Sampai Di Rumah

Motor kembali kujalankan. Lajunya cukup pelan. Kecepatannya diangka dua puluh. Meskipun beberapa kali disalip bahkan diklakson oleh kendaraan yang ada di belakang, aku tetap tidak berniat untuk menambah kecepatannya. Biarlah kunikmati waktu di jalanan ini sebelum akhirnya sampai di rumah.

Seperti memikul beban di atas pundak saat motor berhenti tepat di halaman rumah. Aku segera turun, menuntun motor masuk ke dalam garasi.

"Kak Rara, akhirnya pulang juga!" seru Dinda, adik semata wayangku yang sekarang sudah kelas dua SMA tapi kelakuannya masih seperti anak SD. "Dari tadi teman kak Rara nelfon terus." ungkap Dinda.

"Siapa?" tanyaku, malas-malasan.

"Kak Gita. Kayaknya nelfon sampai dua puluh kali. Belum lagi pesan wa."

"Oh,"

"Kok cuma oh?"

"Terus apa?"

"Untuk apa kak Gita nelepon Mama? Memang ada hal penting? Kak Rara pasti nggak ngangkat telepon atau balas wa-nya, kan?"

"Balas. Orang kakak baru dari rumahnya kak Gita."

"Terus kenapa nelpon? Ada perlu kali."

"Mungkin."

"Eh, ngomong-ngomong mata kak Rara kenapa merah. Habis nangis ya?"

"Sok tahu. Kelilipan. Kan baru dari jalan, banyak debu."

"Mata kamu kenapa, Ra?" tiba-tiba Mama sudah menyongsong kedatanganku.

"Eh Mama," aku buru-buru mencium tangan mama.

"Kamu enggak boleh keluar lagi ya Ra. Sampai hari H. Mama nggak mau kamu kenapa-napa." ungkap Mama.

"Rara nggak kenapa-napa, ma." jawabku.

"Terus mata kamu kenapa? Sampai merah sekali seperti habis nangis. Apa debu di jalanan sudah separah itu, Ra. Sampai bikin mata merah kayak habis nangis."

"Kan memang dari dulu, ma."

"Oh gitu ya. Eh Ra, kamu mau kemana?" Mama memanggilku yang hendak pergi ke kamar.

"Mau ke kamar, ma. Naruh tas."

"Sebentar dulu. Mama mau bicara."

Apa yang kulakukan terjadi. Mama memperlihatkan catatannya padaku. Buku berisi segala hal kebutuhan untuk pernikahan.

Mama memanggilku sedetail itu dalam mempersiapkan segala sesuatunya. Apalagi ini pernikahanku. Putri sulung Mama.

"Persiapannya sudah sembilan puluh persen, Ra. Semuanya sudah siap. Tinggal tunggu pakaian pengantin kamu datang, kata penjahitnya sih besok sudah di antar. Lalu cek terakhir catering dan dekor. Kemudian kita tinggal tunggu papa datang. insyaAllah papa akan datang hari Jum'at." ungkap Mama dengan antusias.

Papa memang sudah tidak tinggal bersama kami. Kedua orang tuaku sudah berpisah saat aku masih duduk di bangku kelas enam SD. Usai bercerai, papa langsung pindah ke Bogor untuk memulai hidup baru. Dua tahun setelah berpisah, papa memutuskan kembali menikah dengan janda beranak satu. Dari istri baru papa, aku punya dua saudara tiri baru.

Sedang Mama, memutuskan untuk tidak menikah lagi selamanya. Mama ingin fokus mengurus aku dan Dinda. Juga memulai kembali usaha toko bunganya.

Meskipun papa dan mama berpisah. Aku dan Dinda bebas untuk menghubungi papa kapanpun juga. Tapi karena papa dan keluarga barunya agak tertutup, maka aku dan Dinda secara otomatis menjaga jarak dengan papa. Makanya hubungan kami terbilang kaku.

Aku dan papa jarang berkomunikasi. Paling banyak dalam setahun tiga atau empat kali. Hanya untuk bermaaf-maafan di bulan suci dan hari raya. Selebihnya kami tumbuh di bawah pengasuhan Mama.

"Ma ...," panggilku.

"Ya, kenapa Ra?" tanya mama. Dengan mata masih menatap catatannya. "Oh ya, bagaimana kalau kita tambah makanannya. Mama khawatir masih kurang."

"Sudah ma," aku tidak berani melanjutkan pembicaraan.

"Sudah bagaimana. Mama ingin pernikahan kamu meriah Ra. Kamu itu anak pertama Mama. Ini pertama kalinya Mama menikahkan putrinya Mama." ungkap Mama.

Entah mengapa, mataku kembali berkaca-kaca. Untuk persiapan pernikahan ini Mama memang merancangnya sendiri. Tanpa bantuan wo.

Mama sengaja mengajukan pesta pernikahan agak mewah. Keluarga Arif memang mengungkapkan agak keberatan karena tidak mampu biaya. Tapi mama menghandle semuanya. Tidak ada satu rupiah pun yang dikeluarkan oleh keluarga Arif. Semuanya dari tabungan Mama.

Begitu juga dengan papa. Sejak Mama mengabari bahwa aku akan menikah, papa bersikap tenang. Tidak bertanya tentang biaya. Dari dulu sampai sekarang aku tahu, untuk biaya aku dan Dinda pun Mama yang bekerja keras. Papa tidak pernah mengeluarkan dana sedikitpun. Entah apa alasannya. Padahal aku sempat melihat akta dari pengadilan bahwa papa yang berkewajiban menafkahi kami. Sesuai syariatpun, seorang anak, meskipun orang tuanya sudah berpisah wajib ditanggung ayahnya, kecuali ayahnya tidak mampu.

"Ra, Mama kok masih kepikiran tentang seragam, ya " ungkap Mama. "apa sebaiknya ibu tiri kamu juga diberi."

"Tidak usah!" seru Dinda. "Buat apa ngasih perempuan pelit kayak gitu dikasih seragam. Nanti dia kegeeran lagi." imbuh Dinda.

"Jangan gitu Din, bagaimanapun juga itu kan ibu kalian juga." ungkap Mama sambil mengusap pekan punggung Dinda. Anak itu memang selalu naik darah kalau sudah membicarakan istri baru papa.

Bukan tanpa alasan Dinda bersikap begitu. Adik semata wayangku itu sebenarnya tipikal anak yang tidak mudah membenci orang lain, tetapi semua bermula karena kunjungan kami ke rumah papa di puncak Bogor.

Waktu itu aku masih SMA, sedangkan Dinda SD. Papa meminta kami berkunjung ke Bogor. Mama mengizinkan kami menginap untuk pertama kali dalam hidup. Tetapi sampai di sana, istri baru papa yaitu Tante Wira malah tidak menganggap kedatangan kami.

Ia benar-benar bersikap cuek. Aku dan Dinda dibiarkan kelaparan seharian. Mau tidurpun bingung dimana.

Sementara papa, entah mengerti atau tidak, papa bersikap tidak tahu menahu. Sungguh malam itu seperti seorang gelandangan. Sampai pukul dua belas malam hanya duduk di ruang tamu, padahal papa dan istrinya sudah tidur di kamarnya. Barulah menjelang dini hari, anak papa yang paling besar mengajak tidur di kamarnya setelah ia tersentak dari tidurnya dan mendapati kami hanya duduk di ruang tamu.

Dinda sebenarnya sudah mau menangis, ia lapar dan mengantuk. Aku kasihan melihat Dinda kala itu, tapi tidak tahu harus berbuat apa sebab tuan rumah seolah tidak menganggap kedatangan kami.

Sejak itu, aku dan Dinda tidak pernah mau datang atau menginap ke rumah papa. Untuk berkomunikasi kami hanya via telepon.

Bisa bayangkan betapa besar rasa rindu di hati kami berdua pada papa. Terutama aku. Orang yang sempat dekat dengan papa sebelum berpisah dengan mama. Tapi begitu papa keluar dari rumah, kami benar-benar tidak pernah berkomunikasi dengan baik.

Terkadang aku bertanya, seberapa besar luka perceraian yang dirasakan oleh papa hingga mampu memutus komunikasi dengan aku dan Dinda. Pernah tahun pertama waktu baru lulus SMA, papa benar-benar tidak bisa dihubungi. Seperti orang yang hilang dari peredaran.

Mama sempat menyuruh agar aku menyusul ke Bogor saat nomor papa tidak kunjung bisa dihubungi. Tetapi aku tidak mau karena tidak ingin kejadian dicuekin terulang untuk kedua kalinya.

Terpopuler

Comments

QQ

QQ

Laki-laki seperti Arif memang tidak pantas untuk ditangisi. Kamu kuat Rara jangan mau dibuat lemah dimata Arif biar dia menyesal telah meninggalkan dirimu 👍👍👍

2022-09-29

0

Nyonya Harahap_81

Nyonya Harahap_81

bertele²

2020-09-11

0

Nur Harahap

Nur Harahap

lanjut thor

2020-09-06

0

lihat semua
Episodes
1 Panggilan Dadakan
2 Pembatalan Sepihak
3 Perjalanan Pulang
4 Candaan Teman-teman
5 Sampai Di Rumah
6 Bernafas Sejenak
7 7. Harapan Mama
8 8. Mata Mama Berkaca-kaca
9 9. Mengurung Diri Di Kamar
10 10. Pengumuman: Aku Gagal Nikah
11 11. Karyawan Baru
12 12. Saat Semuanya Serba Salah
13 13. Pulang
14 14. Semua Salah Rara?
15 15. Arif Jadi Nikah?
16 16. Monika Ariella
17 17. Bertemu Arif
18 18. Gara-gara Enggak Cantik
19 19. Segala Rasa
20 20. Tuduhan Arif
21 21. Sabar Rara!
22 22. Naik Jabatan
23 23. Bertemu Papa
24 24. Nyaris Ditilang
25 25. Rara Yang Berprestasi
26 26. Mencari Mbak Yuni
27 27. Tangis Rara
28 28. Makan Siang Bersama Ken
29 29. Diantar Pulang Oleh Ken
30 30. Pesan Dari Ken
31 31. Bianca Minta Dicomblangi
32 32. Ken Datang Berkunjung
33 33. Gosip
34 34. Maaf, Aku Tidak Mau Ghibah!
35 35. Pengakuan Ken
36 36. Curhat Arif
37 37. Membesuk Mbak Yuni
38 38. Sebuah Tamparan Untuk Arif
39 39. Gosip Tentang Rara
40 40. Ujian Lagi?
41 41. Penjelasan Ken
42 42. DESAKAN MAMA
43 43. Ulang Tahun Yang Membawa Masalah
44 44. Perempuan-perempuan Di Sekeliling Ken
45 45. Perempuan-perempuan Di Sekeliling Ken (2)
46 46. Bertemu
47 47. Air Mata Buaya
48 48. Tamu Itu Adalah Papa
49 49. Seseorang Yang Selalu Ada
50 50. Terlambat
51 51. Tiga Orang Lelaki
52 52. Lamaran?
53 53. Lamaran? (2)
54 54. Apakah Harus Gagal Untuk Kedua Kalinya?
55 55. Beneran Dilamar
56 56. Persiapan Pernikahan
57 57. Sah!
58 58. Malam Penuh Cinta
59 59. Papa, Aku Menyayangimu
60 60. Ken Cemburu (Lagi?)
61 61. Kamu Adalah Rezeki Untukku
62 62. Peta Kehidupan Ken
63 63. Gina
64 64. Hadiah Dari Ibu Mertua
65 65. Perjalanan Ke Paris
66 66. Aku Percaya!
67 67. Rencana Shopping Dengan Ibu
68 68. Shopping Bersama Ibu
69 69. Drop
70 70. Perdebatan
71 71. Gosip Tentang Ken
72 72. Mama Masuk Rumah Sakit
73 73. Bertengkar Dengan Dinda
74 74. Permintaan Tante Wira
75 75. Permintaan Dinda
76 76. Palsu?
77 77. Maaf
78 78. Habibati
79 79. Suamiku Yang Baik
80 80. Berdebat Dengan Elsa
81 81. Pilih Agama
82 82. Ketemu Tante Wira
83 83. Datang Tiba-tiba
84 84. Datang Tiba-tiba (2)
85 85. Perjalanan Pulang
86 86. Pertemuan
87 87. Ragu
88 88. Terimakasih Tuhan
89 89. Posesif
90 90. Maaf Jika Aku Menyusahkan Kamu
91 91. Jaga Jarak
Episodes

Updated 91 Episodes

1
Panggilan Dadakan
2
Pembatalan Sepihak
3
Perjalanan Pulang
4
Candaan Teman-teman
5
Sampai Di Rumah
6
Bernafas Sejenak
7
7. Harapan Mama
8
8. Mata Mama Berkaca-kaca
9
9. Mengurung Diri Di Kamar
10
10. Pengumuman: Aku Gagal Nikah
11
11. Karyawan Baru
12
12. Saat Semuanya Serba Salah
13
13. Pulang
14
14. Semua Salah Rara?
15
15. Arif Jadi Nikah?
16
16. Monika Ariella
17
17. Bertemu Arif
18
18. Gara-gara Enggak Cantik
19
19. Segala Rasa
20
20. Tuduhan Arif
21
21. Sabar Rara!
22
22. Naik Jabatan
23
23. Bertemu Papa
24
24. Nyaris Ditilang
25
25. Rara Yang Berprestasi
26
26. Mencari Mbak Yuni
27
27. Tangis Rara
28
28. Makan Siang Bersama Ken
29
29. Diantar Pulang Oleh Ken
30
30. Pesan Dari Ken
31
31. Bianca Minta Dicomblangi
32
32. Ken Datang Berkunjung
33
33. Gosip
34
34. Maaf, Aku Tidak Mau Ghibah!
35
35. Pengakuan Ken
36
36. Curhat Arif
37
37. Membesuk Mbak Yuni
38
38. Sebuah Tamparan Untuk Arif
39
39. Gosip Tentang Rara
40
40. Ujian Lagi?
41
41. Penjelasan Ken
42
42. DESAKAN MAMA
43
43. Ulang Tahun Yang Membawa Masalah
44
44. Perempuan-perempuan Di Sekeliling Ken
45
45. Perempuan-perempuan Di Sekeliling Ken (2)
46
46. Bertemu
47
47. Air Mata Buaya
48
48. Tamu Itu Adalah Papa
49
49. Seseorang Yang Selalu Ada
50
50. Terlambat
51
51. Tiga Orang Lelaki
52
52. Lamaran?
53
53. Lamaran? (2)
54
54. Apakah Harus Gagal Untuk Kedua Kalinya?
55
55. Beneran Dilamar
56
56. Persiapan Pernikahan
57
57. Sah!
58
58. Malam Penuh Cinta
59
59. Papa, Aku Menyayangimu
60
60. Ken Cemburu (Lagi?)
61
61. Kamu Adalah Rezeki Untukku
62
62. Peta Kehidupan Ken
63
63. Gina
64
64. Hadiah Dari Ibu Mertua
65
65. Perjalanan Ke Paris
66
66. Aku Percaya!
67
67. Rencana Shopping Dengan Ibu
68
68. Shopping Bersama Ibu
69
69. Drop
70
70. Perdebatan
71
71. Gosip Tentang Ken
72
72. Mama Masuk Rumah Sakit
73
73. Bertengkar Dengan Dinda
74
74. Permintaan Tante Wira
75
75. Permintaan Dinda
76
76. Palsu?
77
77. Maaf
78
78. Habibati
79
79. Suamiku Yang Baik
80
80. Berdebat Dengan Elsa
81
81. Pilih Agama
82
82. Ketemu Tante Wira
83
83. Datang Tiba-tiba
84
84. Datang Tiba-tiba (2)
85
85. Perjalanan Pulang
86
86. Pertemuan
87
87. Ragu
88
88. Terimakasih Tuhan
89
89. Posesif
90
90. Maaf Jika Aku Menyusahkan Kamu
91
91. Jaga Jarak

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!