Telah dua puluh lima menit berlalu. Khaisan baru keluar dari kamar untuk menyelipkan shalat isya. Namun, tidak nampak juga Cut Ha di depan televisi. Sofa lebar itu masih kosong tanpa penghuni yang biasanya.
"Apa nonamu juga belum keluar, Mariah??" tanya Khaisan pada Mariah yang nampak mengantuk dalam rebahnya. Televisi itu sudah mulai menonton onggokan tubuh Mariah yang berselimut. Mariah mendongak terkejut.
"Eh, belum nampak keluar juga itu dia, pengawal Khaisan!" sahut Mariah. Kini telah meloncat bangun dan duduk.
Ceklerk!
Khaisan dan Mariah bersamaan menoleh ke arah pintu kamar Cut Ha.
"Mariah!" seru Cut Ha dari dalam kamar yang hanya suara saja terdengar. Wanita itu tidak nampak menyembul keluar. Khaisan bergegas mendekati kamar dan disusul oleh Mariah.
"Kenapa tidak keluar, kenapa nona Cut Ha panggil saya?!" tanya Mariah cepat.
Mariah telah berdiri di pintu dengan Khaisan di belakangnya. Cu Ha berdiri di dalam dan kini bisa terlihat sosoknya.
"Mariah, masuklah. Tutuplah pintunya," ucap Cut Ha dengan lirih. Namun, Khaisan bisa mendengar gemetar suaranya sebelum pintu kamar benar-benar ditutup oleh Mariah.
Khaisan menjauhi kamar Cut Ha. Berdiri di depan kamarnya sendiri dan menyandar punggung di dinding. Mengeluarkan ponsel dan menyimak layar beningnya. Sang bodyguard sedang mencari barangkali ada dokter umum yang praktek malam-malam seperti ini.
Pintu kamar di seberang sedang dibuka dan Khaisan segera mendekati. Namun, hanya Mariah yang muncul dan menutup pintu lagi buru-buru. Lalu menyambar lengan kemeja Khaisan dan menariknya agak jauh dari pintu kamar.
"Ada apa Mariah??" tanya Khaisan dengan menghentikan tarikan Mariah. Mereka berdua telah berdiri di ujung kamar Cut Ha.
"Nona Cut Ha, sakit itu lukanya. Dia minta aku tukar perban, takut aku. Pergi panggil dokter, pengawal Khaisan!" Mariah berkata sangat panik.
Khaisan tidak lagi berkata-kata. Segera berbalik dan berjalan mendekati pintu kamar. Lalu menyelip masuk di pintu yang tidak dikunci. Cut Ha sedang tidur tengkurap dengan selimut rapat sebatas leher. Mungkin Mariah yang telah menyelimuti dengan rapi.
"Cut, apa kamu merasa lukamu sakit dan meradang? Mana obat terakhir yang kemarin diberi dokter Pooh Long?" tanya Khaisan dengan sedikit membungkuk.
"Pengawal Khaisan, kenapa kamu masuk ke dalam kamarku?? Mana Mariah??" sahut Cut Ha yang lirih terdengar.
"Di mana kamu letak obatmu??" tanya Khaisan kembali. Abai dengan protes Cut Ha padanya.
"Di atas laci, tapi aku sudah meminumnya tadi. Jangan suruh aku minum lagi," sahut Cut Ha lirih. Masih tanpa gerakan dengan tidur yang terus tengkurap.
Khaisan segera menyapukan mata mencari keberadaan laci di kamar. Sebuah meja yang tersusun banyak laci ada di pojok kamar. Khaisan segera mendekati dan memeriksa meja laci. Menyambar obat itu dan memeriksanya. Kemudian meletaknya lagi dengan kasar dan berjalan mendekati ranjang Cut Ha.
"Sejak pergi kontrol, ini sudah tiga hari. Bermakna kamu hanya minum obat dua kali saja? Itupun dengan yang baru saja tadi? Pukul beraba kamu minum tadi, Cut?" tanya Khaisan dengan menahan ekspresi geramnya.
Tidak menyangka jika Cut Ha benar-benar ceroboh dan cenderung tidak peduli. Tapi bagaimana wanita itu bisa sukses dengan usahanya? Khaisan merasa sangat heran.
"Aku lupa," sahut Cut Ha dengan menggerakkan kepalanya.
"Bangunlah cepat, Cut. Aku akan membawa kamu ke rumah sakit besar Nagoya," Khaisan berkata tegas di tepi ranjang. Menenggelamkan rasa cemas hatinya.
"Tidak, aku tidak mau. Besok saja ke tempat Pooh Long," sahut Cut Ha bersikeras.
"Apa kamu punya kapas?" tanya Khaisan dengan cepat.
"Belanjaku siang tadi kamu letak mana? Ada di sana," jelas Cut Ha dengan suara yang kecil. Wanita itu sedang menahan rasa sakit.
Khaisan telah melesat ke garasi. Mengambil barang belanja Cut Ha dari bagasi mobil yang lupa tidak dibawa ke dalam. Lalu diletaknya di lantai ruang televisi dengan diambilnya kapas untuk dibawa ke kamar Cut Ha.
"Akan kulihat lukamu, bangunlah," ucap Khaisan yang kemudian menjauh dari ranjang.
