GARA-GARA NGGAK CANTIK
Saat ini aku sedang berada di sebuah cafe yang berada di bilangan Blok M, bersama dengan ketiga sahabatku; Aya, Dini dan Risa, merayakan hari terakhir sebelum besok aku harus menjalani prosesi pingitan seperti yang diinstruksikan oleh mama. Menjelang tujuh hari menuju pernikahan.
"Ya ampun, enggak nyangka ya, ternyata di antara kita berempat, Rara duluan yang nikah. Padahal yang paling semangat ngomongin masalah nikahan itu adalah Aya." ungkap Dini, mengingat kembali kebiasaan kami di bangku kuliah.
"Iya ya. Kok malah Rara duluan yang nikah. Padahal dari dulu Rara terbilang cuek kalau kita bahas Ikhwan. Kayak alergi gitu." kata Aya yang diaminkan oleh kedua sahabatku.
"Ingat nggak, ada anak yang pernah ngedeketin Rara, terus Rara sampai marah-marah gara-gara dikirimi surat cinta. Sampai-sampai anak tersebut ketakutan dengan Rara." timpal Dini lagi.
"Iya iya. Namanya Dirga, padahal anaknya lumayan kan?" Aya semakin semangat membahasnya.
Aku tidak berani menimpali, hanya mendengar sambil senyum-senyum karena semua yang dikatakan sahabatku benar. Sejak zaman sekolah hingga kuliah, aku tidak pernah tertarik membahas masalah Ikhwan. Hanya fokus menyelesaikan studi dengan nilai terbaik agar bisa diterima kerja di perusahaan yang aku idamkan. Yaitu R Grup.
"Begitulah namanya jodoh. Kalau sudah datang, mau secuek apa juga enggak bakalan bisa ngelak." Risa bicara dengan gayanya yang bijaksana.
"Apa karena sikap Rara yang cuek, makanya Allah kasih bonus cepat nikah biar Rara merasakan betapa indahnya cinta," kata Aya.
"Jangan ngomong cinta indah mulai, bukannya kamu paling sering nangis gara-gara cinta, Ay? Mulai dari inhwannya nolak kami hingga putus di tengah jalan." ucap Dini.
"Iya juga sih, makanya aku pengen kayak Rara, sekali jatuh cinta langsung dinikahi. Rasanya pasti nikmat sekali. Enggak tahu yang namanya patah hati. Hanya ada bunga-bunga cinta!" Aya bicara penuh semangat.
Sepekan lagi acara pernikahan itu. Memang sebelumnya tidak terpikir olehku akan menikah di usia dua puluh dua tahun.
Lulus kuliah, aku langsung melamar kerja di perusahaan R grup yang bergerak di bidang toko buku dan penerbitan. Sesuai dengan passionku sebagai seorang editor. Siapa sangka disanalah aku bertemu jodoh yang tidak lain adalah orang yang juga melamar kerja di waktu yang sama denganku. Hanya saja ia melamar sebagai seorang wartawan.
Tahun pertama tidak ada komunikasi yang berarti antara kami. Sama-sama fokus dengan pekerjaan. Hingga memasuki tahun kedua, tiba-tiba ia mengajukan proposal taaruf melalui kak Gita, guru sekaligus seniorku di kantor.
Dua pekan ia memperkenalkan diri secara intens lewat proses ta'aruf, aku mulai terbuka dan memberinya kesempatan untuk mengenal dekat hingga ia memberanikan diri datang ke rumah beesama orang tuanya untuk melamar.
Berdasarkan hasil kesepakatan, pekan depan adalah hari pernikahan kami. Sesuai dengan hasil rumbukan dua belah pihak keluarga.
Tring. Hapeku berbunyi, sebuah pesan dari Arif. Lelaki yang akan mempersuntingku.
[Bisa ketemu sekarang?] katanya.
[Ada apa?] tanyaku.
[Aku tunggu di rumah kak Gita.]
[Ada yang penting? Nanti saja, aku sedang bersama teman-teman. Kalau mendesak wa saja.]
[Enggak bisa. Harus segera ketemu.]
[Duh, kok dadakan sekali?]
[Maaf, tapi ini penting Ra.]
[Ya udah, aku ke sana sekarang. Tapi mungkin baru sampai satu jam-an, soalnya sekarang lagi di Kebon Jeruk.]
[Ya sudah, tidak apa-apa.]
Kenapa tiba-tiba ingin bertemu. Jangan-jangan ada hal penting yang harus segera disampaikan. Mungkin tentang tamu undangan yang terlupakan, pakaiannya yang tidak cocok atau justru mahar yang belum juga ia dapatkan.
