"Ra, enggak apa-apa, kan?" kak Gita menyentuh pekan pundakku, sehingga semua lamunan itu jadi buyar, hanya tersisa air mata yang masih saja mengalir deras.
Seumur-umur baru kali ini dihina orang. Rasanya benar-benar sakit, menusuk ke jantung. Apalagi oleh orang yang sudah sempat singgah di hati kita. Ya Allah .... aku hanya bisa membatin.
"Arif itu benar-benar jahat!" ungkap Aya. "Awas saja nanti, kalau masuk kantor, akan aku beri dia pelajaran!" Aya mengepalkan jarinya. "Kamu sih Ris, main tampar saja. Aku jadi kaget, makanya lupa untuk menghantamnya. Padahal aku yakin pukulanku lebih keras dari pada kamu."
"Enak saja. Tamparanku tadi keras lho. Lihat kan pipinya Arif sampai merah." kata Risa.
"Enggak nyangka kamu bisa juga main tangan, Ris." kata Dini.
"Ra," kak Gita beralih padaku.
"Kak, Rara boleh izin hari ini bolos enggak?" tanyaku, sambil menghapus kasar sisa air mata.
"Kamu mau pulang, Ra? Kakak antar ya?" kak Gita menawarkan bantuan.
"Enggak usah kak. Rara mau keliling dulu." aku segera berlalu meninggalkan mereka berempat menuju parkiran.
Tas kerjaku sebenarnya masih ada di dalam kantor. Tetapi aku malas untuk masuk. Di saku ada Hp dan kunci motor. Sementara di jok motor ada dompet yang selalu kuletakkan di sana sebab khawatir kalau pergi-pergi kelupaan membawanya.
Motor mulai kulajukan, dengan pikiran menerawang jauh ke depan.
Jadi benarkan, pernikahannya gagal bukan karena aku terlalu baik. Justru karena aku banyak cacatnya makanya ia meninggalkan aku.
Lagi-lagi bulir bening itu kembali mengalir deras. Cantik, mengapa harus itu yang membuatku terluka.
***
Entah sudah berapa lama aku berada di depan bangunan bertuliskan salon kecantikan. Tiba-tiba aku tersadar karena ditegur oleh seorang satpam.
"Mbak mau masuk?" tanya satpam tersebut, sambil tersenyum membukakan pintu kaca.
Aku tidak menjawab, hanya melangkah beberapa langkah hingga posisiku berada di dalam salon muslimah tersebut. Kemudian kembali diam. Bingung harus melakukan apa.
Ini pertama kali aku menginjakkan kaki di salon. Sebenarnya dulu teman-temanku pernah mengajak nyalon bareng, tapi aku menolak sebab aku bukan tipikal orang yang suka dandan. Aku lebih suka alami, apa adanya.
Biasanya kalau berangkat kerja, pakai gamis dan kerudung panjang. Wajah benar-benar tanpa polesan, meski hanya bedak.
"Ada yang bisa dibantu, mbak?" seorang resepsionis tersenyum ramah padaku.
"Hmmm, aku mau ... salon, itu, mau nyalon." kataku ragu-ragu, khawatir salah bicara sebab bingung mau melakukan apa di sini. Datang ke sini saja benar-benar enggak sadar. Melangkah begitu saja. Mungkin inilah yang dinamakan dengan bawaan alam bawah sadar. Aku diminta ke salon, yang dianggap sebagai kata kunci untuk obat sakit hati karena disebut tidak cantik. Tapi apa ia, nyalon bisa bikin cantik?
"Ada banyak treatment yang bisa mbak jalani untuk tampil cantik. Mbak mau nyoba yang mana?" ia menawarkan brosur berisi berbagai jenis perawatan, lengkap dengan harganya sehingga membuat aku tercengang.
Maskeran saja bisa ratusan sampai jutaan. Itu maskernya pakai apa? Sayang sekali rasanya. Belum lagi lasser, tanam benang dan entah apalagi. Aku benar-benar enggak mengerti. Kepalaku pusing. Apa cantik semahal ini?
"Mau bersihin wajah sama creambath aja." Kataku, sambil membuka dompet. Mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu sesuai nominal yang tertera di kertas paket perawatan yang ditawarkan.
Bye tiga ratus ribu. Maaf, kamu harus terbuang supaya aku agak cantikan sedikit!
Aku masuk ke ruang perawatan. Lalu membuka hijab dan mulai di creambath. Selama proses perawatan, pikiranku melayang-layang, membayangkan wajah cantik Monika.
Memang benar yang dikatakan Arif, kalau aku tidak ada apa-apanya dibandingkan Monika. Dia cantik, sementara aku jauh dari kata tersebut. Kulit Monika putih, sedangkan kulitku kuning. Hidungnya Monika mancung, sedangkan hidungku pas-pasan.