Khaisan pergi cepat ke kamarnya, mengambil kotak obat miliknya yang selalu dia bawa saat tugas. Pekerjaan yang digeluti, tidak menutup kemungkinan jika dirinya akan terluka kapan saja.
"Bangunlah, Cut Ha," ucap Khaisan lagi. Cut Ha masih tidur tengkurap saat dirinya kembali ke dalam kamar.
"Jika kubersihkan dengan tengkurap, lukamu yang kadaluarsa itu takutnya masuk ke pembuluh darah bersama cairan pembersih. Bangunlah," ucap Khaisan menjelaskan.
Cut Ha nampak bergerak, namun terlihat susah untuk bangun. Merasa tidak sabar dengan kelambanan yang dilihat, Khaisan menyelipkan tangan ke dada Cut Ha dengan cepat. Berniat membantunya bangun dan duduk dengan baik.
Tangan Cut Ha mencengkeram lemah tangan Khaisan tiba-tiba. Namun juga mengendur perlahan dengan sendirinya.
"Hanya kubantu bangun, Cut. Kamu tanggung jawabku. Tolong, mudahkan tugasku. Kamu hanya perlu merasa percaya," ucap Khaisan membujuk menenangkan.
Cut Ha kemudian mengangguk samar. Khaisan merasa lega dan segera menggunakan tenaganya untuk mendudukkan Cut Ha.
"Kamu tidak memakai baju?" tanya Khaisan dengan nada yang biasa. Meski ekspresi wajahnya baru saja terkejut.
"Mariah sempat melepasnya. Tapi justru lari keluar dan tidak kembali," jawab Cut Ha dengan sangat lirih dan tersendat. Tidak ada daya raganya. Bahkan untuk menunjukkan rasa malu dan harga dirinya sekalipun.
Khaisan menghirup nafas dalam sebelum menarik Cut Ha agar duduk. Kulitnya sangat halus namun terasa begitu panas.
"Pegangi selimut ini," ucap Khaisan. Selimut di punggung Cut Ha telah ditarik ke depan agar menutupi area dada dan perut. Yang disambut erat oleh Cut Ha. Kakinya masih bercelana tidur yang panjang.
"Tahan sakitnya, Cut," ucap Khaisan dengan serak.
Perban basah oleh darah itu telah dilepasnya dengan hati-hati namun cepat. Bau air NaCL 0,9% atau juga saline, samar-samar tercium di ruangan. Khaisan menggunakan air infus untuk membersihkan luka basah menganga itu dengan kapas. Punggung dan tangan Cut Ha nampak tegang dan kaku. Khaisan menduga jika Cut Ha sedang menahan sakit dalam bungkam.
"Inimu kulepas saja, Cut. Aku kesusahan membersihkan. Perbanku juga lebih lebar dari perban dokter Pooh Long," ucap Khaisan dengan tenang. Meski rasanya agak segan. Cut Ha hanya mengangguk lemah dan pasrah. Raganya sudah seperti tiada daya dengan jiwa yang terasa akan terbang.
Tali pengaman dada telah terlepas pengaitnya. Dengan menahan rasa tegang nyalinya, disibak ke tepi tali itu. Kini, Khaisan merasa lebih mudah untuk kembali membersihkan, hingga merasa benar-benar jadi bersih.
"Kamu tidurlah tengkurap lagi, Cut. Sehabis kutukar perban, kamu tetap akan kubawa ke rumah sakit. Keadaanmu mencemaskan," ujar Khaisan. Sadar dengan kondisi Cut Ha yang sedang demam tinggi.
Khaisan memandang sekeliling dan menyambar handuk lebar yang dibentang. Punggung indah itu telah rapi ditutupinya dengan handuk. Khaisan kembali melesat keluar kamar dan menjumpai Mariah yang duduk siaga di sofa.
"Mariah, apa ada yang bisa di makan, nonamu?" tanya Khaisan pada Mariah yang segera berdiri.
"Aku buatkan bubur nasi, bagaimana??" tanya Mariah nampak resah.
"Terlalu lama, ada yang lain Mariah??" tanya Khaisan lagi.
"Pisang ada, alpukat ada," jawab Mariah cepat namun merasa ragu.
"Bagus Mariah, kupaskan alpukat saja," sahut Khaisan dengan lega.
Khaisan ingat jika Cut Ha sempat membeli buah alpukat saat berbelanja dengan Velingga di swalayan. Mungkin Mariah lah yang telah membeli pisang.
"Mariah, jika sudah, antar irisan alpukat itu ke kamar nonamu!" Khaisan berpesan pada Mariah sebelum kembali ke dalam kamar Cut Ha.
Tangannya sedang membawa air hangat di mangkuk. Khaisan akan mengompres luka itu terlebih dulu, sebelum kemudian diperban tempel olehnya.
🕸🕸🍓🍓🕸🍎🍎🕸🕸
🍓🍓🕸🕸🍎🍎🕸🕸
Terimakasih untuk kakak2 readers yang udah nyantolin votenya...
Yang belum jangan lupa.. 🙏😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
orchid
besok pagi up lg thor... penasaran seru ini..
2023-05-09
0
Sarah Kareem
lanjut kak.. tambah seru ni..
2023-05-08
0