Malam itu terasa dingin di ruangan itu. Wikar mengenang masa-masa kecilnya dulu sebelum dia menjadi seperti sekarang ini.
(Di tahun yang tidak diketahui)
“Wikar! Bangun! Sudah waktunya beribadah! Teman-temanmu sudah menunggu!” Teriak seseorang dari luar kamar itu.
“Hmmmmm!” Jawab Wikar dari dalam kamar yang masih memeluk bantal guling kesayangannya.
“Cepat! Atau aku akan mencambukmu sepuluh kali seperti tempo hari!” Teriak orang itu lagi.
Kali ini mungkin orang itu sudah benar-benar geram. Dia mendobrak pintu yang diganjal oleh Wikar dengan sebuah kursi. Dengan satu kali tendangan, kursi yang digunakan untuk mengganjal pintu langsung melayang ke wajah Wikar yang masih bermalas-malasan diranjangnya.
Wikar pun langsung kaget dan seketika bangun dari ranjangnya. Dia meminta ampun kepada gurunya itu berkali-kali. Tapi gurunya tetap mencambuknya berkali-kali. Bahkan gurunya itu juga menambahkan sebuah tongkat ditangan kanannya.
Cambuk ditangan kanan, dan sebuah tongkat kayu ditangan kiri. Kombinasi yang sangat pas untuk memberi pelajaran kepada anak yang bandel seperti itu.
“Awww! Syekh! Tunggu! Tunggu! Tunggu! Aku baru saja akan bersiap!” Ucap Wikar dengan nada ketakutan.
“Sekarang!” Bentak gurunya dengan terus menerus memukulinya tanpa jeda sedetik pun.
“Syekh! Ah! Sakit! Ampun syekh! Ampun! Aku bisa mati kalau seperti ini terus!”
“Bagus kalau seperti itu! Aku akan merasa sangat beruntung jika pembawa sial di tempatku ini pergi untuk selama-lamanya!”
“Hah?! Guru pasti akan mendapatkan pelajaran dari ayahku! Dia seorang kepala suku!” Ucap Wikar mencoba menakuti gurunya.
Namun orang itu sama sekali tidak menghentikan pukulannya. Wikar mencoba menahan pukulan gurunya dengan kedua tangannya, tapi percuma saja. Karena pukulan itu benar-benar keras.
Yang dilakukan Wikar justru malah membua kedua tangannya menjadi sakit dan merah-merah.
“Haha! Kamu mengancamku?! Hei bocah nakal! Dengarkan baik-baik! Ayahmu yang sangat ditakuti itu menelantarkanmu di tempat ini karena dia sudah bosan denganmu! Dia tidak akan merasa bersedih atau pun kehilangan sekali pun aku menggantungmu di tempat ini! Paham?!”
Wikar ketakutan. Dia hanya bisa mengangguk dan menuruti kemauan gurunya. Sedikit demi sedikit dia berdiri untuk melakukan perintah dari gurunya.
“Sekarang lakukan perintahku! Cepat!” bentak gurunya.
Wikar yang masih kesakitan itu pun berlari keluar dari kamarnya menuju tempat ibadah. Di luar pintu ada Salim, sahabat Wikar yang sedang menunggunya. Itu adalah kebiasaan Salim setiap pagi, karena dia sama sekali tidak memiliki teman atau sahabat di tempat ini selain Wikar.
“Hey! Kenapa kamu masih disini?! Ayo cepat! Orang tua itu sedang menggila!” Ucap Wikar sembari menggandeng Salim sahabatnya.
Salim yang pendiam itu hanya mengikuti sahabatnya. Mereka berdua pun bersuci sebelum melakukan ibadah. Dan setelah sampai di tempat ibadah, disana sudah banyak sekali anak-anak lain yang sama-sama sedang menunggu guru mereka untuk menjadi imam.
Badan Wikar menggigil karena kedinginan. Ditambah lagi dia harus menahan perih disekujur tubuhnya. Sedangkan Salim sahabatnya, sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun. Kedinginan pun tidak. Karena Salim selalu patuh terhadap perintah siapa pun, terutama perintah dari gurunya.
Wikar semakin ketakutan ketika dia dipaksa harus berada di barisan paling depan, yang dimana dia tepat di belakang guruya. Wikar ketakutan melihat gurunya yang berbadan gahar dan bermata tajam itu. Seakan-akan mata itu terus menghantuinya kemana pun ia pergi.
