Bab 14

. Selepas kepulangan Rama, Yugito masih terdiam di gazebo dan menatap kedua anaknya secara bergantian. Yugito masih merasa penasaran pada sikap Tio yang berbeda kepada Raisa.

"Tio. Ayah ingin bertanya sesuatu." Tio yang tengah menjahili Arisa pun menjadi terdiam dan menghadap pada ayahnya bersiap untuk mendengarkan hal apa yang akan di katakan Yugito.

"Kenapa kau selalu mengabaikan Rais?" Tanya Yugito selanjutnya, Tio yang terheran hanya bisa menyipitkan matanya menatap Yugito.

"Ahh Tio juga ada pertanyaan untuk ayah." Kali ini giliran Tio yang penasaran akan hal yang hendak di ungkapkan oleh putranya.

"Kenapa ayah lebih memperhatikan Rais dari pada Aris?" Yugito terdiam sejenak mencari jawaban agar kedua anaknya tidak salah faham.

"Ya... karena Rais sakit. Dan penyakitnya sangat berbahaya." Jawab Yugito dengan meyakinkan dirinya bahwa jawabannya tidak salah. Tio mengangguk pelan seakan ia mengerti dengan jawaban ayahnya.

"Hemmm begitu ya? Tanpa aku menjawab pertanyaan ayah yang tadi, seharusnya ayah sudah tahu kenapa aku lebih peduli pada Aris. Selain karena Aris tak mendapat perhatian dari ayah dan mama, Aris juga punya penyakit lambung yang sudah parah." Terlihat Arisa menepuk lengan Tio yang membocorkan rahasianya tanpa ragu.

"Lambung tidak terlalu bahaya jika di bandingkan dengan kanker." Arisa mendadak diam seketika, ia merasa tubuhnya mendadak membeku mendengar penuturan ayahnya. Namun, Tio malah tersenyum dengan penuh arti.

"Nah.... inilah jawabannya ayah. Aku pikir Rais sudah sembuh dan dia sudah puas akan perhatian ayah dan mama. Jadi, untuk apa membutuhkan perhatianku?" Meski terdengar santai, namun bagi Yugito ungkapan Tio ini sudah melewati batas jika niatnya hanya sekedar bercanda. "Ups... apa aku salah bicara? Hemmm sepertinya tidak kan ayah? Aku mengatakan hal yang benar." Arisa semakin tak nyaman dengan obrolan kakak dan ayahnya yang mungkin akan kembali menjadi sebuah pertengkaran.

"Ah... kak Tio. Katanya besok kakak ada urusan. Sebaiknya tidur sekarang kak." Bujuk Arisa seraya menarik tangan Tio agar segera pergi dari hadapan ayahnya.

"Aris. Kau tak perlu mengalihkan pembicaraan ayah dan kakakmu. Ayah tagu kamu hanya ingin menghindari percakapan ini kan?" Namun Arisa hanya terdiam dan enggan menanggapi ayahnya sedikitpun. "Aris... saat kau lulus nanti, ayah yang akan mengambilkan raport mu." Lanjut Yugito berhasil membuat Arisa menoleh padanya dengan tatapan yang berbinar.

"Ayah tak perlu menjanjikan hal yang tak akan bisa ayah lakukan." Tutur Tio kembali memudarkan harapan Arisa seketika. "Maaf ayah. Aku dan Aris ingin tidur." Lanjut Tio kemudian menarik tangan Arisa meninggalkan ayahnya sendiri. Yugito menatap pada bulan yang saat ini mulai tertutupi awan sehingga cahayanya mulai redup.

"Apa aku benar-benar sudah gagal menjadi ayah?" Gumamnya perlahan menundukkan pandangan lalu terduduk di lantai gazebo dengan sendu.

. Di akhir pekan, Arisa menghabiskan hari liburnya dengan Rama di taman kota. Keduanya berjalan-jalan dan membeli beberapa camilan untuk menemani setiap langkah mereka. Ujian sudah di depan mata, dan tujuan mereka kuliah pun sudah di tentukan. Ketika keduanya membahas tentang kampus tujuan mereka, Arisa terlihat murung karena berbeda dengan kampus yang Rama masuki.

"Aku pikir kau akan ke kampus itu juga." Keluh Arisa.

"Biaya di sana terlalu tinggi untukku. Jika bukan karena permintaan ibu, aku tak akan melanjutkan kuliah. Aku ingin mencari kerja saja dan membantu ibu mencari uang untuk membiayai sekolah Gilang."

"Jangan Rama. Sayang prestasimu." Kali ini Arisa berubah semangat dan berharap agar Rama ikut semangat seperti dirinya.

"Makanya, aku mencari kampus yang bisa aku jangkau saja."

"Kalau begitu, jaga dirimu ya! Jangan tergoda kalau ada teman wanita yang mendekatimu. Awas saja kalau kau main-main di belakangku." Sontak Rama tertawa mendapati sikap manja Arisa ketika cemburu padanya.

"Untuk apa aku memalingkan pandanganku pada yang lain, sedangkan aku sudah mendapatkan yang sempurna, dan aku sangat bersyukur bisa di terima olehmu." Arisa hanya mematung mendengar penuturan Rama, ia tak menyangka akan ada orang yang mengatakan bahwa dia sempurna dan ada yang bangga memilikinya.

"Rama.. aku semakin takut kehilanganmu." Lirih Arisa dengan menunduk sendu.

"Aku juga masih ingin bersamamu Aris." Batin Rama yang tak bisa mengungkapkannya secara langsung. Ia terlalu naif pada takdir, di mana ia tak ingin membebani keluarganya, namun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia juga masih ingin hidup dan menghabiskan masa mudanya dengan ceria seperti anak-anak lainnya.

. Singkatnya, seluruh siswa kelas 12 akhirnya menghadapi ujian akhir. Dengan tekun Arisa selalu belajar dengan pintu terkunci agar tak ada satu orangpun yang masuk dan mengacaukan proses belajarnya. Dan setelah ujian usai dan nilai pun sudah keluar, Arisa mencoba mengutarakan niatnya yang ingin masuk kampus elit yang hanya di masuki oleh anak-anak orang kaya saja. Semula Arisa begitu semangat dan wajahnya berseri ketika memasuki ruang kerja ayahnya. Namun senyum itu memudar ketika ia mendapati Raisa yang sudah berada di ruangan yang sama. Wajah Raisa terlihat begitu gembira menyambut kedatangannya.

"Ayah Aris mau ke kampus...." Arisa tak melanjutkan kalimatnya, ia sengaja menggantungkan ungkapan tersebut ketika melirik sebuah formulir pendaftaran kampus terbaik. Tak lain, kampus itu adalah kampus yang Arisa hendak masuki dan sudah menjadi angan-angannya sejak lama.

"Ayah dengar, kau mau masuk kampus yang sama dengan Rais. Berhubung Rais sudah tahu, jadi dia bawa 2 formulir agar kau bisa mengisinya sekarang." Tutur Yugito yang menyadari akan arti dari tatapan Arisa pada kertas tersebut. Nafas Arisa mendadak sesak, dan tubuhnya menjadi gemetar. Ia merasa ada sesuatu yang menghalangi pernafasan dan tenggorokannya saat ini. Rasa kesal membuatnya tak bisa untuk sekedar berucap atu huruf saja. Setelah diam beberapa saat, Arisa mengatur nafasnya agar hatinya lebih tenang.

"Maaf ayah. Tapi Aris mau masuk ke kampus Xxxx saja." Ucapnya seraya memaksakan senyum lalu berlalu meninggalkan ruang kerja. Raisa segera menyusul Arisa sampai ruang keluarga, kemudian menarik tangan Arisa sampai Arisa terhenti seketika.

"Kenapa kau berubah pikiran Aris?" Pekik Raisa mendadak kesal dengan apa yang Arisa katakan tadi.

"Aku tidak berubah pikiran." Jawab Arisa dengan begitu santai.

"Lalu, apa artinya itu? Kau tak jadi ke kampus Yyyy karena aku juga masuk ke sana kan?"

"Tidak. Aku tidak begitu."

"Terus?"

"Aku ke kampus Xxxx karena ada alasan sendiri."

"Jika bukan karena aku, lalu karena apa?"

"Karena di sana ada kak Seno dan Rama. Apa kau puas dengan jawabanku?" Seketika Raisa terdiam, ia merasa tak bisa berkata apapun lagi sekarang.

-bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!