"Dadah!" Sasi berlarian padahal tidak sedang kesiangan, memang bawaannya saja, gadis smp itu begitu pecicilan kaya kutu loncat.
"Jalan mang," ujar Rashmi lemah mirip-mirip orang belum dikasih makan seminggu, tak ada gairah untuk Rashmi, seolah mood hari ini yang sudah ia bangun sejak subuh tadi runtuh begitu saja diterjang badai perjodohan.
Mobil itu kini melaju masuk ke jalan Soetta, jalanan masih padat merayap, wajar saja namanya juga jam masuk kantor dan sekolah, mungkin Rashmi harus menunggu 7 sampai 10 menit, sejak tadi matanya hanya fokus ke jalanan di luar jendela meski pikirannya entah kemana, kemudian supir membelokkan mobil ke perempatan Buah Batu, kawasan yang dulu sempat dipakai syuting film Dilan 1990. Kawasan kampus sudah dekat, hanya tinggal berbelok ke kanan saja nampaklah gedung kampus yang bernuansakan biru dan putih.
...INSTITUT SENI BUDAYA INDONESIA...
...BANDUNG...
"Mang Dedi, nanti jemput Asmi jam 4 aja. Asmi pulangnya telat." Suara lirih itu memenuhi gendang telinga pria paruh baya yang sudah menjadi supir keluarga Kertawidjaja sejak 7 tahun lalu, ia begitu setia pada keluarga turunan ningrat ini. Mang Dedi mengangguk pasti setelah menajamkan pendengarannya saat gadis itu memberikan pesan biar tidak salah.
Ngga dijemput juga ngga apa-apa, mang. Bilang aja Asmi ilang ditelan bumi!
Jika tak kasihan pada mang Dedi, mungkin gadis itu sudah kabur ke bikini bott om atau ke kampung durian runtuh dan mengejar bang Iz.
"Siap den rara..."
Gadis itu membuka pintu mobil dan turun dari mobil, kaki-kaki putihnya begitu indah diantara dress putih, mojang Bandung memang manis tur geulis. Angin pagi hari, waktu haneut moyan (munculnya sinar mentari hangat, sekitar pukul 07.30 - 09.00) membawa serta rambut yang ia gerai hingga menyapu lembut pipi, seolah mengucapkan selamat datang. Segaris rambut bagian depan ia jepit sekedar merapikan agar tak menggelitik bagian dahi.
Ia berjalan bersama puluhan mahasiswa lain yang bergerombol mirip pasukan ikan sarden untuk sama-sama menimba ilmu disini, gedung fakultas seni pertunjukan berada tepat di depan parkiran. Tepatnya gedung kesenian Sunan Ambu.
Suara riuh kecil menjadi suasana pagi ini di ruang prodi teater hingga semakin kesini semakin riuh.
"Mi, nanti kumpul sama anak RAMPES, di fakultas Etnostudi.." Elisa berujar.
"Iya."
Tak ada semangat seperti biasanya, kata-kata amih kala itu mematahkan semua impian termasuk semangatnya berkuliah, hingga seharian ini ia seperti ayam be go yang masuk kampus, sampai-sampai Rashmi berpikir apakah ia mesti datang sambil uget-uget mirip ulat saking badannya yang tak memiliki gairah.
"Den rara," bisik Elisa memecah keheningan di ruang otak Rashmi. Gadis berambut sebahu itu tertawa cekikikan menggoda Rashmi. Tak ada yang tau jika Rashmi adalah turunan ningrat selain Elisa.
"Ck," berdecak seperti sebuah kebiasaan jika merasa kesal dan dongkol.
"Jangan melamun terus atuh, bisi kesambet!" kekehnya.
"Biarin lah, separuh jiwaku memang sudah hilang wahai rakyat jelata kota Bandung..." jawab Asmi, membuat Elisa menyunggingkan bibir nyinyir, "capruk!" sengit Elisa mendengus, Asmi tertawa kecil melihat wajah masam Elisa. (ngelantur)
Sebelum kembali berpikir, seusai menguras otak Asmi dan Elisa masuk ke kantin terlebih dahulu, meski ujungnya nanti mereka harus kembali berjalan lebih jauh lagi, mengingat letak kantin yang berada jauh di depan sementara gedung fakultas budaya dan media berada di bagian ujung.
.
.
Ia menatap mangkuk mie yang isinya sudah berpindah ke perut, jika di luar begini ia baru bisa memakan jajanan yang menurut anak kampus itu makanan kebangsaan para mahasiswa di akhir bulan.
"Seneng banget yang mau ketemu kang Anjar, sambil menyelam minum air ya Sa, seger!" cibir Rashmi. Elisa sudah mesam-mesem kaya onta yang dapet makanan. Ketemu pujaan hati tentu saja bikin hati berasa lagi saweran duit segepok, bukan lagi durian runtuh.
