"Jadi begini, sebelumnya saya minta maaf, Zae harus mengganti kerugian sebesar dua juta lima ratus ribu, untuk membeli kaca rumah saya, beserta biaya pengobatan adik saya. Itu pun sudah saya kasih keringanan. Dan harga yang saya sebutkan, harga kaca rumah yang paling murah," tutur Ali.
Aisyah terkesiap, kedua bola matanya pun membulat seketika. "A-apa? Du-dua juta lima ratus?" gagapnya.
'ya Tuhan ... dari mana saya mendapatkan uang sebanyak itu? Sedangkan gaji saya setiap bulannya saja, hanya lima ratus ribu,' batin Aisyah.
Ali tersenyum berat. "Syah, uangnya bisa dicicil, kok. Dan saya menyuruh Zae yang ganti rugi, bukan kamu."
'iya, tapi Kak Zae sudah tidak bekerja lagi, tentu saja ini akan menjadi tanggung jawabku,' batin Aisyah menurunkan pandangannya.
"Syah?" panggil Ali lirih.
Aisyah terkesiap, "eh, i-iya, Mas. Nanti saya sampaikan ke kakak saya."
"Baiklah, terimakasih atas waktunya. Kalau begitu, saya permisi dulu," pamit Ali.
Aisyah mengangguk, kemudian Ali berlalu dari hadapan Aisyah.
Aisyah menjatuhkan tubuhnya di atas kursi. Gadis itu tampak sedang berpikir.
'aku harus mengganti kerugian yang dibuat Kak Zae," batin Aisyah.
Namun Aisyah tidak tahu, harus mendapatkan uang itu dari mana. Tanpa sadar, bulir bening menetes membasahi pipi mulusnya. Pikirannya kini, dia harus mencari pekerjaan dengan gaji besar dalam waktu singkat.
Aisyah tampak putus asa, ingin rasanya dia mengakhiri hidup jika tak ingat bahwa ada seorang ibu yang harus dia rawat. Di saat yang sulit itu, justru Zaenal, anak tertua dalam keluarga itu selalu mencari masalah.
'ya Tuhan, berikanlah aku jalan keluar untuk masalah ini. Berilah juga aku petunjuk-Mu.' Aisyah berdoa dalam hati memohon kepada yang ESA.
'Kerja apa, ya? Aku hanya punya ijazah SMP. Di toko, mana mungkin? Gaji kecil, dan satu bulan baru bisa didapatkan. Di kantor jadi cleaning servis, pun gaji minim. Masa iya, baru kerja sudah hutang ... di pabrik juga nggak mungkin langsung dapat gaji jutaan. Huft, kenapa berat sekali cobaan hidupku,' Aisyah terus meracau dalam hati.
Lama Aisyah termenung, seketika dia teringat dengan Tini, temannya yang putus sekolah dan bekerja di tempat karaoke.
'Apa aku ikut Tini kerja saja, ya? Walaupun satu minggu aku belum bisa mendapatkan dua juta lina ratus ribu, tapi paling enggak aku bisa menyicil uang kerugian ke Mas Ali, daripada tidak sama sekali. Setelah itu, baru pelan-pelan aku akan mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan ibuku,' batin Aisyah.
'Tapi ....'
Aisyah mendadak bimbang. 'Kerja malam?'
Gadis itu dapat membayangkan, betapa tidak baiknya pekerjaan itu. Seorang wanita bekerja malam sampai pagi, pasti penilaian orang sangatlah buruk. Namun, dia harus menghilangkan egonya, kesehatan ibunya lebih penting. Aisyah tidak ingin ibunya terkena dampak buruk karena mengkonsumsi obat warung yang terjual bebas, dalam jangka panjang. Bulir-bulir bening kembali berjatuhan membasahi pipi Aisyah.
Dengan cepat, Aisyah segera menghapus pipinya yang basah, dengan telapak tangannya. Kemudian dia berpamitan kepada ibunya hendak ke rumah temannya.
Aisyah berjalan kaki menuju kos Tini, yang cukup jauh dari rumahnya. "Semoga Tini belum berangkat kerja. Kalau nggak salah, dia berangkat jam sembilan malam, dan ini masih sore," lirihnya.
Empat puluh lima menit kemudian, Aisyah tiba di depan kos Tini. Aisyah mengetuk pintu, dan tak lama keluarlah gadis seusia dirinya. Dia menatap lekat ke arah Aisyah.
"Kamu, Syah?"
"Tin ...."
Mereka berdua berbincang sejenak, kemudian Tini menyuruh Aisyah untuk masuk. Kini mereka berdua duduk bersebelahan di bibir ranjang.
"Tin, apa tempat kerja kamu, masih ada lowongan?" tanya Aisyah tanpa basa-basi.
"Masih, Syah," jawab Tini tenang. "Apa kamu mau ikut aku kerja?" lanjutnya.
Aisyah terdiam sebentar, menahan air mata yang hampir menetes, hingga akhirnya dia menceritakan permasalahan yang sedang dihadapinya.
