? Ia belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta, tapi tak bisakah ia? Sekali saja!
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Lia Bagus
sabar ya asmi
2024-04-16
1
Lia Bagus
enak semua 😅
2024-04-16
0
lestari saja💕
ngebayangin jadi asmi kok sesek napas ya
2024-04-09
0