Zaenal sudah berdiri tak jauh dari Aisyah duduk.
"Kakak? Kakak itu yang dari mana, justru aku yang gak pernah lihat Kakak di rumah," ujar Aisyah.
"Bukan urusan kamu," sahut Zaenal seraya membuang muka.
"Ya sudah, kenapa juga pakai tanya aku dari mana," cibir Aisyah.
Kemudian Zaenal menatap sengit kepada Aisyah, "bagi duit."
"Duit terus yang dipikir," ketus Aisyah.
"Udah deh, kalo dimintain duit tuh langsung kasih, gak usah ngomong macem-macem," ujar Zaenal tak kalah ketusnya.
Karena enggan berdebat lebih detail lagi, Aisyah segera berjalan masuk ke kamar dan kembali lagi memberikan selembar uang seratus ribu kepada Zaenal.
Zaenal menerima uang itu dengan senyum smirk. "Nah, gitu dong, itu baru namanya adik teladan."
Aisyah tidak menyahut ucapan kakaknya, dia langsung masuk ke kamarnya.
'Kak Zae nggak boleh tahu tentang pekerjaanku, apalagi gajiku,' batinnya.
Aisyah pun merasakan kantuk yang berat pada matanya, dia pun memejamkan matanya hingga terlelap dalam tidurnya.
****
Keesokan hari, Aisyah sudah rapi dengan pakaian muslimnya. Hari itu dia berencana akan membawa ibunya berobat ke rumah sakit, karena Aisyah yakin kalau dia sudah memiliki cukup uang untuk biaya pengobatan ibunya.
Aisyah pun berjalan ke kamar ibunya. Betapa terkejutnya dia, karena mendapati ibunya tergeletak tak sadarkan diri, di lantai. Sepertinya wanita paruh baya itu terjatuh dari kasur. Aisyah segera berlari menghampiri ibunya.
"Ibu! Ibu kenapa? Maafin aku, Bu. Harusnya dari kemarin-kemarin aku bawa Ibu ke rumah sakit." Aisyah berteriak histeris. Dia sengaja merahasiakan, kalau dirinya bekerja sebagai wanita malam yang melayani lelaki hidung belang di dalam kamar hotel. Dia tidak ingin ibunya tahu akan hal itu. Khawatir penyakit ibunya akan bertambah parah.
Aisyah pun memapah tubuh Bu Sri ke jalan besar. Beruntungnya, pada saat yang bersamaan, lewatlah sebuah taxi. Aisyah menyetop taxi tersebut, dan menyuruhnya mengantar ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya, Aisyah turun sambil memapah ibunya. Kemudian membayar ongkos taxi.
"Makasih, Pak," ucap Aisyah kemudian berjalan menuju rumah sakit sambil memapah ibunya, karena dia tak kuat menggendong wanita paruh baya berpawakan tinggi gemuk itu. Sedangkan tubuh Aisyah begitu langsing.
Sampai di dalam, seorang suster segera menyambut Aisyah dan ibunya. Melihat kondisi Bu Sri, suster tersebut segera berlari mengambil brankar pasien.
Kini Bu Sri telah berada di ruang UGD. Aisyah menunggu di luar ruangan, karena dokter akan memeriksa ibunya.
Dua jam kemudian, sang dokter keluar dan menghampiri Aisyah.
Aisyah yang menyadari kedatangan sang dokter, segera menyambutnya. "Dok, bagaimana keadaan ibu saya, sebenarnya dia sakit apa?"
Maaf, Nona, jantung ibu anda sudah tidak bekerja secara optimal, jadi harus dilakukan cangkok jantung, atau transplantasi jantung dan menggantinya dengan jantung baru dari pendonor. Dan biayanya tidak sedikit," jelas dokter tersebut.
"Kalau boleh tahu, biaya cangkok jantung itu, kira-kira berapa ya?" tanya Aisyah ragu.
"Sekitar dua puluh miliar, tapi itu sudah termasuk biaya lain-lainnya."
Kedua bola mata Aisyah membulat seketika mendengar jumlah biaya yang dikatakan oleh dokter tersebut.
'Ya Tuhan, cobaan apa ini? Kenapa berat sekali.' Aisyah mengeluh dalam hati. Dia menunduk lesu.
Dokter itu menepuk lembut pundak Aisyah, seolah mengetahui apa yang kini tengah gadis itu rasakan.
