Bab 10 PMM
Keesokan harinya, Dikta kembali mencari Lani. Kebetulan Lani tengah bersembunyi di perpustakaan. Dengan arogannya, Dikta meminta semuanya untuk keluar. Bahkan ia berani meminta penjaga perpustakaan kampus agar menyerahkan kunci padanya.
"Jangan lama-lama, ya. Sepuluh menit atau saya nggak bisa bantu kamu," ucap Bu Sri penjaga perpustakaan yang teman ibunya Dikta.
"Siap, Tante. Makasih ya." Dikta lantas mengunci ruang perpustakaan dari dalam untuk sementara.
Lani yang tengah berkonsentrasi membuat catatan sampai tak tahu kalau sekitarnya sudah tidak ada orang. Dikta duduk di hadapannya secara tiba-tiba, mengejutkan Lani.
"Mau apa lagi kamu? Pergi dari sini!" pinta Lani.
"Nggak, Lan. Aku nggak akan pergi dari kamu!" ucap Dikta.
"Kalau gitu, aku yang pergi!" Lani bangkit dan merapikan buku-buku di meja perpustakaan.
Gadis itu bergegas menuju ke pintu ke luar, sayangnya terkunci.
"Ta, ini nggak lucu! Buka pintu ini!" pekik Lani.
Tangan gadis itu ingin menggedor pintu dengan keras, tetapi Dikta menariknya.
"Makin kamu buat kegaduhan, aku jamin citra kamu nantinya akan buruk di kampus. Kamu nggak mau beasiswa kamu dicabut kan, Lan?" ancam Dikta.
"Apa yang mau kamu lakukan ke aku?! Kamu masih mau aku buka baju di depan kamu, gitu? Ternyata benar ya kata mereka, kata mantan-mantan kamu yang udah kamu hancurkan itu. Kamu cuma cowok sampah!" Lani memaki Dikta dengan bibir bergetar.
Akhirnya sambil menggeram, Dikta meninju rak buku di dekatnya. Rak yang terbuat dari serbuk kayu padat itu seketika patah berantakan. Buku-bukunya yang tadinya tersusun rapi, jatuh berserakan ke lantai.
"Tau apa kamu tentang aku?! Kamu itu sama aja keras kepalanya sama Raisa! Oh iya aku lupa, kalian kan temenan dari SMA. Kalian sama aja murahnya!" tuding Dikta.
Lani menyaksikan itu dalam diam. Diam yang menyimpan banyak rasa sedih, kecewa, sakit, dan kemarahan. Dadanya terasa sesak dan sulit untuk bernapas.
Dikta masih menoleh dan menatap Lani dengan bara kemarahan yang berkilat di kedua matanya. Kemudian dihampirinya gadis ktu. Kedua tangan kekar pria itu terulur, lalu diraihnya gadis itu ke dalam pelukannya.
"Lepas! Lepaskan aku, Ta!" Lani mencoba melepas pelukan Dikta.
Namun, pelukan itu semakin erat. Pelukan Dikta benar-benar menyakitkan untuk Lani. Gadis itu hanya menggigit bibir. Pelukan Dikta semakin erat dan terasa seperti akan mematahkan tulang-tulang Lani. Sama sekali tidak tersisa ruang untuk bergerak bagi gadis itu. Akhirnya untuk mengurangi rasa sakit, Lani pasrah dan melemaskan tubuhnya.
Begitu tubuh yang dipeluknya melemas, Dikta memejamkan kedua mata. Kepalanya menggeleng perlahan. Ditahannya rasa sesak di dada. Bahkan hanya untuk dipeluk pun, gadis ini melawan begitu batin Dikta. Ia benar-benar tak bisa menguasai Lani. Ya, untuk pertama kalinya, ada seorang gadis yang tak bisa ia taklukan.
Detik demi detik, menit demi detik berlalu saat hanya suara detak jarum jam dinding di ruangan itu terdengar. Pelukan kedua pasangan itu terasa beku. Meskipun saling dekat tetapi tetap tak terasa mendekatkan. Ketika akhirnya yang ditunggu Lani tiba, Dikta melepaskan pelukannya. Langen kini bisa melihat kedua mata Dikta yang memerah.
Jauh di dalam hati Dikta, hatinya berbisik untuk memintanya tak melepas pelukan itu kalau tidak yakin. Dikta benar-benar mendengar suara hatinya yang berbisik mengingatkan. Namun, rasanya ini pertarungan terakhirnya. Sang ego langsung berteriak untuk menyerah, melepaskan, dan pada akhirnya ego itu pun menang.
"Kita selesai di sini, Ta!" ucap Lani kemudian.
Suaranya parau dan serak. Dikta hanya terdiam. Pelukan sakit dan dingin itu tadi
sudah memperingatkan. Lani bergerak ke sudut ruangan. Mengambil tasnya yang terjatuh saat dipeluk tadi dari lantai, lalu
melangkah menuju pintu.
Sampai di depan pintu, Lani berhenti. Dia teringat kalau pintu itu terkunci dan kuncinya ada pada Dikta. Gadis itu lalu berdiri menunggu dan akhirnya berkata penuh permohonan, "Ta, tolong buka pintunya!"
Lani pikir akan ada adu argumen dulu atau protes yang terlempar dari bibir pria yang menghitam karena pengaruh rokok itu, tetapi di luar dugaan Lani. Dikta malah merogoh saku celana jeans yang ia kenakan dan mengeluarkan anak kunci dari sana.
Dikta lalu melangkah menuju pintu. Dimasukkannya anak kunci ke lubangnya lalu perlahan diputarnya. Semua itu dilakukan pria itu dengan tatap mata tetap tertuju pada Lani. Pandangan yang tajam. Sementara pandangan gadis itu hanya bisa tertuju lurus ke daun pintu. Pandangan Lani datar.
Saat Dikta membuka pintu perlahan, Lani segera mendorong daun pintu itu agar melebar. Gadis itu bergegas melangkah keluar. Sesaat sebelum gadis itu mencapai ambang pintu, Dikta malah mencekal satu tangan Lani dan menahan langkahnya.
"Kalau ini udah keputusan kamu, jangan noleh ke belakang! Jangan ngeluarin suara juga! Sedikit aja kamu noleh, sedikit aja kamu ngeluarin suara … maka aku akan aku menahan kamu lagi!" lirih Dikta.
Pria itu lantas melepaskan cekalan tangannya dari lengan Lani. Gadis itu pun hanya diam dan kemudian pergi. Seperti permintaan Dikta, Lani memang tidak menoleh sama sekali. Gadis itu juga tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Dikta sangat terguncang. Ada permohonan yang menggila dalam hatinya. Sesungguhnya, Dikta ingin Lani menoleh walaupun hanya sesaat saja. Dikta juga ingin Lani mengeluarkan suara walaupun hanya sedikit saja. Agar ada alasan untuk menahan langkah gadisnya. Dikta ingin punya alasan untuk menarik gadis itu kembali ke sampingnya.
Akhirnya, Lani tiba di tepi jalan keluar gedung. Di bawah tatapan Dikta yang semakin menajam, gadis itu akhirnya berbelok ke kiri dan akhirnya hilang. Lani melangkahkan kaki diiringi degup jantung nya yang makin meliar. Namun satu yang tidak diketahui Dikta, Lani tidak ingin menoleh. Dia tidak ingin mengeluarkan suara juga hanya karena dengan cara itulah dia bisa menyembunyikan air matanya.
Entah kenapa, hati Lani terasa hancur ketika mengatakan "putus" di hadapan Dikta. Padahal, harusnya hari itu bisa menjadi kebahagiaan buatnya. Putus dari Dikta adalah keinginannya selama bertahan satu bulan belakangan. Tetapi, setelah kata putus itu tercetus bahkan Dikta membiarkannya pergi, hati Lani.malah sedih.
Tubuh Dikta sontak saja terguncang seketika. Membentur tembok dan bersandar di sana tanpa tenaga. Dia merasa tubuhnya meluruh lunglai jatuh ke lantai. Bahkan hatinya yang tadi sudah berbisik mengingatkan untuk menahan Lani, kini ikut diam.
Sekian banyak wanita yang telah ia pacari di kampus itu, hanya Lani yang memang sulit untuk digapai. Gadis itu membuat harinya lebih baik. Namun kini, selesai sudah semuanya. Genap sudah kekalahannya.
Lani menuju toilet perempuan. Ia memilih bilik paling ujung untuk menangis. Bahkan ada beberapa mahasiswi yang takut masuk ke toilet tersebut karena mengira mendengar ada sosok hantu yang menangis.
Ponselnya Lani berbunyi, tertulis pesan whatsapp dari grup Mapala Merah. Para anggota diminta berkumpul di ruang dekan segera. Lani lantas mengusap air matanya dan bangkit dari duduk di kloset.
Lani menuju wastafel untuk mencuci tangan. Namun, gadis itu terperanjat ketika melihat tulisan di cerminnya.
"KAU HARUS MATI"
"Sumpah ini nggak lucu! Aku nggak peduli mau kamu hantunya Raisa sekali pun yang buat ini, aku nggak takut! Asal kamu tahu ya, Sa … aku senang waktu kamu mati."
Lani mengusap tulisan berwarna merah itu dengan air. Dia menghapusnya. Setelah menenangkan diri, Lani bergegas menuju ruang dekan.
...*****...
...To be continued, see you next chapter!...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
karena ego dan masa lalu mereka jadi seperti itu
2024-01-01
0
Maz Andy'ne Yulixah
Sebenernya mereka saling mencintai tapi pada mikirin ego sendiri😌
2023-07-14
0
Ayuk Vila Desi
sebenarnya Dikta cinta ma lani...tapi gak mau ngomong...
2023-06-26
0