Baru Di Mulai

Chiang Mai, Thailand

Han memeluk erat Natalie, mereka berada di Chiang Mai International Airport. Setelah melalui drama pembujukan hampir sebulan, akhirnya Natalie luluh, membiarkan sang putra pergi ke Surabaya. Dengan dalih menyelesaikan masalah hotel mereka yang ada di sana. Setelah itu pulang, begitu rencananya. Natalie dan Pasha tidak tahu tujuan sebenar Han terbang ke Surabaya.

"Jaga diri. Menurutku dia juga ada di sana. Raja Iblis itu." Han sedikit terkejut mendengar perkataan sang paman, saat pria itu memeluknya. Han berjalan di samping dua orang tuanya yang mengantar sampai ke pintu boarding pass. Sang paman hanya melambaikan tangan dari kejauhan.

"Apa yang kuminta sudah Phoo siapkan?" tanya Han. Dengan tangannya sibuk menghalau tangan Natalie yang membenarkan jaket Han.

"Maae, aku bukan bayi lagi. Aku pergi, silahkan kalian lembur, siapa tahu aku ACC soal adikku." Natalie mengeplak lengan Han. Sudah tidak mau disentuh, sekarang bicara ngawur lagi.

"Sudah, nanti di Juanda yang njemput namanya Nanto, Ananto. Anaknya asisten papa dulu."

"Jawa asli dong Phoo."

"Yo begitulah." Pasha menepuk pelan bahu Han. Untuk pertama kalinya, 19 tahun umur Han, pemuda itu bepergian sendiri ke tempat yang belum pernah dia jajaki.

"Hati-hati ya Han." Si mama yang biasanya kocak sekarang menjadi melow, wanita itu berkali-kali mengusap air matanya.

"Iihh Maae kok jadi cengeng sih, nanti gak dapat baby secantik Fern Nopjira lo." Bujuk Han. Pemuda itu tahu kalau mamanya tergila-gila dengan aktris lakorn yang bernama Fern Nopjira.

"Kalau bilang dia cantik, mau ya dijodohin sama dia. Maae punya nomor telepon managernya." Wajah Natalie berubah sumringah mendengar nama Fern disebut.

"Kagak mau. Han maunya sama Han So Hee." Balas Han cepat. Natalie dan Pasha melongo mendengar jawaban Han. Dari mana Han tahu soal Han So Hee. Ya tahulah, kan wajahnya Irish seperti wajah aktris Korea itu.

"Kok begitu?"

"Kan Maae punya darah Korea to, ya sudah Han pengen yang wajahnya kek dia. Titik. Bye, Han pergi dulu." Han berlari cepat masuk ke pintu boarding. Mengabaikan tatapan tidak percaya dari Pasha dan Natalie. "Seneng amat pisah sama kita. Huwwaaaaa...." Natalie mewek setelah Han melambaikan tangan sebelum benar-benar hilang di balik kaca pembatas ruang tunggu.

"Percayalah, dia akan baik-baik sana. Aku akan memantau dari sini." Somchai menenangkan Natalie saat mereka sudah berada dalam mobil Pasha, pulang ke Wihara Longchan.

*

*

Surabaya, Indonesia

Setelah duduk di pesawat selama lebih kurang 7 jam, burung besi yang Han tumpangi sampai juga di bandara besar kotq Surabaya. Setelah menyelesaikan proses check out dan mengambil bagasi kecilnya. Han berjalan menuju pintu keluar. Di mana barisan penjemput sudah menunggu. Han melambaikan tangannya pada seorang pria dengan aksen lokal yang kental, memegang satu kertas besar bertuliskan namanya.

"Ananto Pramudya?" tanya Han ramah sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Di mana si Ananto malah terdiam, terkesima melihat betapa tampannya tuan yang harus dia layani sekarang.

"Oh iya. Dengan tuan Yohan Aditya?" Han mengangguk. Memakai jaket berhodie dengan kaos putih sebagai innernya dan celana jeans, serta sneakers berwarna putih, warna favoritnya, membuat tampilan begitu mencolok di tengah keramaian itu.

Kredit Pinterest.com

Setelah yakin itu Ananto, asisten untuknya. Han memakai hodie, lalu memasang kaca matanya. Pemuda itu lantas mengikuti langkah Ananto menuju mobil mereka.

"Yang kuminta apa sudah disiapkan?" Tanya Han sembari mengirim pesan pada orang tuanya.

"Sudah tuan." Jawab Nanto.

