Bab 11 PMM
Di ruang dekan, Raja mencoba duduk di samping Rara tetapi gadis itu menghindar.
"Kita ke ruang auditorium aja!" ucap Pak Agung.
"Tadi disuruh ke sini, sekarang ke ruang sana. Gimana sih ini?" keluh Tyo.
Pak Agung menatapnya tajam.
"Maaf, Pak."
Semuanya lantas menuju ruang auditorium.
"Ra, apa aku ada salah?" Raja menahan Rara.
"Tanya aja sama diri kamu sendiri dan juga Lani!" sungut Rara.
"Maksudnya apa sih, Ra? Kenapa bawa-bawa Lani?" Raja tak percaya.
"Ya emang salah kamu karena kamu bawa Lani tapi bohong sama aku! Lepas!" Rara menarik tangannya dari genggaman tangan Raja.
"Sial, kayaknya Rara tau deh kalau aku bohong. Lagian kenapa harus pakai bohong segala sih, Ja!" Raja mengusap wajahnya sendiri dengan gemas.
Dikta mendengar perdebatan Rara dan Raja. Sepintas ia juga mencari Lani. Dia ingin menanyakan hal yang sama, kenapa Raja bisa bersamanya dan membuat Rara marah. Namun, Dikta teringat kalau mereka baru saja putus.
Di ruang auditorium, Rio dan salah satu rekannya telah berada di sana. Ia meminta Tyo untuk menyalakan proyektor yang menampilkan gambar atau video ke layar besar di ruang tersebut.
"Ada apa ini, Kak?" bisik Rara.
"Duduk aja nanti juga tahu," sahut Rio.
Namun, pria itu lantas menarik tangan adiknya.
"Marahan sama Raja? Kok, jauhkan?" tanyanya.
"Nggak, kok."
Rara tak ingin membuat Rio khawatir. Bahkan Rara juga paham kalau Rio akan menindaklanjuti Raja lebih lanjut bagaikan ajang perpoloncoan senior kejam ke adik kelasnya. Masalahnya akan semakin runyam. Rara lantas mendekati Raja dan meminta pemuda itu untuk duduk di sampingnya.
"Kenapa?" tanya Raja.
"Diam aja deh! Atau aku bilang semuanya ke Kak Rio kalau aku marah sama kamu gara-gara kamu nyakitin aku," sungut Rara.
"Tapi, aku bisa jelasin, Ra."
"Percuma dijelasin kalau awalnya sudah kamu mulai dengan kebohongan. Udah diam aja sekarang!" bisik Rara.
Lani yang sudah duduk di kursi ke lima dari bawah pada kursi yang disusum bertingkat itu, memerhatikan Raja dan Rara yang duduk di kursi kedua dari bawah. Namun, pandangannya semakin berlanjut pada sosok Raja. Sementara itu, Dikta yang duduk di barisan ke tiga, memerhatikan Lani dengan saksama.
"Halo, selamat siang! Nama saya Rio. Saya kepala penyidik kasus kematian dari Raisa Ndaruasri. Kalian pasti kenal bukan dengan gadis ini." Rio menampilkan gambar wajah Raisa yang diambil dari halaman sosial media gadis itu.
"Lalu, ini maksudnya ada hubungan apa kita dikumpulkan di sini?" Devan buka suara seraya mengangkat tangan kanannya.
"Lihat ini baik-baik, ya!" pinta Rio.
Ia menampilkan video cctv gedung sebelah yang memperlihatkan bagaimana Ajeng jatuh. Rara sempat berteriak kala kepala Ajeng membentur aspal yang memperlihatkan semburan darah karena benturan hebat tersebut. Sementara Lani dan Briana tampak kuat melihat kejadian itu.
"Itu video Ajeng, Pak, bukan Raisa." Devan buka suara lagi.
Tyo juga membenarkan. Rio hanya tersenyum lalu menekan tombol pause. Ia melingkarkan sosok kaki kiri yang menendang Ajeng sehingga gadis itu jatuh. Semuanya lantas terperanjat tak percaya.
"Paham kan? Ajeng bukan tewas bunuh diri. Ada seseorang yang membuatnya jatuh dan tewas. Maka saya yakin kalau ada kemungkinan Raisa juga tewas dibunuh, bukan jatuh atau bunuh diri," ungkap Rio.
Tiba-tiba, Rio menampilkan sebuah surat ancaman yang ditulis dengan darah.
"Cewek mulut dajal kayak elu pantesnya mati!"
"Itu maksudnya apa, Kak? Eh, Pak?" tanya Raja.
"Mamanya Raisa menyerahkan surat ini. Ditemukan di laci kamar Raisa. Ada banyak surat ancaman seperti ini yang ditujukan pada Raisa Dia yakin kalau anaknya tidak jatuh kecelakaan melainkan dihabisi." Rio memaparkan.
