Dewa Penolong

Han memulai misinya dengan menjelajahi lantai tempatnya tinggal. Semalam tidur di kamarnya, dia sama sekali tidak mendapat gangguan. Tentu saja, dia memasang array pelindung untuk dirinya sendiri. Jadi para makhluk tak kasat mata itu tidak bisa menjangkaunya.

Setelah sarapan dengan menu khas kota Surabaya yang membuat Han geleng-geleng kepala. "An, ini gak tenggelam?" Han bertanya konyol pada asistennya. Melihat semangkok lontong sayur dengan kuah meluber kemana-mana saking banyaknya. Hingga menenggelamkan lontong bersama teman-temannya.

"Aduh Mas, belum pernah makan itu ya. Itu memang begitu. Lontongnya kan tawar, gak ada rasanya. Karena itu makannya pakai kuah. Semua rasa berasal dari kuahnya. Gurih sedap gitu deh. Coba deh." Nanto yang dipanggil An oleh Han itu rupanya orang yang supel, cepat bergaul. Baru kemarin mereka bertemu dan sekarang mereka sudah akrab. Meski Nanto lebih tua tiga tahun, tapi pria itu mau memanggil Mas pada Han. Demi menghormati Han sebagai atasannya. Han oke-oke saja, dari pada dipanggil tuan. Mending Mas, yang artinya lebih kurang kak, bang.

"Ya belumlah." Balas Han sambil mencoba lontongnya.

"Aku pikir Ibu sering masak menu sini. Ibu kan dulu tinggal di sini sebelum nikah sama bapak Elajar.

"Maaee gak pintar masak. Pinternya ngedumel. Ngomel."

Hassayyiiingg, Natalie bersin di tengah sesi perawatan yang dia jalani. "Asemmmm, anak gantengku mesti lagi ngomongin aku. Dia pasti bilang aku tukang ngomel." Wanita itu menggerutu tidak karuan. Dia tidak bisa melakukan apa-apa karena wajahnya tengan dimasker. Retak, bisa berabe nanti. Perawatan mahalnya bisa gagal total gara-gara Han.

"Maee siapa Mas. Bukannya ibu namanya Natalie." An kepo.

"Maae, basa Thailandnya Mama." Sahut Han. An membulatkan bibirnya, paham kalau Maae sebutan untuk Natalie. Han nampak manggut-manggut. Lidahnya bisa menerima rasa gurih dari kuah lontong tersebut. Pagi itu mereka sarapan sambil bertukar cerita soal banyak hal.

*

*

"Kamu yakin ini tempatnya?" Han bertanya pada Nanto saat asistennya membuka satu kamar di lantai 13 yang berseberangan dengan kamarnya. Nanto mengangguk. Lantas pria itu mulai menceritakan, ada beberapa orang yang melihat penampakan di sini.

"Itu kata mereka lo. Saya tidak tahu. Soalnya saya belum pernah lihat, eh amit-amit jangan sampai melihat sama diliatin." Han tertawa melihat Nanto yang ternyata penakut.

"Tapi mulai sekarang kamu harus mulai terbiasa. Karena mereka suka denganku." Sahut Han enteng.

"Ha? Maksudnya?" Han berhenti tertawa melihat raut pucat Nanto. Di tambah ada hawa makhluk yang semakin mendekat ke arah Han dan Nanto. Tapi mereka bukan penyebab rumor ini. Mereka hanya jiwa yang kebetulan lewat dan tertarik dengan aura Han, seperti biasa. Di samping Han, Nanto semakin merapatkan tubuhnya pada si atasan. Bulu kuduknya berdiri semua. Dengan badan terasa panas dingin.

"Kau bisa merasakan mereka?" tanya Han.

"Mereka... maksudnya hantu Mas?" Han mengangguk. Hingga mengalirlah cerita dari Nanto, kalau waktu kecil dia sebenarnya bisa melihat hal-hal seperti itu. Namun dia tidak kuat, hingga sering menangis histeris dan ujung-ujungnya pingsan kalau melihat yang begituan. Oleh karena itu mata batin Nanto ditutup untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Yang sekarang terjadi adalah tubuh Nanto menjadi lebih sensitif dengan keberadaan makhluk-makhluk itu.