"Nona, saya bisa merasakan, apa yang anda rasakan sekarang. Saya memaklumi keadaan anda. Maaf, saya tidak dapat membantu anda dalam masalah biaya, karna saya di sini juga bekerja, dan tidak mempunyai kuasa apa-apa. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik buat anda, semoga rejeki anda dipermudah."
Akhirnya, tumpahlah juga bulir-bulir bening yang sedari tadi Aisyah tahan. Gadis itu benar-benar terpukul dengan kejadian yang dia hadapi.
"Saya hanya bisa membantu anda, dengan melakukan operasi pencangkokan jantung sesegera mungkin, supaya ibu anda terselamatkan. Dan kebetulan kemarin ada pasien korban kecelakaan yang meninggal dunia, keluarga dari korban itu mengijinkan organ tubuh dari pasien yang meninggal itu, untuk didonorkan kepada orang yang membutuhkan. Nah, masalah biaya, Nona bisa membayarnya kapan pun, kalau Nona sudah mendapatkan uang," lanjut sang dokter.
Aisyah merasa sedikit lega dengan keringanan yang diberikan oleh dokter itu. Walaupun gadis itu tetap saja bingung harus mencari uang tambahan kemana lagi, untuk biaya operasi ibunya. Akan tetapi, setidaknya dia merasa tenang karena ibunya akan dioperasi secepatnya.
"Baiklah, Dok, terimakasih," ucap Aisyah lemas.
"Ya sudah, saya tinggal dulu." Dokter itu segera berlalu dari hadapan Aisyah.
Dengan gontai, Aisyah menyeret langkahnya masuk ke ruang rawat ibunya. Dia menatap wajah pucat Bu Sri, yang terbaring lemah.
'Kemana aku harus mencari uang miliran itu, Bu? Pinjam tetangga, aku tidak yakin mereka akan memberi. Satu juta saja, aku tidak tahu apa mereka mau kasih, apalagi dengan jumlah miliaran ....'
Aisyah membatin, pipinya telah basah oleh air mata. Dia tidak tahu lagi, harus mencari uang kemana, untuk melunasi biaya pengobatan ibunya. Sedangkan uang dua juta lima ratus untuk mengganti kerugian yang Zaenal perbuat, pun belum Aisyah kasih ke Ali.
'huft, yang dua juta lima ratus saja, aku belum sempat kasih ke Ali. Tapi nanti aku akan menemui Ali, untuk memberikan uang itu. Hanya sedikit saja. Kalau biaya pengobatan ibu banyak sekali, jadi aku akan mengumpulkan lagi,' batin Aisyah.
Aisyah terus berpikir, bagaimana cara mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat.
"Gimana ini, aku setiap dua hari sekali hanya mendapat uang lima juga dari Om Hassan. Terus, berapa lama aku bisa mengumpulkan uang sebanyak dua puluh miliar? Mana mungkin aku pinjam ke Om Hassan segitu banyak, malu ah. Nanti dikira aku memanfaatkan kebaikan dia, aku tidak mau dianggap seperti itu,' batin gadis itu lagi.
Lama Aisyah menatap ibunya yang terbaring pucat, kemudian dia pun berpamitan kepada dokter untuk pulang.
Sampai di rumah, Aisyah menjatuhkan tubuhnya di kursi kayu yang sudah reyot. Gadis itu tampak sedang berpikir.
"Sepertinya aku tidak jadi beli sofa, biaya pengobatan ibu lebih penting. Memang sih, dokter bilang boleh dibayar kapan pun, tapi aku tetap tidak tenang. Aku ingin bisa langsung membayar lunas biaya rumah sakit itu, karna kalau ditunda-tunda itu sama aja aku berhutang sama orang. Dan aku paling tidak suka punya hutang," racau Aisyah.
Gadis itu tampak putus asa, ingin rasanya dia mengakhiri hidup jika tak ingat bahwa ada seorang ibu yang harus dia selamatkan nyawanya. Di saat yang sulit itu, Aisyah harus rela mengubur impiannya yang ingin seperti Tini. Bisa membeli barang-barang mewah, kendaraan termahal dan lain sebagainya.
"Ya Tuhan, berikanlah aku jalan keluar untuk masalah ini. Berilah juga aku petunjuk-Mu." Aisyah berdoa memohon kepada yang ESA.
"Kak Zae kemana sih? Itu orang kok jarang di rumah. Mending kalau kerja, lah ini keluyuran nggak jelas. Bukannya aku sok peduli sama dia, tapi aku hanya takut, kalau dia berulah lagi, dan disuruh mengganti rugi lagi, huft." Aisyah meracau lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments