. Pagi harinya, Arisa membuka mata perlahan lalu menutup sebagian wajahnya karena silau. Tak seperti biasanya, Arisa mendapati Yugito tengah duduk bersandar di sofa seraya membaca koran dengan di temani ada secangkir kopi.
"Ayah? Sedang apa?" Tanyanya beranjak kemudian membereskan selimut dan sprei sebelum ia membersihkan diri.
"Memastikan kau sarapan pagi ini." Arisa terdiam seketika mendengar jawaban Yugito. Ia jelas menolak jika harus sarapan di rumah.
"Ayah. Hari ini Aris ada..."
"Mau alasan apa lagi? Di sekolah kau tak pernah sarapan kan? Makan siang hanya baru-baru ini saja. Itu pun ayah dengar dari Juju yang mencari informasi tentangmu di sekolah."
"Ayah memata-mataiku? Sudah ku bilang aku tak mau di awasi ayah...." Arisa mendadak kesal pada Yugito akan hal ini. Ia semakin tak ingin berbaur dengan keluarganya jika pergerakannya saja selalu di awasi. Arisa berlalu ke kamar mandi dengan sedikit menghentakkan kakinya. Lagi-lagi Yugito menggeleng menanggapi sikap Arisa yang sudah di luar kendalinya.
"Sebenarnya ayah harus bagaimana Aris? Ayah sudah bekerja keras untukmu, sudah mengawasimu, dan sekarang ayah ingin lebih dekat denganmu tapi kau yang tak mau." Ucap Yugito bergumam pelan.
. Setelah Arisa selesai mandi dan memakai jubah handuk, ia terheran dengan ketiadaan Yugito di kamarnya. Dengan cepat Arisa berganti pakaian, lalu meraih beberapa barang-barang keperluan sekolahnya. Dengan harapan ayahnya tidak menyadari kepergiannya, Arisa diam-diam menutup pintu kamarnya sehingga tidak sedikitpun mengeluarkan suara. Saat turun tangga, Arisa sedikit berjinjit meski sudah memakai sepatu kets agar tak berbunyi saat berjalan. Sayangnya, usaha Arisa sia-sia. Yugito berdiri tepat di ujung tangga menatap ke arah Arisa yang tengah menuruni tangga. Melihat Tio keluar dari kamarnya, Arisa semakin berbinar dan langkahnya di percepat berharap Tio tidak meninggalkannya.
"Kakakmu akan sarapan di rumah. Ayah sudah melarang Tio untuk sarapan di luar. Kau akan ikut dengan kakakmu kan?" Sontak Arisa terhenti seketika. Wajahnya kembali murung menahan kesal yang mulai menyesakkan nafasnya.
"Aris ada janji dengan teman." Ucapnya mencari-cari alasan.
"Sudah cukup Aris!" Tegas Yugito terdengar membentak membuat Arisa sedikit terhenyak. "Sebenarnya apa yang kau pikirkan hah? Untuk makan saja kau tak mau. Harusnya kau bersyukur semua kebutuhanmu tercukupi di rumah ini. Kau ingin ayah memperhatikanmu, tapi saat ayah menuruti kemauanmu, kau malah marah tak ingin di awasi. Kau ingin ayah selalu ada untukmu, tapi saat ayah ajak kau untuk sarapan, kau sendiri malah mencari-cari alasan."
"Tak apa. Sekarang Aris tak menuntut perhatian ayah. Aris yang egois, Aris yang tak mengerti kesibukan ayah, dan Aris juga tak ingin pekerjaan ayah terganggu. Maaf." Ucapnya kemudian berlalu melewati Yugito begitu saja. Arisa setengah berlari di ikuti Tio yang mengejarnya sampai mobil.
Selama perjalanan, Arisa tidak bicara sepatah katapun. Keduanya hanya terdiam dan tak ada yang memulai obrolan meski sekedar memecah kesunyian di antara mereka.
Sesampainya di sekolah, Arisa langsung keluar dari mobil dan berlari meninggalkan Tio yang ikut merasa bimbang dengan apa yang terjadi pada adik dan ayahnya. Karena diam pun tak menemukan sebuah jawaban, Tio memilih segera berlalu dari area sekolah Arisa.
