...BAGAI BURUNG DALAM SANGKAR......
...RASHMI SUNDARI...
...🍂🍂🍂🍂🍂🍂...
Kaki-kaki jenjang nan putih itu tak pernah terekspos sempurna layaknya model majalah dewasa, tertutup bak berlian di dasar laut, tetap bersinar meski di kedalaman.
Disinilah tempat ia berada sekarang, di bawah payung langit yang sama dengan semua orang namun beda saung. Ia menyatu dengan para menak lain dan para orangtua yang di tua-kan, juga aparatur sipil negara dengan jabatan tinggi di kampung.
Gadis ini memandang penuh tatapan getir, karena jujur saja ia tak nyaman dengan takdir yang digariskan, sesak... Hatinya menthesah.
Hanya seulas senyuman tipis, tipis sekali layaknya kulit ari manusia.
"Néng, disapa atuh den Agah!" senggol amih pelan nan lembut, namun membuat Rashmi tersentak dan tersadar dari fokusnya memperhatikan para pemuda desa di ujung mata yang tengah mengobrol bebas nan merdeka bersama para jurnalis, dan mahasiswa.
Senyuman amih sekarang adalah sebuah perintah mutlak untuknya. Pemuda dengan pakaian tak kalah terbungkus rapi batik mega mendung dan celana bahan itu menghampiri bersama rombongan keluarganya. Dia cukup tampan, penuh pesona seorang pangeran, namun....
"Sampurasun," sapanya.
Sasi terkikik lucu, "cieee!" cubitnya di lengan sang kaka, jelas saja gadis itu memelotot.
"Rampés," cicit Rashmi, pelan namun pasti Agah mulai memangkas jarak keduanya. Seperti biasa gadis ini mengkerut layaknya putri malu yang terinjak, ia memainkan jemari tangan seolah tangannya itu terlalu kotor dan harus dibersihkan.
"Asmi apa kabar?" sapanya basa-basi, bolehkah ia tak menjawab saja.
"Alhamdulillah, baik den," angguknya singkat,-what the hell! Kenapa ia begitu sesak berada di sini-. Sama-sama bergelar raden namun berbeda kelas, jika Rashmi adalah menak turunan campuran murni serta Sikep dan Sentana lain halnya dengan Agah, ia adalah turunan murni ningrat bangsawan yang saat ini ayahnya pun menjabat sebagai bupati.
"Cantik," satu kata itu tak lantas membuat Rashmi merona, justru satu kata itu bermakna---- jika aku akan menargetkanmu. Semakin sesak saja dada Rashmi, apakah oksigen mulai meninggalkannya?
"Hatur nuhun raden," angguknya sopan dengan senyuman tipis nan lungguh. Dilihatnya di sudut lain diantara keramaian tempat yang sudah bernuansa ornamen gabah serta hasil bumi, para orangtua tengah mengobrol santai. Ia sudah tak bisa lagi kabur hari ini, 2 hari sebelumnya ia bisa beralasan memiliki kepentingan kampus, tapi hari ini---adalah acara puncak dan terakhir dari keseluruhan rangkaian acara Seren Taun.
"Permisi aden, Rashmi mau ke toilet sebentar!" ijinnya bersamaan dengan Agah yang menelan kembali ucapannya bulat-bulat.
"Oh, perlu saya antar?" gadis itu menggeleng, rupanya gerak-gerik Asmi di perhatikan sang ibu.
"Ambu tolong temani Asmi," pintanya pada salah satu warga yang ada disana bernada tegas memerintah meski intonasinya lemah lembut, entah itu panitia pelaksana atau memang Raden Nganten Sekar Taji selalu memakai kuasanya pada orang lain siapapun itu tanpa terkecuali.
"Muhun, raden.." perempuan itu segera berjalan mengambil langkah besar demi menyusul Asmi.
"Raden Rara! Punten---saur raden-----" ia nyengir lebar, belum menyelesaikan ucapannya, Asmi sudah menembak.
"Amih Sekar Taji?!" nafasnya terlihat berat nan kesal, seperti memikul beban sebesar-besar batu kali diatas pundak.
"Muhun den," terlihat jelas ia menunduk pertanda tak enak hati, tebakan Rashmi tak salah.
Ia tersenyum miris, "bu---kalo cuma sama saya saja, ngga usah pake aden-aden segala---panggil saja Rashmi. Ngga usah pake embel-embel raden rara. Ini udah jaman modern, udah ngga jamannya lagi manggil pake raden rara, Asmi sering diketawain temen kampus!"
