Beberapa saat aku tidak mendengar suara Mama ataupun Dinda. Entah apa yang mereka lakukan. Ada banyak tanya di hatiku, tapi masih tidak sanggup untuk sekedar masuk melihat mereka.
"Enggak ma. Kak Rara memang enggak boleh terluka lagi, tapi mama juga sama. Jangan luka lagi. Kalau semua laki-laki sejahat papa dan si Arif, Dinda enggak rela. Dinda akan membuat perhitungan pada mereka agar bisa menghargai perempuan!"
"Din!"
"Ma, Dinda juga sakit melihat mama dan kak Rara diperlakukan seenaknya oleh lelaki. Dinda enggak terima, ma. Dinda sakit hati. Tapi Dinda juga enggak bisa diam saja, hanya jadi penonton. Biarkan. Dinda memberi mereka pelajaran!"
"Din, sudah, jangan diperpanjang. Kita pura-pura tidak terjadi apa-apa saja. Boleh kan, nak?"
"Enggak bisa, ma!"
"Demi kakak kamu, Din. Boleh kan? Kamu sayang kakak kamu kan Din?"
"Sayang ma. Dinda sayang mama dan kak Rara!" dari dalam rumah terdengar suara tangis Mama dan Dinda. Di luar rumah, aku pun ikut menangis sambil menyender di tembok sebelah pintu masuk.
Sakit ya Allah ... sakit sekali rasanya saat mendengar dua orang yang aku sayangi ternyata begitu terluka. Kenapa ada lelaki seperti itu? Kenapa lelaki sejenis papa dan Arif harus hadir dan lernah menjadi bagian dari kisah perjalanan hidupku. Kenapa? Apakah aku sekuat itu hingga harus mendapatkan ujian?
Derai air mata itu makin deras. Aku benar-benar sedih sekaligus marah. Tetapi belum bisa berpikir jernih, harus melakukan apa. Mama pernah menasihati kami agar mengambil tindakan setelah dipikirkan matang-matang, kalau diputuskan saat marah besar khawatir akan timbul penyesalan nantinya.
"Kak Rara?" Dinda kaget mendapati aku ada di sebelah pintu masuk sambil terduduk menangis, saat ia membuka pintu.
Segera ku hapus sisa air mata secara kasar. Lalu bangkit. Disaat yang sama mama keluar rumah untuk melihatku.
"Din," panggil Mama.
"Kak Rara ngapain di sini?" Dinda masih kaget. Ia tidak menyangka aku ada di sini sebab biasanya kalau aku pulang maka akan terdengar suara motor.
"Ra, kamu sejak kapan di situ?" Mama meraih aku agar segera masuk ke dalam rumah.
"Ma." aku memeluk Mama erat sekali. Tidak boleh ada air mata. Aku harus kuat agar Mama kuat. Sudah terlalu banyak beban yang dipikul Mama selama ini. Begitu juga dengan air mata yang tumpah, sudah tidak dapat terhitung.
Hidup Mama sudah sangat susah selama ini. Setelah ini tidak ada yang boleh menyakiti Mama lagi. Meskipun itu adalah papa. Lelaki yang sebenarnya begitu berarti dalam hidupku. Seseorang yang kuharap entah itu nanti atau kapanpun juga akan dapat memelukku dengan penuh kasih sayang. Mengatakan bahwa ia menyayangiku, dan aku berharga di hidupnya agar aku bisa kembali merasa percaya diri dalam hidup ini. Apalagi setelah ditinggal oleh Arif begitu saja.
"Boleh ya ma, Rara telepon papa." pintaku hati-hati.
"Ra, kamu sudah dengar semuanya?" tanya mama. Terlihat jelas raut kesedihan di wajah mama. Perempuan yang secara fisiknya memang tidak terlalu cantik, tetapi hatinya luar biasa cantiknya.
"Sudah ma." aku mengangguk.
"Kak ... maafkan Dinda." adikku itu memeluk dari belakang.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Din. Ini bukan salah kamu. Apa yang kamu katakan tadi benar. Kamu, Mama dan kakak tidak salah. Papa tidak boleh berkata seperti itu pada mama. Kita menghormati papa, sayang pada papa, tapi bukan berarti membenarkan hal buruk dilakukan oleh papa pada mama. Jadi, ayo kita beritahu papa apa yang sebenarnya terjadi." kataku, setegar mungkin meski sebenarnya hati ini sudah menjadi serpihan-serpihan oleh ulah dua lelaki itu.
Ahhhh tidak. Aku tidak boleh lemah. Aku harus buktikan bahwa aku kuat. Terserah mereka melakukan hal yang sembarang pada kami, tapi itu semua tidak akan bisa menghancurkan hidupku. Aku adalah Rara Khairunnisa. Gadis kuat yang bercita-cita jadi muslimah tangguh!
"Rara telepon papa, ya ma." kataku lagi.
Tidak ada Jawa dari mulut Mama. Tapi dengan diamnya Mama tanpa mencegah, kuanggap sebagai persetujuan.
Hp milikku mulai menghubungi nomor papa. Hanya perlu berbunyi dua kali, dari seberang sudah ada jawaban.
[Ra.] kata papa. Suara yang sangat aku rindukan.
[Papa sehat?] tanyaku.
[Kenapa pernikahannya batal? Kamu main-main Ra? Mau membuat papa malu?]
[Papa, maafkan Rara ya sudah membuat papa malu.]
[Kamu itu kenapa sih? Sama saja seperti mamamu, hanya membuat papa malu!]
Aku segera menjauh dari mama sebab tidak ingin Mama terlalu mendengar, juga Dinda yang sudah menunjukkan ekspresi tidak suka dengan perkataan papa barusan.
[Papa, silakan papa keluarkan unek-unek papa terlebih dahulu, setelah itu Rara akan jelaskan semuanya.] kataku lagi.
[Papa kecewa padamu, Ra. Tapi papa paham sebab kalian besar dididik oleh mama kalian.] ungkap papa, sambil mengeluarkan semua racun di hatinya.
Sakit papa! Sudah, bisakah papa tidak menyerang Mama terus? Jangan jadikan Mama sebagai kambing hitam bila ada masalah menimpa kami? Apa papa tahu, kami juga lebih sakit dan malu lagi atas kejadian ini. Tapi kami mencoba mengikhlaskan semuanya, pa!
Sabar Rara ... sabar. Dengarkan saja apa yang papa katakan dulu agar papa puas. Setelah itu jelaskan agar papa tahu siapa yang paling bersalah dalam masalah ini.
Kata-kata penyemangat terus aku lontarkan pada diri sendiri. Sekesal apapun aku pada papa, tetap harus sopan. Ia adalah ayahku, lelaki yang darahnya juga mengalir dalam tubuhku. Mama selalu mengajarkan kami untuk hormat pada papa apapun yang terjadi.
Selesai mengeluarkan semua kekesalannya yang cukup pedas. Barulah giliran aku yang berbicara.
[Pa, pernikahan ini dibatalkan secara sepihak oleh Arif. Kami bertemu di rumah kak Gita, orang yang menjadi perantara ta'aruf Rara. Alasannya karena Rara terlalu baik untuknya.] kataku, mencoba mengurai kembali apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya sebenarnya tidak nyaman, seperti menelan pil pahit, tapi aku belajar untuk menerima, aku harus menghadapi semuanya. Menghindar hanya akan mendatangkan masalah baru. Mungkin dengan begini aku bisa lebih baik lagi.
[Sudah tau laki-laki tidak baik, kenapa dulu kamu terima? Apa Mama kalian tidak mengajarkan bagaimana mencari laki-laki baik?] tanya papa.
[Maaf pa. Ini keterbatasan kami. Papa ingat tidak, saat pertama Rara menelepon papa mengabarkan bahwa Rara akan menjalani ta'aruf? Kala itu Rara meminta papa menjadi perantara, agar Arif berhubungan langsung dengan papa sebab tidak mungkin mengakrabkan diri dengan mama karena mama bukan mahram Arif. Tapi papa tidak memberikan jawaban apapun sehingga Rara memutuskan memproses dengan bantuan kak Gita dan suaminya. Makanya hasilnya seperti ini, pa. Maafkan Rara.]
[Kamu mau menyalahkan papa, Ra?]
[Tidak ada maksud sedikitpun, pa. Rara memberitahu ini agar papa tahu betapa rumitnya kami tanpa sosok papa. Semoga dengan apa yang menimpa Rara, kedepannya tidak terjadi lagi pada Rara ataupun Dinda. Mohon papa berkenan membimbing kami.
Memang benar Mama sudah menjaga kami dengan sangat baik. Mendidik kami juga dengan didikan yang sesuai syariat meskipun kadang Rara dan Dinda melakukan kesalahan-kesalahan, itu diluar kendali Mama.
Rara sangat berterima kasih pada Mama. Tapi Rara juga sadar Pa, Mama hanyalah perempuan biasa yang tidak mungkin mampu mengendalikan pikiran orang lain, termasuk pikiran papa dan Arif.]
[Ahhhh sudahlah. Terserah kalian saja.]
[Pa, ridhai Rara ya.]
[Hm. Papa tutup dulu. Papa sudah pusing?]
Pembicaraan antara aku dan papa berakhir. Meskipun tidak ada kata maaf dari papa untuk mama, tapi setidaknya aku puas sudah menyampaikan secara halus apa yang mengganjal hatimu selama ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Lisa Magdalena
papanya rara dan arif. harus di rukiyah. kal tidak mempan bacakan ayat kursi. 😊😊😊
2022-11-10
0
Andi Fitri
papanya rara sm arif bagus di kebiri aja tuh thor..😂😂
2020-08-27
2
Ulat_bulu
dih papa nya egois begete
2020-08-17
2