"Iya atuh, makanya buka hati sedikit buat cowok Mi...ngga apa-apa lah cuma buat main-main aja mengisi kekosongan, jaman sekarang belum pernah pacaran meni asa kamseupay..." jawabnya mengejek, Asmi mengangguk setuju, please atuh lah! Anak SD aja udah ayah--bunda'an. (kampungan)
Keduanya sengaja mengambil jalur lurus dari kantin melewati jajaran gedung Rektorat yang berhadapan dengan lab. bahasa dan gedung olah seni Patanjala supaya lebih cepat, memangkas jarak dan waktu.
Berteman hembusan angin yang menerpa pohon daun kiara payung keduanya berjalan menyusul KMT lain.
Gedung Etnostudi sudah terlihat, disanalah anak-anak himpunan mahasiswa yang mengambil prodi dengan mata kuliah psikologi, etnomusikologi, etnis, religi, mitologi, filsafat, hingga antropologi berada, dan mereka tergabung dalam himpunan mahasiswa bernama Rawayan Mahasiswa Jurusan Etnostudi (RAMPES).
"Kang Anjar!" dengan bo dohnya Elisa berteriak melambaikan tangan mirip di tv-tv biar keliatan dramatis, kenapa ngga disamperin aja?! Rashmi mengalihkan pandangannya ke samping merasa salah tingkah, jujur ia tak suka pandangan anak-anak Antropologi budaya yang cenderung pandai mengobservasi dan introvert, terlampau mengamati!! Karena di sadari atau tidak, bukan hanya Anjar saja yang menoleh, melainkan semua yang ada di radar suara menggelegar bak sirine ambulans Elisa ikut menoleh, bahkan semut sampe kumbang hitam yang lagi dorong kotorannya sampe menoleh karena suara jenger alias lantang nan cempreng Elisa.
"Sa!"
Untung saja rasa malunya terselamatkan oleh Fajrin dan beberapa anak KMT yang sudah ada disana.
"Sa, Mi,...sini--sini!"
"Sami, ri'nya mana?" goda Filman mencibir.
"Sarimi atuh kang," jawab Elisa tertawa.
"Eh!" ia cukup terkejut dengan sosok yang kini berjalan mendekat, dari sekian anak antropologi budaya nyempil sosok-sosok yang Asmi kenali. Diantara mereka seseorang yang tengah ikut mengatur kursor adalah Alvaro. Ia sempat menoleh sebelum akhirnya kembali menyelesaikan pekerjaannya.
"Den Rara..." ia menoleh usil pada Alva yang sejak tadi diam dan berkutat dengan laptopnya, pemuda itu sudah menyadari kedatangan Asmi tanpa mesti di senggol Filman, tapi ia bersikap masa bo doh saja, tak peduli, padahal hatinya cukup penasaran dan kelojotan buat nengok. Aura Asmi memang sekuat magnet kulkas.
Kedua gadis itu mendekat, Asmi mengedarkan pandangannya, dan kini sapuan tatapan jatuh pada sosok Alva, "aduh. Kenapa harus ketemu lagi," Asmi memejamkan matanya,
dia kuliah disini juga?
Kok baru tau?!
Kok kaki gemeteran ya?
Apa mesti ijin aja nih Asmi?
Aduh tanggung pisan udah di depan muka!
Anggap aja hantu, Mi!
Ada rasa malu dan takut yang menggelayut sebesar anak kingkong, makanya Asmi menunduk dalam, tak berani melihat Alva, kalo bisa nih muka dikresekin. Gitu ya...kalo ngerasa udah lakuin dosa bawaannya ngerasa kaya lagi dikejar malaikat pencatat amal buruk.
"Kang Anjar, Ica telat ya?!"
Fajrin menyemburkan tawanya, "so imut, kamu!" sontak saja membuat Elisa merengut, terang saja di depan pujaan hati, pemuda itu malah mematikan gayanya.
Asmi ikut terkekeh renyah mendengarnya, "Udah sampe mana Jrin?" tanya Asmi, anak-anak Antropologi dan media sudah berdehem kedatangan sosok segar seperti Asmi, cantik, imut-imut manis kaya bola-bola coklat, mana putih kulitnya, ngga banyak ngomong dan ngga kecentilan.
"Neng Asmi, sok sini duduk! Aa bersiin tempatnya pake harga diri," ujar Saka, teman Anjar. Filman mendorong keras kepalanya, "so ibeh.."
"Ha-ha-ha, saravv njir...goks lah! Mi, siap-siap tiap hari diteror anak-anak antroplogi sama media," ujar Cintya.
Asmi hanya tersenyum saja duduk dan mengamati teman-temannya mengerjakan project, hingga tak menyadari seseorang telah beranjak.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Lia Bagus
cie
2024-04-16
2
lestari saja💕
sedingin itu si aa alva....kayak mpap nata
2024-04-09
1
Rita
🤣🤣🤣🤣🤣
2023-09-07
0