Bab 17 PMM
Pukul sebelas siang di kampus.
"Ini soal tes semester lalu, saya mau kalian mempelajarinya!" Pak Adrian mengedarkan lembaran-lembaran soal akuntansi pada semua anak didiknya.
"Tolong kalian kerjakan ulang. Ini penting supaya kalian mengingat pelajaran yang pernah saya berikan! Saya juga mau kalian sekaligus belajar dari kesalahan. Apa kalian pikir kalau kemarin kalian tidak bisa mengerjakannya kalian bisa membiarkannya begitu saja, hah? Kalian mau kalian melupakan yang lalu begitu saja dan hanya menghadapi hari ini? Wah, kalian salah, salah besar! Justru kalian harus belajar dari kesalahan masa lalu. Jadi intinya, kalian bawa soal itu pulang, lalu kumpulkan dua hari lagi. Jika tidak ada yang mengerjakan, silakan mengulang kelas saya di tahun berikutnya!"
"Baik, Pak!" Sontak semuanya menjawab kompak agar ceramah yang membuat beberapa mahasiswa menguap itu selesai.
Lani merasa perutnya terbalik dan mual. Sejujurnya ia lebih suka melupakan masa lalu. Apalagi bila masa lalu itu menyangkut tentang Dikta. Tapi, akuntansi ini juga penting karena Lani ingat saat mengerjakan soal ini, nilainya mendapat "C minus". Mungkin ada baiknya ia minta bantuan Rara dan Briana.
Namun, Lani mengingat tingkat kecerdasan Briana yang hampir sama dengannya. Maka, Rara lah peluang utamanya untuk mendapatkan nilai lebih baik. Mereka mungkin bisa belajar kelompok. Untuk itu, Lani meminta Rara dan Briana untuk datang ke rumahnya sore ini agar bisa memulai kerja kelompoknya.
Bel tanda kelas akuntansi tersebut telah usai, diikuti gema celotehan para mahasiswa yang lega karena kelas itu telah berakhir. Briana segera bergegas, "Eh gue cabut duluan ya, mau ada perlu sama Tante Ria."
"Tante Ria siapa, Bri?" Lani merapikan bukunya.
"Oh, yang punya salon. Gue sekarang magang kerja di salon dia," tukasnya.
"Tapi, nanti sore bisa kan kerja kelompok di rumah gue?" tanya Lani.
"Gue nggal janji tapi gue usahain, ya!"
"Good luck kerjanya, Bri!" seru Rara sambil memeriksa catatan tulisannya sekali lagi, lalu mengangsurkannya ke Lani.
"Ini katanya mau pinjem. Nanti aku ambil pas aku ke rumah kamu, ya?" Rara melayangkan senyum manisnya.
"Gue fotokopi aja, deh. Oh ya, semangat ya Bri kerjanya!" seru Lani pada Briana yang hampir menuju pintu keluar.
"Oke, thanks semuanya!" Briana lalu pergi lebih dulu.
Seorang mahasiswi yang mengelola majalah kampus memasuki ruangan tempat Rara dan Lani berada.
"Ra, elu jadi masuk kelompok masing kita, kan?" tanya Maria.
Rara menoleh pada Lani, "Nggak apa-apa kan, Lan? Mapala Merah kan masih vakum, jadi aku gabung ke majalah kampus, boleh?"
"Boleh, kok, kenapa nggak." Lani memberikan acungan ibu jarinya.
"Ya udah Maria, aku jadi gabung ke majalah kampus," kata Rara.
"Nanti jam dua ngumpul di ruang gue, ya!" Maria memberi perintah.
"Ummmm, aku ada kerja kelompok sore di rumah Lani abis ashar, kira-kira udah kelar belum?" tanya Rara.
"Udah kelar kayaknya. Pokoknya elu datang, ya! Gue cabut dulu!" Maria lantas menghentikan langkahnya menengok Lani.
"Lan, elu dapat salam dari Boy. Gue hampir lupa, tuh," ucap Maria.
Wajah Lani langsung merona dan salah tingkah.
"Hehehe, salam balik aja." Lani sampai memegangi kedua pipinya yang bersemu itu.
Maria kemudian pergi. Namun, Rara melihat sosok Dikta tengah berdiri di depan kelas mereka.
"Lan, itu ada Dikta," bisik Rara.
"Hah?" Lani lantas menoleh pada sosok pemuda yang berdiri bersandar dinding di seberang pintu kelasnya.
Dikta hanya menatapnya datar bagai tatapan singa buas yang kelaparan dan mengincar mangsanya. Pandangan pria itu hanya tertuju pada Lani.
Dada Lani terasa sesak penuh beban. Ia hanya bisa duduk dan tak mampu bangkit. Rasanya tak ada yang bisa ia lakukan jika keluar dari kelas itu.
"Lan, mau keluar bareng aku, nggak?" sebuah suara mengagetkan Lani.
Gadis itu menoleh dan menyadari kalau Rara masih ada di sampingnya.
"Ra, gue takut… Musibah apa lagi ini, Ra? Mungkin kalau tiba-tiba ada zebra berwarna oranye nari dangdut di depan kelas, gue nggak akan kaget lagi. Ini malah kenapa harus dia yang nongol, Ra?" gumam Lani dengan suara pelan dan bibir seolah masih terkatup.
Pandangan Dikta masih terarah kepadanya. Ia bahkan tak bergeming meskipun beberapa mahasiswa yang melintas menyapanya.
Lani menghitung kalau sudah sebulan ini ia menjauh dari Dikta. Namun, hari ini kenapa dia muncul dan membuatnya kaget kala mendapati sekonyong-konyong sosok pemuda itu berdiri di depan kelasnya.
"Ayo, Lan!" ajak Rara.
Lani tetap tak mau bergerak. Sampai akhirnya, Rara menghubungi Raja dan Tyo agar segera datang ke ruang akuntansi. Ia tak ingin jika nantinya Dikta berbuat nekat dan menyusahkan.
Rara bangkit dan memberanikan diri menuju ke arah Dikta.
"Kamu mau cari siapa, Lani?" tanya Rara akhirnya.
"Kalau gue mau nyari elu dan ngajak elu pergi, apa elu mau, Ra?" tanya Dikta.
"Duh, maaf ya, Dikta. Udah jam makan siang, mau solat zuhur juga. Terus jam dua aku ngumpul di ruang anak-anak majalah kampus. Terus jam tiga an ke rumah Lani buat belajar kelompok. Hari ini jadwal aku banyak," ucap Rara dengan polosnya.
Raut wajah smirk itu terlukis di hadapan Rara.
"Kalau aja gue ketemu elu lebih dulu dari Lani, mungkin gue bakal habisin Raja buat dapetin elu," ucap Dikta.
Sontak saja Rara menutup pintu kelas dengan kencang. Gadis itu ketakutan. Pasalnya tinggal dia berdua saja dengan Lani yang ada di kelas. Mendengar penuturan nekat Dikta malah membuat Rara takut.
Lani serta-merta menjadi iba. Ia mulai bangkit dan menghampiri Rara.
"Dia ngomong apa, Ra?" bisik Lani.
"Duh, nakutin pokoknya," sahut Rara.
Sayup-sayup, Lani dan Rara mendengar seruan Raja dan Tyo memanggil Dikta. Rara membuka pintunya sedikit demi sedikit dan mengintip terlebih dahulu.
"Kalian ngapain ke sini?" hardik Dikta.
"Ta, kita makan ke kantin aja, yuk! Elu traktir gue!" ajak Tyo.
"Di mana-mana yang ngajak yang traktir!" sahut Raja.
"Duit banyakan dia, Ja. Makanya biar dia aja yang traktir." Tyo merangkul bahu Dikta.
Namun, pria itu menepisnya.
"Kalian pergi aja, deh! Urusan gue masih panjang di sini," ucapnya.
"Sorry ya, Ta, aku mohon banget, nih. Cewek aku ketakutan sama kamu. Apalagi si Lani lebih takut sama kamu, jadi kalau kamu masih ngerasa cowok baik-baik, pleaseeeee jauhi mereka!" pinta Raja seraya menarik tangan Dikta.
Lagi-lagi Dikta menepisnya. Bahkan kali ini, ia mendorong Raja sampai jatuh ke lantai.
Rara sampai berteriak memanggil nama Raja.
"Elu anak baru jangan sok tau, deh! Apa mau elu gue habisin di sini?!" bentak Dikta sambil menunjuk Raja penuh ancaman.
"Ta, please deh–"
"Apa elo?!" tantang Dikta.
Padahal Tyo berusaha menenangkannya, tetapi Dikta malah memukul perut Tyo.
Bug!
Tyo tersungkur meringis kesakitan sampai memegangi perutnya.
"Kok, kamu jadi main pukul kayak jagoan aja!" Raja bangkit dan balas membentuk.
Namun, emosi Dikta sudah tersulut dan memukul wajah Raja sampai berdarah di sudut bibirnya.
"Raja!" pekik Rara mendekat.
Raja meminta Rara mundur karena ingin membalas Dikta. Namun, Lani keburu keluar dan menghadang.
"Mau elu apa sekarang?" tanya Lani pada Dikta.
"Gue mau elu!" serunya seraya menatap Lani tajam diiringi napas yang tersengal-sengal setelah perkelahian tersebut.
...*****...
...To be continued, see you next chapter!...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
ngeri juga liat Dikta kayak gitu 😱😱😱
2024-01-01
1
Maz Andy'ne Yulixah
Ih ngeri dikta kayak psikopet bukan psikopat🙄🙄
2023-07-14
0
Ayuk Vila Desi
kok ngeri di dikta
2023-06-26
0