Sepanjang pelajaran di kelas, Arisa hanya melamun dan tak mendengarkan materi apa yang guru jelaskan. Meski Rama sudah mencoba bertanya tentang apa yang terjadi, namun Arisa memilih diam dengan wajah tersenyum menyembunyikan perasaan kesalnya.
"Aris. Kau tidak makan siang. Apa kau akan baik-baik saja? Bukankah kau punya penyakit lambung?" Arisa hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Reski yang penasaran akan alasan Arisa yang tak ingin makan meski hasilnya sia-sia saja.
"Aris. Apa kau ada masalah?" Naufal ikut bertanya, ia paling tak bisa jika harus menyembunyikan rasa penasarannya kepada siapapun itu. Dan lagi, Arisa hanya menggeleng seraya tersenyum. Namun kali ini senyumnya berbeda, Rama melihat ada beban di balik senyum getir Arisa yang ia perlihatkan. Saat Naufal dan Reski sudah tak bisa membujuk Arisa, keduanya berlalu dan membiarkan Rama mengurus sisanya.
"Kau ingin bercerita?" Tanya Rama mencoba mencari tahu penyebab Arisa terus diam. "Aku belikan makanan ya? Sebentar!" Tanpa ingin ada penolakan lagi, Rama beranjak dari tempatnya hendak pergi ke kantin untuk membeli beberapa camilan atau roti untuk mengganjal perut Arisa yang mungkin sudah keroncongan. Namun langkahnya terhenti tepat ketika Rama sudah melewati Arisa. Rama melirik ujung seragamnya yang di tarik oleh Arisa dari samping. Ia perlahan melirik pada gadis kesayangannya yang menunduk menyembunyikan wajahnya. Semakin dalam Rama menatap rambut Arisa, ia mulai sadar bahwa pacarnya ini tengah menangis dengan diam tanpa suara atau terisak sedikitpun.
"Aris." Lirih Rama kemudian meraih bahu Arisa yang kini terlihat berguncang memperlihatkan tangisnya yang sudah pecah.
"Jangan pergi." Lirih Arisa semakin kuat mencengkram kemeja Rama.
"Tapi kau belum makan."
"Aku tak butuh makanan. Tetaplah disini. Tolong!" Mendengar suara Arisa yang memelas, Rama tak bisa berbuat apa-apa lagi, ia hanya mengiyakan permintaan Arisa. Rama menatap nanar pada gadis kesayangannya yang kini tengah menunduk di atas meja dengan mata terpejam. Beberapa kali teman-teman perempuannya bertanya, namun Arisa hanya menjawab bahwa dirinya baik-baik saja.
"Sebenarnya kau kenapa? Seharusnya hidupmu tak begini. Kau dari keluarga yang serba ada, dan punya kakak yang perhatian. Tapi setiap kali aku melihatmu, kau selalu menyimpan sebuah beban yang tak bisa aku bantu untuk memikulnya. Ah.... kesal sekali jika benar Aris punya masalah tapi aku tidak bisa membantunya. Bagaimana nanti saat aku pergi?" Batin Rama perlahan meraih rambut Arisa yang menutupi sebagian wajahnya. Tepat saat bel berbunyi, Rama seketika meraih hidungnya yang terasa lembab. Ia mendelik ketika mendapati darah yang keluar tanpa sebab. Rama bergegas berlari sehingga Arisa terbangun tiba-tiba.
"Rama darah Rama." Pekik Naufal yang menyusul Rama berlari keluar dari kelas. Arisa beranjak dari duduknya dan berniat ikut menyusul Rama, namun ia terhuyung dan nyaris tersungkur ke meja jika Reski tak menahan bahunya.
"Aris. Kau mau kemana?"
"Res. Rama..."
"Rama mimisan. Kau jangan khawatir! Naufal sedang menyusulnya." Sejenak Reski terdiam, lalu ia melirik Arisa dengan mengejek.
"Hemmmmm apa begini sikapmu pada orang yang kau sayangi? Aku baru pertama kali loh melihatmu peduli pada orang lain. Biasanya kau selalu dingin dan acuh pada siapapun, tapi tak ku sangka Rama bisa membuatmu khawatir begini-- addduuuuhhhhh sakit Aris." Teriak Reski ketika Arisa tiba-tiba menarik telinganya dengan wajah yang bersemu merah.
-bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments