Bab 15. Berdebat dengan Papa

Papa Baskoro yang melihat anaknya tidak juga patuh dan terus membangkang menjadi murka saat anak kandungnya tidak peduli sama sekali dengan kehadirannya.

“Galang!” teriak Papa Baskoro dengan suara yang lantang hingga sang istri menolehkan kepalanya dan terpejam cukup terkejut dengan teriakan tersebut. “Berhenti sekarang juga! Jangan berani kamu melangkah satu langkah pun keluar dari rumah ini!” teriak Papa Baskoro dengan nada yang tegas.

Galang pun terpaksa menghentikan langkah kakinya. “Terus? Kalau aku keluar, apa kalian mau hapus aku dari daftar warisan? Ck, itu pun kalau namaku ada di sana,” ucap Galang dengan tawa mengejek, tawa pedih, dan sikap pasrah yang dia miliki sejak lama.

“Apa maksud kamu, Nak? Galang, apa yang kamu bicarakan? Tolong dengarkan Papa kamu sebentar ya,” ujar Mami Laras mendekat dan menahan tangan Galang, tetapi segera Galang menepiskan tangan itu dengan cukup kasar sehingga wanita tersebut mengaduh. Padahal tidak sekeras itu untuk merasakan sakit.

“Galang!” teriak Baskoro sekali lagi.

"Apa sih!" jawab Galang semakin kesal karena ditahan terus.

“Tetap dirumah! Jangan buat Papamu ini terus menerus malu. Akan ada yang datang dan menemui kamu,” ucap Papa Baskoro. Galang membalikkan tubuhnya dan melihat pada sang ayah dengan tatapan yang tajam.

“Aku nggak peduli sama sekali. Bukannya anak Papa hanya Galih? Kenapa ngotot tahan aku? Ck, nggak penting banget!” Galang hanya bisa menatap sang Papa yang terlihat kecewa, tetapi amarahnya masih belum bisa disembunyikan.

“Tapi kamu anak kandungku, kamu pewarisku, Galang!” seru Papa Baskoro. Namun terdengar menyombongkan diri bagi Galang. Dia pun tertawa, dia tidak habis pikir dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya soal anak.

“Sejak kapan aku jadi urusan Papa? Bukannya sedari dulu Papa udah nggak peduli lagi soal aku? Aku nggak pernah Papa anggap sebagai anak, bukan?” tanya Galang masih dengan nada meremehkan. Sebenarnya hatinya cukup sesak untuk menahan dan berlama-lama di hadapan sang Papa.

“Papa peduli karena semua yang Papa lakukan demi kebaikan masa depan kamu. Kamu harus menikah dengan Sherly! Keluarganya akan datang untuk makan malam bersama nanti,” ujar Baskoro.

"Menikah? Ck, menikah hanya untuk kebahagiaan segelintir orang? Cih. Menyebalkan!" gumam Galang. “Oh ya … masa depanku atau masa depan perusahaan Papa?” tanya Galang dengan tatapan sinis.

“Nggak, Galang. Bukan begitu! Tapi Papa kamu memang sedang berusaha untuk melakukan yang terbaik buat kamu. Papa kamu sangat peduli sama kamu, Galang. Jangan kamu salah sangka seperti itu, Nak. Serly gadis yang sangat baik juga santun. Dia bahkan langsung setuju saat perjodohan ini direncanakan.” Mami Laras ikut angkat bicara.

“Terserah! Kebaikan untukku, tapi kalian juga mengambil sebuah keuntungan dari sana, kan?” ujar Galang. Mami Laras menggelengkan kepala, sementara Papa Baskoro menatap Galang dengan marah. Menghadapi dan merayu anak bandel itu tidaklah mudah, maka dia juga harus sedikit memaksa Galang agar bisa menurut kepadanya.

“Pokoknya Papa nggak mau tau, kamu harus mau menikah dengan Sherly, anak kedua dari Aji Pangestu! Kamu tau kan, mereka orang yang baik. Papa juga ingin kamu menjadi anak yang baik, Galang,” ujar Papa Baskoro hampir meninggikan suaranya.

“Aku sudah cukup baik untuk diriku sendiri! Maaf, Pa, Galang nggak mau dijodohkan sama wanita yang Papa mau. Aku menolak keras karena aku punya kehidupan aku sendiri! Galih saja yang suruh nikah duluan, usia jelas lebih tua dari aku,” ujar Galang sambil pergi dari hadapan Papa Baskoro dan Mami Laras..