Sekali pun yang Wikar lihat sekarang adalah punggungnya, tapi tetap saja orang itu menjadi momok menakutkan bagi wikar. Salah sedikit saja, Wikar pasti akan mendapatkan hukuman yang sangat berat untuk anak seumurannya.
Dengan masih terpaksa, Wikar pun mengikuti setiap yang dilakukan oleh gurunya saat melakukan ibadah. Namun perasaan takutnya mulai berubah ketika ibadah sudah selesai. Guru itu membalikkan badan menghadap murid-muridnya.
“Berdoalah sebisa kalian. Mintalah apa pun yang kalian inginkan. Dan jangan lupa untuk mendoakan keselamatan kalian dan kedua orang tua kalian.” Ucap guru itu.
Wikar pun berdoa sebisanya. Walau pun sebenarnya dia sama sekali tidak yakin dengan apa yang keluar dari mulutnya. Dalam doanya Wikar mengatakan,
“Tuhan. Jika engkau memang benar adanya, jadikan aku dan sahabatku Salim menjadi murid kesayangan dan kebanggaan guruku. Aku sudah tidak tahan dengan kekejamannya Tuhan. Mohon Tuhan, kabulkanlah doaku ini.”
Selesai berdoa, Wikar dan Salim pun mengaji bersama. Wikar banyak belajar dari Salim yang selalu tepat waktu mengikuti pembelajaran dari gurunya. Tidak seperti Wikar yang harus terus menerus dipukuli setiap kali akan memulai sesuatu.
“Hey Salim. Menurutmu, bagaimana kalau kita kabur saja? Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Kita diperlakukan seperti budak. Aku dipukuli setiap hari.” Ucap Wikar kepada Salim sahabatnya.
“Aku membangunkanmu setiap pagi. Dan aku mengunggumu di depan pintu kamarmu sampai kamu keluar. Tapi kamu sendiri justru menunggu untuk dipukuli. Apa yang kamu fikirkan Wikar?”
“Aku tidak terbiasa dengan semua ini. Lihatlah, setiap hari kita hanya mempelajari buku yang sama berulang-ulang. Sedangkan di tanah kelahiranku, aku berburu bersama ayahku, bertarung dengan suku lain, dan juga melakukan banyak hal menyenangkan di hutan.”
“Kalau begitu biasakanlah. Rubahlah kebiasaanmu. Lihat aku Wikar, walau pun aku bukan murid kesayangan guru, tapi guru tidak pernah satu kali pun menatap tajam ke arahku. Itu kesalahanmu sendiri. Bukan karena guru kita yang jahat.”
“Hmmmmm. Lalu aku harus bagaimana?”
“Patuhlah kepada guru. Dan semuanya akan berjalan baik-baik saja. Lihat anak-anak yang lain. Mereka semua aman-aman saja. Hanya kamu yang bermasalah di tempat ini.”
Wikar hanya diam mendengarkan ucapan sahabatnya. Biar bagaimana pun, setuju atau pun tidak, apa yang Salim ucapkan itu memang benar. Karena memang Wikarlah yang salah. Salim yang terkenal pendiam itu sebenarnya sudah geram dengan Wikar, karena pasti setiap ada masalah, Wikar akan menyeret Salim.
Walau pun guru mereka tidak pernah menghukum Salim, tapi tetap saja Salim yang akan menjadi sasaran pertanyaan dari murid lain dan juga gurunya. Selama di tempat ini, Salim sudah mengalami banyak perkembangan dalam dirinya. Dia sudah cukup lancar berkomunikasi, walau pun hanya dengan Wikar saja.
Salim juga sudah ceria dan tidak mudah murung lagi seperti dulu. Berbeda dengan Wikar yang selalu mengeluh setiap hari, Salim sendiri justru merasa nyaman tinggal di tempat ini. Sayangnya, Salim belum benar-benar bisa dianggap murid kesayangannya, karena sesekali pun dia terpancing dengan rayuan Wikar yang suka membuat masalah.
Dan beberapa kali Salim sempat mengikuti kemaun Wikar. Seperti mencuri jatah makanan, mengotori pakaian murid lain, dan juga beberapa kenakalan lain yang membuat kesabaran gurunya habis. Awal-awal memang gurunya memberi maaf, tetapi karena Wikar semakin menjadi, pada akhirnya gurunya pun menjadi geram dan dengan terpaksa harus melakukan tindakan tegas, bahkan terbilang sangat kejam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments