"Heh, tunggu dulu," kak Gita menahan langkahku Arif yang hendak keluar. "Jangan pulang dulu!"
"Kenapa kak?" tanya Arif, balik lagi menatap kak Gita. Wajahnya kembali memucat, mungkin khawatir akan ditanyai lagi.
"Bagaimana dengan orang tua, Rara? Tamu-tamu yang sudah diundang, persiapan pesta?" tanya kak Gita. "Apa pertanggungjawaban kamu? Kapan kamu mau bicara dengan orang tua Rara? Lalu bagaimana dengan pembayaran catering. Terus cara menghubungi tamu-tamu yang sudah terlanjur diundang?"
"Gimana, Ra?" dengan entengnya Arif bertanya balik.
Aku yang semula berusaha bersikap tenang meski jantung dah dig dug, ingin sekali memukul kepala Arif sekuat mungkin. Tapi kutahan sambil mengucapkan istighfar berulang kali. Sabar Rara, sabar. Dia adalah ujian untukku!
"Ra!" panggilnya lagi, ia tampak tidak sabaran. Padahal masalah ini Arif yang menimbulkan, tapi malah menyuruhku mencari solusinya.
"Kok tanya Rara. Ya kamu dong yang cari solusinya. Kan kamu yang awalnya ngelamar Rara, setelah disetujui, malah kamu yang membatalkan secara sepihak tanpa penjelasan yang masuk akan. Kalau begini aku malah curiga, jangan-jangan ...." kak Gita menatap Arif dengan penuh kecurigaan.
"Kalau dengan orang tuaku, urusannya sudah beres, kak." cetus Arif. "Mereka sudah tidak ada masalah. Aku sudah jelasin baik-baik."
"Orang tua kamu terima-terima saja?" tanya kak Gita.
"Iya kak. Namanya juga tidak cocok, ya bagaimana lagi. Masa harus dipaksakan!" tutur Arif.
"Ya Tuhan, anak ini!" kak Gita ingin menerjang Arif, tapi suaminya dengan sigap menangkap tubuh kak Gita, memeluknya dari belakang agar kak Gita tidak jadi mencakar muka Arif. "Lepas yah. Lepaskan bunda. Biar bunda cakar mukanya. Biar dia tahu rasa. Laki-laki kok kayak begini. Enggak punya perasaan. Enggak punya hati. Dia kira membatalkan pernikahan yang sudah dipersiapkan semaksimal mungkin segampang ngebatalin pesanan makanan di cafe. Itu saja kamu bisa diomelin. Bahkan mungkin kamu harus tetap bayar seharga pesanan kamu. Tapi bukannya mikir ke sana, kamu justru hanya memikirkan diri sendiri. Jahat kamu, Rif. Jahat banget!" tunjuk kak Gita tidak beralih dari Arif. Ia masih berusaha melepaskan diri dari mas Fian agar bisa menyerang Arif.
"Lho, masalahnya apa lagi, kak?" Arif masih bertanya dengan polosnya.
"Dasar kamu ya, Rif. Lama-lama habis juga kamu olehku. Masa kamu cuma mikirin diri sendiri. Lalu Rara bagaimana?" tanya kak Gita
"Urusan keluarga Rara ya dia yang beresin, kak. Kok aku?" Arif masih memasang wajah polosnya.
"Dasar kamu ya!" kak Gita makin meradang. Siap menerjang Arif. Bahkan kakinya sudah memasang kuda-kuda.
"Udah Rif, mending sekarang kamu pergi," mas Fian berusaha mengusir Arif agar segera angkat kaki karena sudah kewalahan menahan berat tubuh kak Gita yang memang lebih besar dibandingkan mas Fian.
Mungkin karena takut pada serangan kak Gita, atau karena memang tidak punya otak dan perasaan, Arif menuruti perintah mas Fian. Ia langsung buru-buru kabur dari rumah kak Gita tanpa mengucap salam ataupun pamit pada siapapun.
"Dasar anak enggak ada otak. Kamu kira bisa lepas dari aku. Lihat saja besok, aku cakar kamu di kantor!" seru kak Gita. "Ayah juga, kenapa harus nahan-nahan bunda segala? Biarin bunda memberinya pelajaran!" kini kemarahan kak Gita tertuju pada suaminya.
"Ya maaf sih, Bun. Kita harus sabar, menjadi penengah. bukannya memperkeruh suasana." pinta mas Fian.
"Enak saja. Dia itu tipe laki-laki tidak bertanggung jawab. Maunya apa, sih? Bikin kesal saja!" kak Gita masih mengomel.