"Gak penasaran sama rupa mereka?" Goda Han. Pemuda itu menyusuri ruang demi ruang. Mencari penghuni tetap kamar itu. Hingga Han menemukan satu di atas lemari.

"Malah nongki di situ. Turun, kalau nggak pergi. Bikin takut orang saja."

Nanto mendelik mendengar ucapan Han. Pria itu mengikuti arah pandang Han, detik berikutnya seluruh tubuh Nanto menegang. Dia tahu makhluk itu ada di sana. "Mas...mas...bisa lihat hantu juga? Masnya indigo?" Tanya Nanto dengan tubuh gemetaran. Sungguh dia kini membayangkan rupa mengerikan sosok yang masih duduk ongkang-ongkang kaki di atas almari.

"Sekarang sih gak bisa. Cuma tahu dia ada di sana, terus bentuknya gimana. Seremmm....."

"Stop mas, stop. Nanti malam saya gak berani tidur sendirian kalau gini ceritanya." Han ngakak brutal melihat ekpresi ketakutan Nanto. Body tinggi besar seperti Dedy Corbuzier, tapi nyalinya setipis tisu.

Tawa Han berhenti saat sosok itu melayang turun ingin menyerang Han. Pemuda itu mendorong tubuh Nanto agar menjauh darinya. Hanya menggunakan instingnya, Han menahan kuku runcing makhluk dengan wujud menyeramkan itu. Wajah tampan Han kontras dengan rupa mengerikan sosok tersebut. Wajah dengan kulit terkelupas, mata merah menyala, jangan lupa bau busuk yang menyengat. Han seketika merasa mual. Ingin muntah. Belum pernah bertemu jiwa dengan aroma setajam ini.

"Hantu sini pada nggak pernah mandi apa ya?" Gurau Han, sambil mendorong mundur makhluk itu. Nanto melongo mendengar ucapan Han. Apa Han baru saja mendapat serangan dari makhluk tak kasat itu.

"Hei mbaknya, masih siang juga jangan bikin gara-gara dong. Boleh numpang tinggal di sini. Tapi jangan ganggu mereka. Tempat ini punya saya. Saya bisa ngusir mbak kalau saya mau. Saya menang waris." Han menekan tiap perkataannya agar jiwa itu mengerti.

Si hantu menggeram marah. Sepertinya dia tidak terima dengan ucapan Han, makhkuk itu menyerang kembali. Kali ini Han tidak mau memberi toleransi. Mengurusi satu hantu hanya akan menghabiskan waktunya saja. Sementara akar permasalahannya juga belum ketemu.

"Nggak mau nurut sama saya berarti tak kirim pulang lo ya." Han menyentuh gelang naganya. Kilatan mata Han berubah hijau. Pemuda itu menarik satu garis lurus di depan wajahnya dan "craaassshh" pedang hijau Han menembus tubuh makhluk tidak kasat mata yang hampir menyentuh tubuh Han.

"Aku tidak memberi tawaran dua kali." Tubuh makhluk itu menghilang dalam gumpalan asap setelah sebelumnya terbakar dalam bara api kehijauan.

Bruuukkkkk

"Mak oi dia malah pingsan." Seru Han setelah menghilangkan pedang miliknya sekaligus menutup kembali mata batinnya. Pemuda itu melihat Nanto yang ambruk bersandar di tembok.

"Ini peringatan untuk kalian semua. Sebarkan pada yang lain. Aku Yohan Aditya Elajar pemilik tempat ini, tuan dari tanah ini telah kembali."

Seru Han pada ruang kosong itu. Kosong bagi yang tidak bisa melihat, tapi bagi Han dia mampu merasakan beberapa sosok yang kini menatap ketakutan padanya.