"Lagian saya cuma mau ke toilet ambu," lanjut Rashmi seolah mengeluhkan jika ia jengah dengan sikap sang ibu, meskipun secara tak sadar.
"Mangga atuh, saya antar raden--eh néng Rashmi," ia benar-benar serba salah.
"Mangga ambu," jawabnya berjalan dengan langkah terbatas namun cepat. Di tengah keramaian acara ia berjalan mengekori seorang ambu.
Alvaro sedang berkumpul bersama para pemuda desa, mahasiswa dan jurnalis lain sambil menyulut rokok sembari tertawa ditemani segelas kopi instan dalam gelas cup air mineral, demi menantikan acara dimulai.
"Suthh!" senggol Filman pada Alvaro, memantik rasa penasaran untuk menoleh, tapi belum ia menyadari maksud temannya itu, Alvaro memang telah menoleh pada gadis menak yang melintas di depannya.
"Punten akang, tétéh----" sapanya membungkuk sopan.
"Anjimmm, cantik pisan! Ck--ck!" lirih Filman.
"Sut!" tegur kang Hendi dan Vera.
"Tau ngga dia teh menak, jangan sembarangan!" ujar Vera.
"Pantes, auranya beda ngga kaya lo, awur-awuran!" tawa Filman.
"Si alan!" desis Vera, Alvaro menggeleng tersenyum dengan kelakar temannya itu, tapi kemudian mata kelam Alva kembali melihat dimana punggung Rashmi semakin mengecil karena menjauh. Seperti memiliki tarikan daya tersendiri.
Dentuman suara mik yang sedang di cek sound menjadi pertanda jika acara akan segera dimulai.
"Guys, kayanya udah mau mulai!" Vera menarik handy cam dari dalam tasnya. Begitupun kang Hendi anak pak Kuwu yang beranjak merapikan pakaian pangsi bernuansa hitam-hitam lengkap dengan *bengker mastaka*,
"Sok atuh diliput, cari aja posisi yang enak, saya tinggal dulu ya!" ujarnya setengah berlari. Alva dan Filman mematikan rokok lalu bersiap meliput dengan kamera masing-masing.
Pemuda datar itu melesak diantara keramaian acara, berjubel bersama warga lain tanpa batasan.
Sosok para menak kini berdiri rapi dekat dengan Kuwu dan para tetua desa, diantara ratusan pasang mata, mata indah itu mengerjap berbeda seolah menyiratkan ketidaknyamanan. Senyumnya manis tapi hambar, tanpa disadari satu jepretan kamera ia ambil.
Sesekali Agah mencuri pandang pada Rashmi, bak gayung bersambut sang ibu Raden Ayu Kutamaya berbisik, "nanti sepulang dari sini kita silaturahmi dulu ke rumah Raden Amar Kertawidjaja."
Senyum itu tercetak begitu jelas mendengar angin segar yang dibawa sang ibu, seolah mengerti dengan dag dig dug derr hatinya sekarang, bahwa ia jatuh cinta pada anak gadis keluarga Kertawidjaja itu, *Mama---you are the best*!
Ditatapnya gadis yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama bertemu di acara pagelaran kesenian di Pendopo kantor bupati kabupaten Bandung 3 tahun silam, saat keluarga Kertawidjaja ikut hadir membawa serta gadis mereka yang masih duduk di bangku SMA itu.
Hingar bingar bernuansa adat priyangan diiringi musik dayak Krimun, tarinding, suling rando, tarawalet, dan suling kumbang dari su ku Baduy acara *ngadongdang par*é dimulai.
"Gilakkk, keren jaman gini masih ada kesenian begini!" decak kagum Veranita dengan tetap mengarahkan handycam-nya ke arah iring-iringan hasil bumi yang diarak menuju leuit indung, setelah sebelumnya para tetua kampung dan pak Kuwu melafalkan do'a pada Allah subhanahuwata'alla.
"Téh Nawang," salimnya pada kakak iparnya yang seorang dokter itu.
"Aduh! Tétéh sama aa telat ya?" wanita berjilbab warna gold ini nyengir kuda berdiri di belakang Rashmi, bersama sang suami dan anak lelaki mereka yang baru saja berusia 5 tahun.
"Dikit téh!" jawab Rashmi.
"Heem, si aa baru pulang ngajar atuh néng, ngga ada dosen pengganti jadinya ngga bisa ijin, mana anak-anaknya lagi pada riweuh ngurusin nilai!"
"Oh, ngga apa-apa atuh téh, da menurut Asmi mah acara ini ngga lebih penting!" ia memutar bola matanya.