"Bisa tidak jangan manggil tuan. Perasaan tua-an kamu deh."

"Lah terus suruh manggil apa?"

"Ya terserah, yang jangan tuan. Nanti mereka curiga sama saya." Han mulai menikmati pemandangan kota Surabaya yang terlihat dari jendela mobilnya. Menurut Han, udara Surabaya lebih kurang dengan Chiang Mai. Jadi dia tidak akan kesulitan untuk beradaptasi dengan cuaca kota itu.

Han tampak menikmati suasana kota itu, sesekali bergidik saat merasakan hawa negatif mendekatinya. "Gak di sana, gak di sini ada aja yang mendekat." Gumam Han dalam hati.

Beberapa menit berlalu, mobil Nanto mulai masuk ke hotel milik keluarga Han. Shine Hotel. Sesuai permintaan Han, pria itu akan tinggal di lantai 13, lantai yang diisukan berhantu, hingga membuat hotel Shine mengalami penurunan tingkat hunian.

"Kamar 1301, atas nama Yohan Aditya." Han berkata pada resepsionis dengan name tag Rani. Wajah Rani sedikit terkejut, meski kemudian Rani buru-buru membuat ekspresi wajah ramah. "Welcome manner-nya bagus." Batin Han, sambil matanya menelisik tiap sudut hotel tersebut.

Menurut Han ada beberapa design interior yang perlu diubah. Agar suasana lebih segar dan memanjakan mata para pengunjung hotel. Juga soal uniform staf yang sudah agak ketinggalan dengan hotel lain yang sempat Han kepoin sebelum terbang ke sini.

Banyak staf yang memandang aneh pada Han, saat pria itu keluar di lantai 13. "Dia masih waras kan? Masak dia mau tinggal di sana. Idihhhh serem." Bisik-bisik seorang cleaning service. Dia pikir Han tidak paham arti bahasa yang orang itu gunakan. Han hanya tersenyum tipis menanggapinya. Namun Han tidak menggubris omongan cleaning service itu.

Melangkah perlahan menuju kamarnya. Han tidak merasakan apapun. Hingga dia membuka kamarnya, satu kelebatan sosok hitam melintas. Lagi-lagi Han tidak ambil pusing soal itu. Yang penting dia ingin segera merebahkan diri di kasur. Besoklah dia akan mulai misinya. Dia ingin tidur sekarang.

Han membuka tirai kamarnya, terlihatlah pemandangan kota yang terhampar nyata di depannya. Lebih kurang kota Chiang Mai, padat bangunan. Hanya saja kalau Chiang Mai banyak wihara. Di Surabaya penuh dengan gedung perkantoran. Sampai mata Han menangkat satu bangunan yang terlihat dari tempatnya berdiri. "Aditama Grup." Gumam Han. Bibir pemuda itu melengkung membentuk sebuah senyuman. Teringat bibir manis Irish yang sudah dia kecup.

"He...he...tuan Aditama, jodoh putrimu sudah datang." Kekeh Han, sebelum pria itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Satu lemari penuh dengan pakaian ganti sudah Nanto siapkan. Koper kecil Han berisi pakaian dalam pria itu. Hal yang satu itu Han yang mengurusnya sendiri.

Bruukkkkk, bunyi tubuh Han yang beradu dengan kasur empuk. Pria itu sesaat memandang langit-langit kamar hotelnya. Dua tangannya dia gunakan sebagai bantal kepala. Mata Han terpejam, namun sisi lain dari dirinya sudah berkelana mengelilingi hotel miliknya. Hingga pria itu membuka matanya kembali.

"Jadi bukan di lantai ini biang keroknya. Tapi lantai lain." Gumam Han lirih. Pria itu kali ini benar-benar tidur. Membiarkan energi spiritualnya melindungi. Hingga beberapa jiwa yang mendekatinya hanya bisa menatap penuh minat pada Han tanpa bisa menyentuhnya.

Di sisi lain Isaac tersenyum, merasakan aura Han yang terasa dekat. Isaac menduga kalau pemuda itu ada di kota ini. "Irish.......!!" Isaac berteriak kesal karena Irish melintas cepat tanpa memakai apapun.

"Sorry Kak, lupa bath rope ketinggalan." Balas Irish santai. Isaac mendengus kesal. Pantas saja Raja Iblis sering memonitor adiknya. Bukan hanya raja iblis sih. Banyak jiwa mesum yang kerap mengintip Irish, sebab kelakuan Irish kadang kelewat santai kalau sudah di kamar. Tidak peduli bahkan jika itu ada dirinya

"Ampun deh. Tolong to ya dijaga. Kakak laki-laki tahu....."

"Masak iya kakak mau makan Irish. Makan noohh Meli." Meli mendelik ke arah dua beradik kembar beda dunia itu. Wanita hantu itu sedang melihat TV. "Jangan bawa-bawa aku dalam pertengkaran intern kalian." Meli menyahut santai. Meli kalau tidak ada kerjaan akan nongki di kamar Irish. Kadang keluar kamar menggoda Ivan. Satu hal yang membuat Irish geleng-geleng kepala. Pasalnya, Ivan sama sekali tidak tahu menahu soal hantu. Hingga remaja 18 tahun sering berteriak ketakutan saat Meli mengganggunya.

"Jangan gangguin Ivan lagi. Dia ketakutan tu." Ancam Irish.

"Habis lucu sih, I. Mana ganteng lagi adikmu itu."

"Hei, yang kau kejar sebetulnya siapa. Kakakku atau adikku?"

"Yo jelas kakakmu to. Kan kita sudah satu dunia. Silaturahmi sama calon adek ipar masak gak boleh."

"No....kalau berani silaturahmi sama papa." Tantang Isaac, kesal diuber terus sama Meli.

"Gak ah, papa Lendra tampangnya serem." Irish dan Isaac terkekeh tertahan mendengar jawaban Meli. Lendra lebih ke tegas sih sebenarnya. Dengan Livia yang tetap menjadi sosok yang penuh kasih sayang.

Satu kelebatan lewat, Isaac dan Meli seketika saling tatap. Hingga keduanya menghilang dari hadapan Irish. "Gini ni kalo besti-an sama hantu. Tahu-tahu aja hilang ditinggal pergi."

Gadis itu mendudukkan diri di sofa bed kamarnya. Tak berapa lama, mata gadis itu terpejam. Satu sihir sirep mengenai Irish. Gadis itu tidur hanya memaki gaun tidur tipis.

Tanpa Irish tahu, satu sosok hitam muncul di depan Irish. Sosok itu menyingkirkan array pelindung kehijauan yang melingkupi Irish. "Kau ini benar-benar membuatku marah. Tapi aku tetap tidak bisa membalasmu." Jemari sosok itu menyentuh wajah cantik Irish, mengusapnya lembut.

Semakin lama sosok itu semakin terpana pada diri Irish. Satu wujud yang sudah menawan hati penguasa dunia kegelapan sejak gadis itu berusia enam tahun.

Diavolo muncul di kamar Irish, setelah mengecoh Isaac dan Meli. Raja Iblis itu kini tengah memandang wajah dan tubuh Irish yang begitu menggoda. Ribuan kali bercinta dengan ribuan gadis yang berbeda, tak juga membuat niat Diavolo surut dalam menginginkan Irish untuk menjadi ratunya.

Bagi Diavolo, tubuh Irislah yang nantinya akan memberinya kepuasan yang paling dia cari dalam berhubungan intim. "Aku sangat menginginkanmu, Ai." Bibir Diavolo mulai menyentuh bibir Irish, saat tanda di dahi Irish bersinar dan melempar tubuh Diavolo menjauh.

"Sial! Siapa sebenarnya yang sudah menandaimu?" Marah Diavolo. Sampai sekarang Raja Iblis itu belum bisa menemukan mate Irish. Satu jiwa yang kini selalu menjaga Irish dari sentuhan makhluk tak kasat mata yang berniat buruk pada gadis itu.

"Siapapun dia. Dia akan mati di tanganku. Berani sekali, meletakkan tangan pada gadis yang sudah aku tandai."

Kuku panjang Diavolo menyentuh tanda di kening Irish. Menusuknya, hingga Han di kamarnya langsung terbangun. Merasakan sakit di ulu hatinya.

"Sial! Dia mulai mencariku!" Gumam Han kesal. Dua jiwa dengan kemurnian yang berbeda, memperebutkan satu jiwa dengan kemurnian tanpa batas. Takdir yang sesungguhnya baru di mulai.

****

Up lagi readers.

Jangan lupa tinggalkan jejak. Terima kasih.

****

Terpopuler

Comments

Agustina Dewi

Agustina Dewi

makin dibaca makin menarik

2024-04-10

2

A R

A R

aduhhhhh irishhh 😭😭😭

2023-05-11

1

Damar Pawitra IG@anns_indri

Damar Pawitra IG@anns_indri

kreji up bund

2023-05-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!