"Tapi, bukankah kecelakaan juga nggak bisa diprediksi? Dia kan emang jatuh sendiri bukan bunuh diri juga," ucap Devan.
"Ada saksi mata yang melihat Raisa didorong. Kami sembunyikan identitasnya pastinya," Rio menatap Rara dan Raja seraya tersenyum.
Rara dan Raja saling bertatapan. Namun, Rara ingat sedang marah pada Raja sehingga ia dengan segera menolehkan wajahnya ke arah lain.
"Jadi, maksud Bapak mengumpulkan kami di sini karena menuduh salah satu di antara kami sebagai pelakunya, begitu?" tanya Tyo seraya membetulkan kacamatanya.
"Betul sekali, tetapi saya tak mau asal tuduh ya. Masih banyak penyelidikan terhadap kalian. Jadi, saya himbau untuk kalian tidak pergi ke luar kota, apalagi ke luar negeri. Jika itu terjadi, maka kalian akan saya anggap sebagai tersangka terkuat," ucap Rio.
Tatapannya mengancam dengan senyum menyeringai seraya menunjuk ke anggota Mapala Merah satu persatu dengan ujung pulpen miliknya.
"Oke, kalau begitu pertemuan ini saya akhirnya. Saya harap kalian jangan bosen ya kalau ketemu saya karena pastinya kita akan banyak bertemu. Terima kasih atas kerja samanya, selamat siang, dan silakan kembali melanjutkan aktifitas," ucap Rio seraya melambaikan tangan perpisahan.
Semua yang ada di auditorium pergi meninggalkan ruangan itu. Kecuali rekan Rio yang membenahi peralatan tersebut. Namun, Raja kembali mendekat ke arah Rio. Begitu juga dengan Rara.
"Siapa saksi matanya, Kak? Rara?" tanya Raja.
"Loh, aku juga baru mau nanya hal itu ke Kakakku. Apa kamu yang lihat Raisa didorong?" Rara mendekat.
"Masa nggak ngerti, sih? Kakak kan punya Ryujin. Kamu juga punya Anta, kan, Ja? Mereka lihat hal yang sama ada tangan dengan jaket kaus warna hitam yang dorong Raisa.
"Kok, Kak Anta nggak ngomong sama aku soal hal itu, ya?" gumam Raja.
"Udah ya, Kakak duluan mau ke kantor dulu! Kalian bantu kakak buat awasi anggota Mapala Merah itu. Terus kalau ada penampakan yang kalian liat, nanti kalian kasih tau ke kakak," ucap Rio.
"Tapi kita nggak bisa lihat hantu mereka, Kak. Entahlah kenapa," sahut Rara.
Raja mengangguk mengiyakan. Rio lalu pamit.
"Kenapa ya Ryujin nggak cerita sama aku kalau dapat penglihatan itu," gumam Rara.
"Aku juga heran kenapa Kak Anta nggak cerita juga ke aku," sahut Raja.
"Sama kali kayak Kak Anta nggak ngomong ke kamu waktu hape kamu ketinggalan pas kamu beli nasi goreng. Kak Anta juga bilang kalau hari itu dia nggak ke rumah sakit. Jadi, aku yakin kalau sore itu aku lihat kamu boncengin Lani," ucap Rara lalu pergi meninggalkan Raja yang mulutnya langsung terbuka.
...***...
Di kantin kampus.
Briana dan Lani hanya saling diam di hadapan menu makanan yang mungkin tak jua mereka sentuh. Devan, Tyo, dan Dikta mendekat. Mereka duduk bersama pada akhirnya.
"Gimana menurut kalian? Masa kita main tuduh-tuduhan buat nunjuk siapa yang bunuh Raisa dan juga Ajeng?" tanya Tyo.
"Halah, paling itu permainan polisi aja biar dianggap kerja nyata," sahut Devan.
Secara diam-diam, Devan mengirim pesan ke ponsel Briana.
"Shangrila, 808."
Briana melirik Devan sekilas. Perempuan itu mengangguk. Lani sempat melihat adegan keduanya. Dia hanya bisa menggelengkan kepala. Hubungan Devan dan Briana tentu saja Lani tahu.
"Eh, kok elu duduk di sini, Ta? Biasanya mepet Lani. Hayo… kalian jangan-jangan putus, nih?" ledek Tyo.
"Gue kenyang. Gue mau duluan ke kelas!" Lani bangkit dan meninggalkan teman-temannya.
"Apanya yang kenyang, itu mie aja cuma diaduk-aduk dari tadi," lirih Briana menatap punggung Lani yang menjauh.
...******...
...To be continued, see you next chapter!...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Diankeren
jgn² sksi'y hantu 👻👻
2024-06-27
0
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
saya curiga sama Briana dan Lani ya 🤔 🤔🤔
2024-01-01
0
Ayuk Vila Desi
lanjut aja lah
2023-06-26
0