*

*

"Mas....mas, mau ke mana sih? Kok seneng bener?" Nanto mengikuti langkah ringan Han, keluar dari kamarnya. Nanto sebenarnya bekerja sebagai wakil Dirut yang sementara ini dipegang oleh pria bernama Yuda Irawan. Pria yang diduga Han menjadi biang kerok dari semua kekacauan ini. Han mengira kalau Yuda sengaja menyebarkan rumor soal adanya hantu di hotel Shine, tujuannya apa? Nanti kita cari tahu.

Kembali pada Han yang masuk ke dalam taksi, diiringi tatapan cemas dari Nanto. Tuannya itu baru pertama kali keluar dari hotel sendirian. Nanto ingin ikut, tapi Han mencegah. Takutnya Yuda curiga soal kemunculannya.

Kedatangan Han memang dirahasiakan oleh Nanto. Han ingin menyelidiki keadaan hotelnya diam-diam. Pria itu curiga banyak hal yang berjalan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Namun itu akan dia urus nanti. Sekarang ada hal penting yang harus dia lakukan.

Bibir Han tersenyum manis saat mengingat hal yang akan dia kerjakan. Pria itu menikmati pemandangan kota Surabaya yang menurutnya lain dengan Chiang Mai. Sampai taksi pemuda itu masuk ke kawasan industri, ke satu tempat yang ingin dia tuju.

"Kok sepi?" Gumam Han.

"Libur to mas hari Minggu." Si supir taksi menyahut. Han seketika menepuk dahinya pelan. Lupa kalau sekarang hari libur.

"Terus ini gimana Mas? Mau putar balik atau...."

"Tunggu deh Pak." Han memejamkan mata, dia seperti merasakan aura yang dia kenal. "Isaaaccc....." Han berlari keluar dari taksinya, setelah menyerahkan dua lembar uang ratusan ribu pada si supir.

"Mas...kebanyakan!" teriak si supir.

"Ambil aja, Pak!"

"Alhamdulillah, rezeki dari orang ganteng. Semoga masnya tambah ganteng." Si supir taksi berlalu sambil cekikikan sendiri.

Sementara itu Han melompati pagar untuk masuk ke tempat tersebut. Instingnya menuntun Han ke gudang paling belakang pabrik itu. Han menerobos masuk ke sebuah ruangan yang suram juga gelap. Kontras dengan terangnya matahari di luar sana. Suasana di tempat itu layaknya malam tanpa bintang.

"Isaacc...." Panggil Han. Pemuda itu menajamkan indera perasanya. Beberapa sosok mulai berkeliaran di sekitar Han. Namun bukan itu yang Han cari.

"Minggir! Jangan menghalangi jalanku!" Han menebaskan tangannya hingga sinar hijau menerangi ruangan itu. Saat itulah, dia melihat sosok Isaac terkapar di lantai. Lemah, keadaan Isaac sangat lemah.

"Hei, bangun! Apa yang terjadi denganmu?!" Isaac perlahan membuka mata. Senyum pria itu terlihat samar. Sungguh, melihat Han seolah dewa penolong sudah dikirim padanya.

"Meli...tidak...Irish...tolong mereka." Kata Isaac terbata. Kepanikan seketika melanda Han. Irish, di mana dia. Apa Raja Iblis kembali membawanya?

"Bukan...bukan Diavolo yang membawanya tapi jiwa Beno yang dimanfaatkan oleh iblis lain."

Han terdiam. Apalagi ini? Siapa Beno? Kenapa dia membawa Irish dan siapa lagi itu, Meli. Sandal ya, masak sandal di bawa iblis saja Isaac cemas setengah mati. Han heran dengan apa yang dia hadapi sekarang.

****

Up lagi ya readers.

Jangan lupa tinggalkan jejak. Terima kasih.

****

Terpopuler

Comments

May Saroh

May Saroh

Han, kocak.. 🤣🤣

2023-11-02

1

Damar Pawitra IG@anns_indri

Damar Pawitra IG@anns_indri

woelaaah Han ....

2023-05-12

1

Damar Pawitra IG@anns_indri

Damar Pawitra IG@anns_indri

wohooo jangan, aku ntar diabetes kalau Han tambah ganteng

2023-05-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!