Aisyah pun merebahkan tubuhnya di atas kasur, dia mengingat kembali kenangan-kenangan indah bersama ayahnya sewaktu masih hidup, hingga tanpa disadari gadis itu tertidur.
Dan sayup-sayup terdengarlah adzan ashar berkumandang ....
Aisyah membuka mata perlahan, dia mendudukkan tubuhnya di atas kasur. "Ya Allah, aku ketiduran," lirihnya.
Tiba-tiba Aisyah merasakan sesuatu pada pipinya. Dia pun meraba pipi tirusnya yang basah karena menangis tadi. Aisyah cepat-cepat mengusap pipinya yang basah. "Nggak, aku nggak boleh sedih, kasihan ayah nanti ikut sedih juga, ayah sudah tenang di alam sana," lirihnya.
Aisyah pun berjalan keluar dari kamarnya. Dia melirik pada jam dinding yang menempel di tembok ruang tengah.
"Jam tiga lebih, sebaiknya aku siap-siap untuk masak," lirihnya seraya berjalan ke dapur.
Di dapur Aisyah mulai berkutat dengan peralatan masak. Saat itu dia hendak memasak sayur bayam dan tempe goreng. Jangan lupakan juga sambal goreng pedas manis.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam petang. Bersamaan dengan itu, Aisyah telah selesai memasak. Dia segera menyeduh tiga gelas teh manis dan menyiapkan roti yang dia dapat dari kantin di atas meja.
Setelah itu, Aisyah mencuci peralatan masak yang kotor. Selesai berkutat di dapur, Aisyah pun segera menuju kamar sang Ibu untuk menyeka badan dan mengganti pakaian ibunya itu, karena ibunya memang belum bisa terkena air.
Setelah itu, Aisyah segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah
Kini Aisyah telah berpenampilan rapi, dengan baju usangnya, dan juga kerudung yang membalut kepalanya. Walaupun pakaian Aisyah terlihat kumal, tapi tidak menutupi kecantikan gadis tersebut.
Tak terasa adzan maghrib berkumandang ....
"Alhamdulilah, puasa ke lima ini berjalan lancar," gumam Aisyah seraya berjalan ke kamar ibunya.
"Ibu, aku ambilkan makan ya," kata Aisyah kepada Bu Sri yang terbaring lemah di atas kasur.
"Iya, Nak, kalau kamu capek, nanti saja," sahut Bu Sri.
"Capek kenapa, Bu? Tidak, kok." Aisyah segera berjalan keluar kamar menuju dapur. Kemudian kembali lagi membawa sepiring nasi yang sudah di campur sayur dan juga lauknya.
Dengan sabar, Aisyah menyuapi Bu Sri. Setelah selesai menyuapi ibunya, Aisyah menyuruh Bu Sri minum obat.
"Ya sudah, Ibu istirahat lagi ya, aku mau buka dulu," kata Aisyah.
"Lho, kamu ini gimana, Nak. Jadi kamu belum membatalkan puasa kamu, malah nyuapin ibu?" ujar Bu Sri.
Aisyah pun tersenyum. "Aku sudah membatalkan puasa dengan minum air putih, dan membaca basmalah."
"Ibu minta maaf, ya. Sekarang bisanya cuma merepotkan kamu saja," sesal Bu Sri.
"Bu, aku tidak mau dengar Ibu berbicara seperti itu lagi. Jangan suka menyalahkan diri sendiri, tidak baik," tutur Aisyah.
Bu Sri benar-benar terharu mendengarnya, dia sangat bersyukur memiliki anak gadis semulia Aisyah.
"Ya sudah, kamu buka dulu sana," titah Bu Sri.
"Baik, Bu." Aisyah segera keluar kamar dan menuju dapur. Dia mengambil piring dan mengisinya dengan nasi, kemudian duduk menghadap masakannya.
Sedang asik berbuka, tiba-tiba datang Zaenal. "Eh, kamu masak apaan, Syah? Aku laper nih."
Aisyah menoleh ke arah Zaenal. Seketika aroma alkohol menguar dari mulut Zaenal.
"Astagfirullah, Kak, kakak minum minuman keras, ya? Kak, ini bulan puasa, gak baik, Kak," ujar Aisyah.
"Ah cerewet kamu, cepet siapin makanan buat aku," titah Zaenal.
"Kak, Kakak kan sehat, ambil sendiri, dong. Kecuali Kakak sakit parah, baru minta diladeni," tolak Aisyah.
Zaenal segera berlalu dari hadapan Aisyah. "Kamu itu jangan suka melawan orang yang lebih tua. Cepet ambilkan makan sekarang juga, dan buatin teh manis, gak pake lama!" seru Zaenal sambil terus berjalan, dia duduk di ruang tengah dan menghidupkan televisi.
Aisyah hanya menggelengkan kepala, sambil mengelus dada. Tak lama dia menghampiri Zaenal, dengan membawakan piring berisi nasi dan sayur serta lauknya. Jangan lupakan teh manisnya.
"Ini, Kak, makannya."
Zaenal menerima makanan dari Aisyah. Dia mengerutkan keningnya melihat makanan tersebut.
"Apaan ini? Kamu pikir aku sapi, dikasih makan daun beginian?" ketus Zaenal.
Aisyah menatap lekat wajah Zaenal. "Kak, ini tuh sayur bayem, bergizi, kak."
"Tapi lebih bergizi daging ayam. Kamu itu, tiap hari masaknya cuma sayur, tahu tempe, masak yang enak-enak, dong," ujar Zaenal tak mau kalah.
"Kak, aku juga maunya masak yang enak-enak. Tapi ekonomi kita pas-pasan, jadi menyesuaikan dong. Lagian Kakak juga nggak pernah kasih aku uang, sementara gajiku cuma pas-pasan buat makan kita bertiga setiap harinya, aku mau beli baju sama kerudung baru saja, mikir-mikir. Takut nggak cukup buat nyambung hidup." Aisyah berbicara panjang lebar.
"Lah, kan kamu tau sendiri, kalo aku dipecat dari kerjaan, ini semua gara-gara kamu juga, kok," bantah Zaenal.
"Tapi kemarin-kemarin, waktu Kakak masih kerja, Kakak emang gak pernah bantu-bantu untuk kebutuhan rumah," kata Aisyah.
"Udah diem, berisik ngomong terus dari tadi, sekarang beliin aku bakso, aku udah gak selera makan nasi!" bentak Zaenal.
Karena tak ingin berdebat lagi, Aisyah pun menuruti perintah kakaknya. Dia segera keluar rumah dengan naik sepeda bututnya, mencari penjual bakso.
Sementara di dalam kamar ....
"Uhuk ... uhuk ...."
Terdengar suara Bu Sri terbatuk.
'Ya Allah, berilah hamba kesehatan, sembuhkan penyakit hamba, supaya hamba dapat ikut bekerja, supaya anak-anak hamba tidak bertengkar lagi masalah keuangan,' batin Bu Sri yang dengan jelas mendengar perdebatan kedua anaknya itu.
Bu Sri hanya bisa menangis dalam hati, dia tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi melerai kedua anaknya yang selalu berselisih, dikarenakan kondisi badannya yang sangat lemah.
Dan beberapa lama kemudian, Aisyah datang dan menghampiri Zaenal. "Ini baksonya."
Zaenal menoleh ke arah Aisyah. "Ya taro di mangkok lah, masa aku makan pake plastiknya, gimana sih kamu?"
Aisyah menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan kasar. Kemudian dia berjalan ke dapur dan memindahkan basko yang dia beli ke dalam mangkuk. Kemudian memberikannya kepada Zaenal. Gadis itu tidak ingin berdebat dengan kakaknya, mengingat kondisi ibunya.
Kemudian Zaenal melahap semangkuk bakso yang masih mengepul. "Nah gini dari tadi, baru namanya adik berbakti," gumam Zaenal lirih.
Sementara Aisyah melanjutkan berbuka puasa yang telah tertunda. Nasi dalam piring yang tinggal separuh sudah melar, karena lama terendam kuah bayam. Dan sayuran pun sudah dingin. Namun Aisyah tetap melahap makanan itu dengan lahap.
'Alhamdulilah, terimakasih untuk nikmat yang Kau berikan, ya Allah. Aku masih bisa makan setiap hari,' batin Aisyah.
Selesai makan, Aisyah kembali menghampiri Zaenal. "Kak, ayo kita teraweh," ajaknya.
"Teraweh? Sejak kapan? Gak ah, kamu aja sendiri, aku mau nonton tivi," tolak Zaenal tanpa menoleh ke arah Aisyah. Netranya tertuju pada televisi yang masih menyala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
〈⎳ HIATUS
Sumpah ya greget banget sama Zainal mau aku kasih sianida boleh nggak?
2023-07-14
0
Roselia Dufan
yaampun kasian banget ibunya, syedihhh
2023-07-14
0
Roselia Dufan
Apaansih, galak banget sama adiknya, moga tobat
2023-07-14
0