"Ya ampun, kok tega banget sih kakak kamu itu," kata Tini menatap Aisyah dengan iba.
Aisyah menghela napas, "ya gitu deh, dia itu seenaknya sendiri."
"Apa kamu udah mantep, mau ikut aku kerja?" tanya Tini kembali memastikan.
Aisyah tertunduk, air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya menganak sungai, membanjiri wajah cantiknya. Dia pun terisak lirih, namun dapat didengar oleh Tini.
Tini pun merangkul sahabatnya itu, kemudian mengusap lembut punggungnya.
"Aku bisa ngerasain, apa yang kamu rasain saat ini. Nanti malem, kamu bisa ikut aku, nanti aku kenalin sama mami ku. Em, memang kerjaan ini bayarannya lumayan besar, daripada kerja di pabrik, toko, dan kerjaan lainnya. Kamu jangan kecil hati, aku tau niat kamu mulia."
Setelah mendengar ucapan Tini, Aisyah merasa tenang. "Oke, nanti malem aku kesini lagi."
Kemudian Aisyah pulang ke rumahnya. Sampai di rumah, Aisyah masuk ke dalam kamarnya. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran minimalis. Pikirannya menerawang ke mana-mana.
"Haruskah aku bekerja di tempat seperti itu?" Aisyah merasa ragu.
"Lupakan semua itu, Syah. Ibu kamu sedang berjuang untuk bertahan hidup!" kata suara hati Aisyah.
Aisyah mempertimbangkan kembali niatnya, untuk
bekerja di dunia malam. Namun untuk saat itu, hanya itulah jalan yang terbuka untuk Aisyah menyelamatkan ekonomi keluarga.
'Bu, sepertinya aku memang harus kalah saat ini. Maafin aku, bu, untuk keputusan yang aku ambil. Aku terpaksa melakukan ini semua, karna nggak mungkin aku berdiam diri, sementara ibu menahan sakit tiap hari. Aku harus melakukan sesuatu, supaya semua masalah teratasi.' Aisyah membatin sambil menyeka kasar air matanya, yang terus berjatuhan di pipinya.
Aisyah membulatkan tekadnya untuk terjun di dunia malam ....
Tanpa sadar, Aisyah tertidur karena merasa lelah berperang dengan pikirannya.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aisyah terbangun dari tidurnya, dia melirik jam dinding. "Astaga! Sudah malam," gumamnya setengah berseru.
Asiyah beranjak dari tempat tidurnya, kemudian menyuapi ibunya dengan nasi goreng. Karena Aisyah tidak masak. Dia hanya memanfaatkan sisa nasi yang ada.
"Bu, maaf ya ... aku hanya menggoreng nasi sisa, itu pun tidak pakai telur," kata Aisyah.
"Tidak apa-apa, ini sudah lumayan, Daripada tidak bisa makan," lirih Bu Sri.
Ucapan ibunya terasa menyayat hati Aisyah ....
"Oh iya, Bu, mulai nanti malam aku kerja dengan temanku, berangkat jam sembilan malam, pulangnya subuh," ucap Aisyah dengan nada berat.
"Kamu pindah kerja?" Bu Sri mengerutkan keningnya.
"Iya, Bu, besok siang aku akan pamit dengan pemilik kantin," sahut Aisyah.
"Memangnya, kerja apa, kok malam sampai pagi?" tanya Bu Sri sedikit curiga.
Aisyah menghela napas. "Bu, Ibu jangan mikir yang macam-macam, ya. Aku kerja biar Ibu bisa berobat ke rumah sakit, dan dikasih obat dari dokter langsung. Aku ingin Ibu sehat lagi."
Bu Sri pun mengangguk pasrah. "Tapi kamu janji, kamu harus bisa jaga diri. Apa pun kerjaan kamu, ibu percaya kamu anak baik, dan tidak mungkin menyimpang."
Aisyah hanya tersenyum menatap ibunya, dia sendiri pun belum paham bagaimana pekerjaannya nanti.
Selesai menyuapi ibunya, Aisyah bergegas menuju kamar mandi. Setelah menunaikan ritual mandinya, Aisyah masuk ke dalam kamar. Gadis itu membuka lemari pakaian, dan memilah baju yang sekiranya pantas dipakai bekerja nanti.
Lama Aisyah memilah-milah baju dalam lemari, namun tidak ada yang cocok.
"Duh, aku nggak punya baju bagus. Semua sudah usang," keluhnya.
Aisyah kembali termenung. Dia benar-benar merutuki nasibnya yang malang. Bahkan baju yang layak untuk dipakai untuk bekerja saja, dia tak punya.
Gadis itu tampak bingung, "gimana ini?" lirihnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Jhulie
siap kak heehe.. makasih dah mampir
2023-05-26
2
JW🦅MA
manusia memang wajib bisa apapun pekerjaan itu
di jalani dengan iklas ya Aisyah
2023-05-25
2