"Bun," mas Fian memberikan isyarat bahwa di sini masih ada aku yang diam mematung sedari tadi menyaksikan pertunjukan barbar ala-ala kak Gita dan Arif.
"Ra!" kak Gita segera menuju aku, ia memelukku erat, tapi aku tidak memberikan reaksi apapun selain diam mematung. "Ra, ngomong dong Ra. Kalau kamu mau marah, maki-maki kami saja. Mau nangis juga silakan." kata kak Gita.
"Jangan sungkan, Ra," tambah mas Fian.
"Yah, pergi dulu sana. Biar Rara sama bunda dulu," pinta kak Gita yang sudah tenang.
"Kak, aku pulang ya." kataku, setelah kak Gita melepaskan pelukannya.
"Ra!" panggil kak Gita. "Kamu pasti kecewa sekali, ya?"
"Assalamualaikum!" aku menyalami kak Gita.
"Ra, kak Gita antar ya." kata kak Gita lagi, sambil meraih tanganku.
"Iya Ra. Kamu diantar Gita saja." tambah mas Fian.
"Enggak usah. Rara bawa motor sendiri, kok." kataku lagi.
"Ya udah, kamu naik mobil sama aku. Motornya dibawa mas Fian. Nanti dia ngikutin kita dari belakang." usul kak Gita.
"Nah, begitu juga tidak apa-apa." sambut mas Fian.
"Enggak usah. Aku pulang dulu ya." aku melambaikan tangan, berlalu keluar rumah kak Gita.
"Ra, hati-hati. Kalau ada apa-apa kabari kak Gita ya." pesan kak Gita.
Sampai di halaman rumah, aku langsung naik motor. Bernafas sejenak sambil menatap rumah kak Gita. Baru kemarin rasanya saat keluar rumah ini dengan hati berbunga-bunga. Saat proposal kami rasanya sama-sama cocok.
Ketika keluar dari rumah kak Gita saat itu, sempat aku dan Arif saling lempar senyum. Rasanya indah sekali. Meskipun tidak ada kata-kata yang terucap tapi aku bisa merasakan bahwa benih-benih cinta itu mulai muncul.
Tapi sekarang rasanya sungguh beda. Hampa. Aku keluar seperti mayat hidup. Tidak punya tenaga sedikitpun, lemas seperti beberapa hari tidak makan dan minum. Belum lagi perasaan yang tidak dapat diterjemahkan dengan kata-kata saking hancurnya. Bahkan aku tidak tahu harus melakukan apa terlebih dahulu.
Motor ku stater. Kak Gita dan mas Fian masih menunggu dengan harap-harap cemas. Bahkan kak Gita masih menawarkan untuk diantar.
"Pulang dulu ya kak, mas!" seruku, sambil melempar senyum yang sudah payah kubuat demi menenangkan hati mereka. Lalu motor melaju keluar rumah kak Gita.
Jalanan masih saja ramai seperti saat aku datang tadi. Kuputuskan untuk lewat jalan besar. Melewati bus kota yang lalu-lalang seenak mereka.
Tin. Suara klakson bis berukuran besar menyadarkan aku bahwa kini sudah berada di jalur busway. Buru-buru aku keluar sebelum melewati pos polisi di depan. Bisa-bisa aku kenal tilang.
Tin tin tin. Lagi-lagi suara klakson membuat jantungku berdegup kencang. Saat kepala mobil berhenti tepat di depanku.
"Mbak, hati-hati bawa motor!" seru seseorang dari balik jendela mobilnya.
"Hah," kataku.
"Mbak, cepat menepi, busway mau lewat!" lelaki di balik kemudi mobil itu menunjuk ke arah belakang, tampak busway melaju ke arahku.
Dengan sigap lelaki itu memundurkan mobilnya agar aku bisa lewat, sementara kendaraan di belakang langsung heboh. Aku yang masih kebingungan menurut saja dengan perintah orang tersebut.
Bukannya melanjutkan perjalanan, aku memutuskan untuk berhenti di bahu jalan sebab jantungku rasanya berdetak tidak normal. Sementara kendaraan yang sempat macet tadi melanjutkan perjalanan mereka sehingga macet langsung terurai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Euis Yohana
iiiiiih....pengen nonjok muka si Arif geram aku sama kelakuannya 😤🤬
2022-12-07
0
Erwin Putra Tidung
kalau berkenan baca juga novel ku
klik foto profil ku yh all😆
2020-08-20
0
Endang Oke
jahat banget laki2 begitu.dapat balasan si arif dari perbuatan jahatnya
2020-08-11
2