Untuk mengetahui semuanya, maka kuputuskan untuk segera ke rumah kak Guna di kawasan Jakarta Selatan, bersebalahan dengan kampung tempatku tinggal.
"Yah Ra, acara kita kan belum selesai. Nanti aja ketemu Arif nya." Aya protes gara-gara aku pamit pulang duluan.
"Maaf ya, tapi ini sepertinya penting," kataku. Sambil melihat ke luar cafe, berharap jalanan tidak macet.
"Belum nikah kamu udah mulai enggak asyik nih," Aya masih protes.
"Ya maaf deh, aku janji besok enggak begini lagi." Kataku.
"Tapi kan makanannya belum habis, Ra." kata Aya lagi.
"Iya Ra, kita belum foto-foto lho," tambah Dini.
"Iya ya. Tapi mau bagaimana lagi. Arif udah di rumah kak Gita. Aku enggak enak kalau harus ganggu kak Gita lagi." kataku, berharap ketiga sahabatku mengerti. "Ini hari libur, aku khawatir kak Gita punya agenda dengan keluarganya."
"Yah Rara, enggak asyik." Aya masih belum terima.
"Ya udah, pergi aja Ra. Besok kami samperin ke rumah kamu aja." tukas Risa. "Biarin Rara pergi ya, siapa tahu ada hal yang sangat penting." kata Rusa pada Aya dan Dini.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi ingat, besok pulang kerja kami mampir ke rumah kamu lho Ra!" kata Aya.
"Iya Ra. Kosongkan jadwal kamu ya." pinta Dini.
"Siap." aku mengacungkan ibu hari. "Terimakasih banyak ya sahabat-sahabatku. Semoga semua impian kita terwujud." bisikku, sambil memeluk mereka satu-persatu. "Oh ya, makanannya udah aku bayar ya!" aku segera berlalu sebelum ada yang sampai komplen gara-gara aku harus pergi duluan.
***
Benar saja dugaaanku, Jakarta jam segini, meski akhir pekan masih saja macet. Untung saja tadi aku berangkat naik motor, jadi bisa nyalip-nyalip atau jalan lewat gang kelinci. Kalau tidak begitu bisa berjam-jam di jalanan.
Setengah jam kemudian aku sudah sampai di depan rumah kak Gita. Suasana sangat menyenangkan sekali. Rumah dua lantai yang dibangun dengan tipe lima puluh empat. Ada taman kecil di depannya, lengkap dengan kolam dan air mancurnya.
Meski ibu bekerja, tapi rumah kak Gita terbilang sangat asri. Banyak tumbuhan hijau di halamannya. Ditambah dua pohon jambu dan mangga yang membantu menyumbang oksigen untuk orang-orang di sekitarnya.
Aku selalu berharap, nanti kalau sudah menikah ingin punya rumah seperti ini juga. Mungkin kami memang harus menabung ekstra keras mengingat harga tanah di pinggir jalan raya untuk wilayah Jakarta sudah tidak murah lagi.
Tapi yang namanya mimpi memang seharusnya digantung setinggi mungkin. Tinggal kuatkan usaha dan doa, selanjutnya biar Allah yang menentukan apakah kita layak mendapatkannya atau tidak.
"Tante Rara!" panggilan seorang anak perempuan berusia enam tahun. Namanya Aurel, ia anak bungsu kak Gita saat ini, sebab aku tidak tahu apa mereka akan menambah anggota lagu atau tidak. Anaknya sangat ramah sekali. Hanya butuh beberapa jam saja maka kita sudah dekat dengannya.
Memang lebih mudah dekat dengan Aurel ketimbang dua kakaknya yang cenderung kalem dan tidak terlalu suka berbincang dengan orang lain.
"Assalamualaikum sayang, bunda ada?" tanyaku.
"Eh iya, lupa. Assalamualaikum Tante Rara!"
"Wa'alaikumussalam Aurel."
"Bunda ada di dalam. Sama om yang itu lho," Aurel mengedipkan sebelah matanya. Anak ini memang sudah pandai sekali menggodaku. Entah siapa yang mengajarinya. Tetapi jika aku dan Arif menjalani ta'aruf, maka ia akan mulai beraksi.
"Kalau begitu Tante Rara masuk dulu, ya." aku melambaikan tangan, bergegas masuk ke rumah kak Gita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
QQ
Mampir dulu.
Bahasanya ringan sehingga mudah dipahami 👍👍👍
2022-09-29
0
pinnacullata pinna
halo thor aku mampir dan memberikan like dukung juga novelku cinta adalah sebuah perjalanan yang indah 🙏
2021-01-06
0
Sept September
semangat kakakkkk 🤗
2020-09-12
0