Rasanya gelisah sekali mendengar obrolan Risa dan Aya. Apalagi kalau sesekali Dinda datang untuk menimpali. Aku yang biasanya senang ngobrol kini memilih bungkam, terutama kalau objeknya menjurus pada pernikahanku. Pernikahan yang gagal. Tapi mereka semua belum tahu. Rasanya belum siap untuk memberitahu sekarang. Mulutku masih kelu. Aku butuh sedikit lagi waktu. Tapi bisakah mereka tidak bicara apapun lagi. Sebentar saja? Setidaknya sampai perasaanku tenang.
"Ra, kok diam saja?" tanya Risa.
"Wajar, calon pengantin pasti banyak pikirannya." cetus Aya.
"Alah, kayak udah ngalamin aja kamu." Risa bersungut-sungut.
"Mungkin Rara lagi mikirin Arif. Iya, kan Ra? Baru juga tadi ketemu, udah dipikirkan saja." Aya malah mencandaiku. "Kamu pasti bahagian sekali ya Ra."
"Ra, nanti kalau udah nikah, janji enggak berubah ya!" pinta Risa, sambil menggenggam erat tanganku. "Kata orang, teman yang sudah nikah itu biasanya berubah soalnya yang lebih utama bagi dia adalah suami dan keluarga barunya. Sementara teman lama lama-kelamaan akan dilupakan."
"Oh, sok tahu banget sih kamu Ris. Rara enggak akan seperti itu. Iya kan Ra? Lagipula Arif kan bukan orang asing. Ia sudah beredar di lingkungan kita." tambah Aya.
"Iya ya, untung saja kita berempat satu kantor sama Arif, jadi udah saling kenal. Enggak akan canggung. Hihihi," Risa tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
Sudah, aku sudah tidak tahan lagi. Akhirnya air mata itu tumpah juga. Aku bahkan tidak peduli dengan masker yang masih menempel. Kulepaskan secara paksa agar tidak mengganggu.
"Ra, kamu nangis?" tanya Risa, ia terlihat kaget.
"Ya Allah Ra," Aya ikutan memegang tanganku.
Aku benci situasi seperti ini. Benar-benar membuatku tidak nyaman. Kenapa semua ini terjadi? Rasanya ingin mengurung diri di kamar atau pergi ke tempat yang tidak ada orangnya sehingga aku bisa puas menumpahkan perasaan yang begitu campur aduk.
Arif, kamu benar-benar jahat! Kenapa semuanya jadi begini! Kamu tahu bagaimana kacaunya aku sekarang?
"Ra," Risa mengguncang pekan lenganku.
"Hiks," aku menghapus sisa air mata. "Aku enggak apa-apa kok." kataku, mencoba tegar meski sebenarnya hatiku sudah porak-poranda.
"Ra, kami nggak nuduh kamu seperti itu. Kamu tahu kamu enggak akan mungkin melupakan kami bertiga. Iya, kan Ra. Kita selaku menghabiskan waktu bersama-sama. Persahabatan kita itu udah dekat banget, bahkan sampai berandai akan menjadi besanan nantinya. Jadi kamu jangan sedih apalagi tersinggung ya Ra. pinta Aya. "Risa sih, pakai ngomong kayak gitu segala. Rara jadi enggak nyaman, kan?" kini Aya menyalahkan Risa.
Persahabatan kami berempat memang sudah terjalin sejak di bangku sekolah dasar. Saking ingin selalu bersama, kami sampai kuliah di jurusan yang sama. Melamar pekerjaan pun di kantor yang sama.
Tuhan memang sepertinya mengizinkan persahabatan ini sehingga kamipun bisa lolos di tempat yang sama. Padahal rencananya saat itu perekrutan untuk jurusan kamu hanya tiga orang. Tapi kami berempat sama-sama lolos.
"Duh, maaf Ra," Risa langsung memelukku. "Aku enggak bermaksud seperti itu. Maaf ya Ra!"
"Enggak apa-apa kok," kataku, masih dengan suara terisak-isak. Berusaha meredakan tangis yang sudah tertahan sejak tadi, tapi enggak juga mau reda.
"Ra," dua sahabatku itu memelukku erat-erat.
"Lho, Rara kok nangis?" tanya mama yang hendak keluar dan mendapatiku menangis dalam pelukan kedua sahabatku.
"Itu Tante, maaf, tadi Risa ngomong sesuatu. Mungkin Rara tersinggung." Risa masih terlihat merasa bersalah.
"Ra, kenapa nak?" Mama membelai pelan pundakku.
"Enggak apa-apa, Ma. Rara hanya kangen masa-masa kebersamaan dengan teman-teman." aku terpaksa berbohong. Benar-benar kamu Arif, gara-gara kamu aku jadi terjebak seperti ini!
Mungkin ini yang dinamakan naluri seorang ibu, Mama langsung yakin bahwa ada sesuatu yang tidak ber3s terjadi padaku. Ketika Risa dan Aya pqmit pulang, Mama langsung mengajakku masuk, kami duduk di sofa ruang tamu.
"Ra, ayo sini." Mama membimbingku. "Ra, mau bicara sama mama?" tanya mama, pelan, sambil mengusap pelan rambutku.
"Enggak." kataku.
"Ra, Mama tahu kamu sedang butuh teman ngobrol. Kalau ada yang mau diomongin, bicara sama mama saja. Apa ini ada hubungannya dengan Arif?"
Aku mengangguk.
"Kalian bertengkar?"
Aku menggelengkan kepala.
"Lalu?"
"Tapi Mama janji satu hal." pintaku.
"Apa?"
"Jangan marah apalagi sedih."
"Itu dua hal, Ra! Tapi apa masalahnya rumit?"
"Iya, sama saja ma."
"Ya sudah, bicaralah."
"Rara mau tanya dulu."
"Kamu mau tanya apa, Ra?"
"Apa harapan terbesar Mama untuk Rara dalam waktu dekat ini?"
"Ra," Mama menyapu pelan rambutku, lalu kedua mata Mama menerawang jauh ke depan. "Mama berharap setelah menikah nanti kamu tinggal di dekat Mama. Kalau mau, bisa tinggal di rumah ini atau mungkin ngontrak di sekitar sini untuk sementara waktu. Yang penting mama bisa lihat kamu saat pagi dan malam hari.
Sejujurnya Mama belum siap kalau setelah kamu menikah langsung pindah jauh. Mama takut kangen kamu Ra. Kamu kan tahu, kalian berdua adalah harta berharga Mama. Tidak ada lagi yang Mama miliki selain kalian berdua.
Tapi kalau Arif tidak mau, Mama enggak marah kok. Mama masih bisa mengunjungi kalian sore harus selepas kerja." ungkap Mama sambil tersenyum.
Lagi-lagi netraku berkaca-kaca. Lalu tanpa izin, air mata mengalir dengan derasnya. Sungguh, membuatku sangat kesal sekali.
"Mama tahu Ra, kalian pasti butuh privasi, makanya Mama sebenarnya membebaskan kalian. Itu hanya sebuah harapan saja, kalau tidak bisa diwujudkan tidak apa-apa. Yang penting pernikahan kalian bahagia selalu, awet hingga menutup mata." tambah Mama.
Ya Tuhan ... andai Mama tahu. Tidak akan ada yang namanya pernikahan antara aku dan Arif.
"Ma, kalau begitu, Rara akan selalu ada di sisi Mama." kataku. Aku langsung menghambur dalam pelukan Mama, rasanya tidak ingin melepasnya. Tapi aku harus terlihat tegar agar tidak jadi pikiran untuk mama.
"Lho, ya jangan. Kalau sudah menikah, kamu harus hidup bersama Arif. Biarkan ia yang menentukan dimana kalian akan tinggal. Kamu tahu Ra, salah satu alasan perceraian papa dan mama karena mama tidak mampu menuruti keinginan papamu. Mama terlalu naif Ra, mengira bahwa dengan memberikan solusi terhadap lelaki bisa membantu mereka, tetapi itu salah.
Ada beberapa laki-laki yang tidak suka didikte, Ra. Kamu harus pahami itu. Jangan pernah melakukan kesalahan-kesalahan yang sama seperti yang pernah Mama lakukan." pinta Mama.
Tidak, aku sangat tahu bagaimana menurutnya Mama pada papa selama mereka menikah. Semua pengorbanan Mama. Tetapi kerasnya papa yang membuat perceraian itu akhirnya terjadi juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Fitri An
kok gx ngomong2 to mbak rara.. yang tegas donk, biar gx bertele2
2022-11-04
0
Maya Sari Niken
bnyak kata2 diulang2 maknanya jadi bosan
2020-11-22
2
Nur Harahap
Semangat
2020-09-06
0