Ibu satu anak ini mengusap kedua pundak lesu adik iparnya yang terbilang bersifat manja, keras kepala, egois, dan tak menyukai semua yang berbau pemahaman keluarganya sendiri, "jangan gitu atuh néng, ini teh budaya daerah yang hampir punah, harus dilestarikan sama kaum milenial kaya kamu. Jangan sampai tergerus sama budaya barat. Masa budaya ibu jadi tamu di rumah sendiri, hayoo?!" coleknya pada mahasiswi sastra dan budaya ini.
Puk! Sebuah tangan mendarat kasar di pundak Rashmi dan Nawang.
"Astagfirullah!" keduanya dikejutkan oleh suara perempuan lain yang menyusul, dialah Katresna, kakak ipar Rashmi yang kedua, "hay sist!" ia tergelak.
"Ini lagi 2in telat!" ujar Nawang.
"Iya, kang Candra mandinya lama! Mana lewat ke Pasteur teh meni macet ih!" jawabnya membenarkan posisi bros di dada, tampak berkilau meski bukan berlian 10 karat.
"Néng, mana Kelana?" amih yang melihat kedua menantunya datang bersama kedua putranya menghampiri.
"Amih," keduanya salim takzim.
"Kelana sama aa-- mih," jawab Nawang menunjuk suaminya Bajra tengah menggenggam tangan mungil putranya seraya bergabung dengan apih.
"Andhara mana, néng?" tanya amih lagi.
"Tuh! Sama bibinya," tunjuk Katresna pada Sasi yang menggandeng bocah perempuan 3,5 tahun dengan kebaya pinknya, sesekali keduanya tergelak hanyut dalam musik karinding.
Pandangan amih tertumbuk pada anak gadis pangais bungsu, sejak tadi wajahnya masam nan kecut kaya buah ciremai, "néng Asmi sakit?"
Rashmi menggeleng, bukankah harusnya amih tau jika Rashmi tak terlalu menyukai keadaan ini, oh ayolah! Keadaan dimana seolah-olah mereka kaum terpandang dan harus di hormati sebegitunya, berjajar di depan seperti pajangan lalu berjalan dengan dipayungi janur kuning melengkung layaknya manten kawinan sambil bawa-bawa perabot pusaka leluhur.
"Néng, amih mau ngomong sebentar!" matanya kini menajam, tentu saja maksud amih bicara itu bukan hanya 2 pasang mata saja, karena buktinya kini amih melanjutkan penghakimannya terhadap Rashmi di depan kedua kakak iparnya tanpa ampun.
"Lain kali yang sopan kalo lagi ngobrol sama Raden Mas Agah, nanti siang keluarga Raden Mas Harya Enjan Kusumadinata mau silaturahmi ke rumah. Kamu harus jaga sikap!" Rashmi tau setiap kata yang diucapkan disertai tatapan tegas mata sang ibu adalah perintah tak tertulis.
"Muhun amih," jawabnya setelah menelan saliva yang kosong di kerongkongan. Sepeninggal Sekar Taji, apakah ia bisa mengeluh pada bulan dan bintang? Atau mungkin kembali ia menelan dan membawanya ke dasar hati paling dalam? Saat kembali tata krama dan manut harus ia junjung tinggi.
"Sabar néng, tétéh tau amih cuma mau yang terbaik." Usap kedua kakak iparnya, berharap usapan itu dapat memberikan rasa tabah dan sabar.
"Emang kamu tadi ngapain gitu?" tanya Katresna.
"Asmi pamit ke toilet pas dia mau ngomong. Da males atuh teh, tema obrolannya paling ngga jauh-jauh dari mata kuliah, semua gelimang kemewahan sama.... cantik!"
Bwahahahaha!
Katresna langsung membekap mulut nyablaknya, takut jika amih kembali dan ia pun akan menerima kuliah 5 SKS sekali pertemuan.
.
.
.
.
Note :
*Saung \= gubuk
*Sampurasun (maaf, permisi)> *Hatur nuhun\= terimakasih *Ngadongdang\= memikul *pare \= padi *Riweuh\= sibuk. *Bengker mastaka\= ikat kepala * Da \=be like soalnya. * Sikep, Sentana \= kerabat priyai, tuan tanah. ***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
jumirah slavina
keq d'tv jaman dulu ada adegan keq gini Thor... inget Aku...
sampurasun... rampes...
inilah Indonesia ku...
kaya ragam bahasa...
I Love Indonesia 💞😍🥰
2025-01-17
4
Gupron Gupron
bahasanya kaga ngerti novel sampah
2024-11-18
0
lestari saja💕
asmi mungkin bukan ga suka budaya nya tapi ga suka ma aturan amihnya
2024-07-10
1