“Galang!” teriak Papa Baskoro, tetapi Galang tidak mendengarkan, dia tetap pergi dengan membawa tasnya dan keluar dari rumah tersebut. Galang tidak lagi menoleh, dia pergi dari rumah tersebut.

“Pa, papa gimana ini? Galang pergi, Pa!” ucap mami Laras sambil menggoyang-goyangkan tangan sang suami. Baskoro menyuruh istrinya untuk tetap bersikap tenang lewat sorot mata. Dia yakin jika Galang pasti akan kembali lagi.

“Tapi, Pa … kalau dia nggak kembali juga?” tanya Laras khawatir.

"Kita bicarakan nanti aja, Ma. Aku sakit kepala," kata Baskoro berlalu menuju kamarnya. Laras pun hanya mengekor mengikuti langkah kaki sang suami. Masih ada waktu beberapa jam menuju makan malam. Mereka berdua berharap mendapatkan keajaiban Galang kembali ke rumah.

...***...

Menjelang magrib, Galang menghentikan taksi yang membawanya di sebuah masjid yang sudah cukup jauh dari perumahan elit sang Papa. Galang bahkan lupa memberikan kabar pada Uma Siti kalau dia sudah tiba di rumah dengan selamat dan esok akan kembali ke rumah ustadz Jefri.

Galang mengambil secarik kertas yang ada di saku celana dan mengambil ponsel miliknya lalu menekan tombol panggilan. Sayangnya panggilan itu tidak terhubung sama sekali padahal Galang sudah melakukan beberapa kali panggilan.

"Apa nomornya salah? Tapi Uma sendiri yang nulis," gumam Galang yang kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.

Sebenarnya ada banyak pesan yang masuk saat itu, tetapi Galang memilih untuk cuek karena malas. Andai itu pesan dari Airin yang sedang khawatir padanya, mungkin Galang akan segera membaca pesan-pesan masuk itu.

"Ya Allah … apa ini jalan yang terbaik untuk hamba? Apa yang hamba lakukan ini sudah benar?" batin Galang menatap ke langit yang berwarna jingga.

Suara shalawat menjelang adzan magrib begitu merdu menggema hingga ke luar masjid dan menyadarkan Galang dari lamunannya.

"Astaghfirullah." Galang hanya bisa menghela napas mengingat bagaimana perdebatannya dengan sang Papa yang bahkan tidak peduli sama sekali dengan luka-luka di tubuhnya. Bukan hanya sekali, Galang beristighfar beberapa kali sampai merasa hatinya cukup tenang.

"Bahkan tanya keadaanku dan bertanya kenapa banyak luka aja enggak sama sekali, Papa macam apa sih dia? Apa aku benar-benar udah nggak penting lagi, ck." Galang beranjak setelah adzan magrib mulai berkumandang dan mengambil air wudhu.

"Dari mana, Mas?" tanya seorang bapak-bapak yang juga baru saja mengambil air wudhu. Galang tersenyum.

"Oh, dari rumah aja, Pak," jawab Galang dengan ramahnya sambil terus berjalan menuju pintu masuk.

"Saya kira dari jauh, soalnya bawa tas ransel gede gitu. Mau cari kerja ya, Mas? Susah emang zaman sekarang cari kerja," tutur bapak itu lagi.

"Cari jati diri, Pak. Di rumah kayak di penjara. Mari masuk, Pak!" jawab Galang yang langsung masuk ke dalam masjid dan meletakkan tas ranselnya di sisi menyandar pada dinding. Dia malas membahas urusan papanya.

Galang hanya duduk menyila dan tertunduk seraya beristighfar kembali. Hatinya masih terluka, tetapi dia sangat yakin setelah hari ini, lukanya akan terobati bersama keluarga ustadz Jefri.

Tidak lama kemudian, imam masjid pun memulai ibadah sholat magrib tersebut dan Galang menjalankan sholat dengan sangat khusyuk.

........

Terpopuler

Comments

T. zherina j....

T. zherina j....

kok blm up up siih thorrr

2023-05-21

0

T. zherina j....

T. zherina j....

lanjut thor .....
semangat💪💪✊👍👍😊😊

2023-05-19

0

🌷💚SITI.R💚🌷

🌷💚SITI.R💚🌷

ya Allah..semoga Allah mudahkn niat galang menilah sm airin..dan tdk trjadi apa2 sm kel airin..lanjuuut thoor

2023-05-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!