Baru hendak membandingkan lagi, tiba-tiba aku tersadar. Kenapa juga harus minder. Kan sama-sama makhluk Allah. Begitu selalu Mama menyemangati saat aku bercerita tentang teman-teman sekolah yang cantik-cantik.
"Mbak, saya bisa cantik nggak sih?" pertanyaan asal-asalan itu meluncur begitu saja pada mbak yang melayaniku creambath.
Ia melihatku sekilas, lalu mengangguk. "Mbak sudah cantik, kok. Mungkin hanya kurang perawatan saja. Makanya kulit wajahnya kusam. Pasti jarang membersihkan wajah ya. Juga jarang pakai pelembab saat keluar rumah, terutama di bawah sinar matahari." kata mbak tersebut. Ia menyebutkan perbedaan kulit wajahku yang tertutup dengan tidak. Ada garis hitam efek terbakar sinar matahari begitu kerudung di lepas.
"Bukan jarang lagi, tapi enggak pernah." aku menjawab jujur, apa adanya.
"Pantaslah, karena itu wajah mbak kusam dan berjerawat. Coba dibersihkan, terus rajin pakai pelembab saja pasti nanti hitam-hitamnya pelan-pelan hilang."
"Benar mbak?"
"Iya. Saya juga dulu hitam dan maaf agak dekil kayak mbak, tapi setelah ngerti dandan jadi lumayan kan."
"Iya sih." aku mengangguk-angguk. Sebenarnya agak tersinggung dikatakan dekil, padahal pakaianku sangat bersih, tapi ya sudahlah. Aku terima saja penilaian mbaknya.
Setelah selesai, aku lanjut facial dan melakukan beberapa perawatan untuk kulit wajah. Rasanya nyaman juga. Pegal-pegal hilang, wajah juga jadi agak enteng. Mungkin karena debunya udah tebal sekali. Maklumlah, sejak kecil enggak pernah dibersihkan kecuali dengan sabun mandi.
Saat perawatan yang kujalani hampir selesai, tiba-tiba dari ruangan sebelah terdengar suara jeritan. Aku langsung melirik mbak yang menerapi, meminta penjelasan.
"Itu sedang di lasser, mbak. Biasanya banyak jerawat. Makanya sampai teriak-teriak nahan perih. Atau lagi treatment lain. Saya juga enggak tahu pasti." jawabnya dengan ramah.
Tidak lama keluar seseorang sambil meringis menuju kamar mandi yang ada di ujung lorong. Wajahnya bengkak. Lagi-lagi aku bertanya.
"Itu habis operasi biasanya mbak. Mau mancungin hidung." kata mbak tadi.
"Hah, mancungin hidung?" aku melonjak kaget. Yang mau dimancungkan hidung tapi kenapa wajahnya yang memerah dan terlihat bengkak.
"Efek obatnya mbak. Tapi untung kalau operasi di tempat yang benar seperti di sini. Coba operasinya di tempat yang abal-abal. Bisa-bisa malah ada yang sampai infeksi wajahnya."
"Ya Allah ...."
Mendengar jawaban dari mbak tersebut, aku jadi ngeri sendiri. Keras juga ternyata perjuangan supaya jadi cantik. Apalagi ada yang sampai harus menjalani operasi, sedot-sedotan hingga tanam tanam benang.
Apa mereka enggak trauma dengan sakitnya? Aku saja membayangkan sudah langsung merinding. Ingat ketika pernah dirawat di rumah sakit karena tifus saja rasanya sudah enggak snagguo. Tangan harus diinfus. Beberapa kali disuntik. Sungguh membuatku kapok. Aku enggak berani.
Padahal zaman dahulu para muslimah sibuk memperbaiki akhlaknya. Enggak hanya fokus untuk memperbaiki penampilan. Ya Allah ... Astagfirullah.
"Mbak, sudah selesai." kata terapis tersebut padaku.
"Hah, oh sudah ya mbak. Maaf saya melamun. Soalnya enak wajahnya dipijit-pijit begitu. Padahal ini pertama kalinya lho mbak." kataku.
"Wah, jangan-jangan karena mau nikah ya makanya treatment."
"Hahaha," aku geleng-geleng kepala. Kenapa harus dibahas sih mbak? Saya memang mau nikah, tapi kan sudah dibatalkan.
Karena khawatir mbak tadi bicara lagi dan membuta hatiku yang sedang sensitif tersinggung, makanya aku buru-buru pergi dari salon kecantikan tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Citra Ade Purnama
weiiiz rara nyalon juga hihihi
2020-08-03
1
Sindi Kartika Putri
go rara go rara go🤗
2020-08-02
1
Ivan S Amhar
bagus
2020-08-01
1