Ruang keluarga yang nyaman dan lapang itu terasa hening meski ada beberapa orang yang sedang duduk di sofa untuk berdiskusi.
Khaisan tampak tidak sabar dan terbit ekspresi gerah di wajah tampannya. Lalu berdiri tiba-tiba sambil memandang orang tua lelaki dari Cut Ha.
"Sebelum pergi dari rumahmu, kuberi peluang untuk kalian satu kali saja, pak Latif." Khaisan sambil bergeser menjauhi kursi dan memilih benar-benar berdiri bebas di ruangan. Bersikap seolah siaga sebagaimana profesinya yang seorang bodyguard berkelas.
"Peluang?" sambut ayah Cut Ha yang asli berdarah Aceh dengan nama Jodi Latif.
"Benar. Anda bisa membayarku untuk setengah semester sekalian dengan kukurangi seratus dollar tiap bulan dari tarif dasarku," jelas Khaisan dengan raut enggan yang jelas terlihat di wajahnya.
"Ambil saja, Pa. Nanti papa tidak akan direspon baik lagi oleh agency pengawal di Masjid Besar. Papa akan lambat mendapat pelayanan kawalan jika sewaktu-waktu terdesak perlu," sela Cut Ha dengan cepat sambil berdiri. Wanita itu berlalu melewati Khaisan dengan pandangan lurus bersama langkah kakinya yang cepat. Tanpa melirikkan mata sedikit pun pada sang bodyguard, calon pengawal dirinya yang sedang siaga berdiri.
"Pengawal Khaisan, baiklah. Aku setuju dengan tawaranmu. Apa semua tranksaksi bisa langsung denganmu atau melalui agensi di Majid Besar?" tanya pak Latif yang juga sudah ikut berdiri di depan Khaisan.
"Urus saja dengan agensiku. Aku akan kembali ke sini dua jam lagi. Uruslah dulu hingga selesai dengan agensi di Masjid Besar. Akan kuperiksa berkas kerjasamanya kemudian. Jangan mencoba curang, pak Latif," tegas Khaisan mengingatkan sebelum pergi berbalik dan berjalan keluar rumah.
"Jangan khawatir, pengawal Khaisan!" sahut pak Latif berseru. Khaisan telah berlalu meninggalkan tampakan punggungnya yang lebar dan menenangkan.
"Kamu ikut denganku, mah?" tanya pak Latif kepada sang istri.
"Iya, pah. Aku ikut." Sang istri menyambut dengan berdiri dan kini melangkah beriringan dengan pelan.
Mereka tidak pergi ke masjid besar. Namun, pergi ke luar rumah dan berjalan menyusur ke depan menuju arah toko. Mencari sopir keluarga agar mengantar Cut Ha mengurus pasal pengawal di agensi Masjid Besar. Sopir yang jika tidak sedang memegang kemudi akan menjadi pegawai toko itu memang sungguh serba guna.
Meski toko elektronik milik mereka cukup lengkap, tapi tidak sebesar dan selancar toko elektronik baru yang dirintis oleh Cut Ha. Toko elektronik yang Cut Ha buka di kota Nagoya pinggiran itu ternyata sangat diminati dan berkembang menjadi besar dan sukses. Sang Putri begitu lihai melakukan pemasaran sekaligus promosi dengan gencar dan tepat sasaran.
🕸
Khaisan baru datang ke markas agensi di Masjid Besar Muka Kuning, saat Cut Ha juga baru selesai dengan urusan sewa pengawalan dirinya. Mereka bertemu di depan pintu dan hampir saling bertabrakan.
Khaisan yang akan melempar senyum pada sang calon boss, urung saat melihat sorot dingin dari pandangan Cut Ha. Raut gadis itu jauh beda saat berda di tengah orang tuanya dalam rumah di Nagoya. Mata berbinar dan senyum cerahnya seperti beku saat di luaran.
Khaisan tidak ambil pusing dan mereka saling melewati tanpa sapa. Tidak tampak kesan jika diantara mereka sudah saling terikat dalam kontrak perjanjian kerja sama.
Seorang pria tua berambut putih dan berpeci menyambut salam Khaisan dengan lirih dari dalam ruang kantor di agensi. Menunjuk kursi agar Khaisan duduk di depannya.
"Khaisan, apa kamu masih tidak berniat mengambil hasil jerihmu kali ini?" tanya pria itu sambil memandang Khaisan dengan tatapan yang teduh.
"Tidak, Romo Yusuf. Saya hanya ingin melihat bunyi lembar kerjasamanya," sahut Khaisan dengan sopan.
Lelaki tua berambut putih seluruhnya dan sangat kurus itu mengulur sebuah file pada Khaisan. Yang disambut dengan sikap sopan oleh Khaisan.
"Semoga segala lelahmu saat bertugas menjadi lillah, pengawal San," ucap pak Yusuf saat Khaisan sedang membaca dengan fokus lembar demi lembar itu.
"Aamiin. Terimakasih doa agungnya, Romo," sahut Khaisan di sela membaca yang belum usai.
Pak Yusuf pun mengangguk sambil tetap menatap Khaisan yang fokus di bacaannya. Lelaki itu terus memandang hingga Khaisan mengembalikan lembar perjanjian itu padanya.
"Kenapa bilangan rupiah itu kali ini lebih sedikit, Khaisan?" tanya pak Yusuf dengan pelan.
Khaisan langsung mendongak wajah dan memandang lelaki tua itu dengan segan. Lalu mengangggukkan kepalanya.
"Maaf jika kali ini saya terpaksa mengurangi hak anak-anak itu, Romo. Maafkan saya yang kali ini tidak konsisten," sahut Khaisan dengan menyiratkan rasa bersalahnya.
"Ini bukan kesalahan Khaisan. Aku hanya ingin bertanya. Padahal ini semua adalah hak kamu seluruhnya. Kami sangat berterimakasih denganmu, Khaisan," ucap Pak Yusuf lembut tanpa ingin mendesak lagi kenapa Khaisan menerima tarif yang berbeda dari biasanya.
"Kamu akan datang ke Nagoya dua jam kemudian?" tanya pak Yusuf dengan lembut pada Khaisan. Memecah hening di ruangan.
"Nggih, Romo," sahut Khaisan dengan khidmat dan mengangguk. Lelaki itu tampak sangat nenghormati pak Yusuf.
Pak Yusuf memang telah begitu lama mengabdi di managerial Masjid Besar. Lelaki Jawa tulen, berasal dari Blitar itu cukup memegang peranan penting dalam lingkungan di masjid. Seorang berkaromah yang mengetuai agensi pengawalan untuk melayani seluruh area di pulau Batam.
Selain itu, pak Yusuf adalah penjagal alias Juliha atau juru sembelih halal hewan qurban di masjid. Hanya di tangannyalah puluhan hewan qurban tiap tahun di Masjid Besar itu dipercayakan. Beliau adalah salah satu cikal bakal sekaligus tetua yang bersejarah di masjid.
Juga satu-satunya sepuh yang sangat telaten dan bijak dalam menuntun insan yang bertaubat dan datang di Masjid. Pak Yusuf mampu membuat nyaman para pemuda mantan pendosa sekaligus memiliki masa lalu yang kelam, seperti halnya Khaisan.
🕸🕸🕸
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
As Lamiah
semangat tour semoga sehat selalu nunggu terus up mu Poko e
2023-05-02
2