"Rara!" Dini, Aya dan Risa masuk ke mushalla. Mereka bertiga memelukku, tangis yang semula sudah reda menjadi deras lagi. Tapi bedanya kali ini aku tidak menangis sendiri, tapi ditemani ketiga sahabatku. Kami menangis berempat, saling berpelukan.
"Rara, tolong jangan sedih lagi ya. Kami bertiga akan selaku ada untuk kamu. Bahkan kalau kamu butuh orang untuk menghajar Arif, aku siap membantu." ungkap Dini.
"Enggak usah Din, aku enggak apa-apa kok." Jawabku.
"Ra, aku enggak tahu harus bicara apa, tapi kamu harus tahu satu hal. Bagiku kamu adalah perempuan yang baik. InsyaAllah juga akan dapat jodoh yang baik. Makanya kamu sabar ya Ra. Mungkin Arif memang bukan lelaki yang baik untukmu. Harusnya kamu bersyukur Ra, sebab Allah gagalkan sekarang, bagaimana kalau gagalnya nanti di tengah jalan. Pasti lebih sakit lagi, kan?" Aya yang biasanya cuek sekarang berubah jadi dewasa.
Tetapi apa yang dikatakan Aya memang benar. Lebih baik gagal di awal dari pada harus merasakan gagal setelah menikah atau punya anak. Aku tidak ingin seperti mama dan papa. Bercerai, lalu saling membenci. Sehingga apa yang jadi hak anak-anak tidak terpenuhi.
"Ra, sekarang apa yang bisa kami bantu?" tanya Risa.
Aku mulai menguraikan satu-persatu beban yang ada di dalam hati. Tentang undangan yang sudah terlanjur disebar. Jumlahnya seribu. Semuanya harus segera dihubungi agar nanti tidak ada yang datang di hari H.
"Kalau soal undangan, serahkan pada aku!" kata Dini. Ia yang terlahir dari keluarga kaya raya punya banyak asisten di rumahnya yang bisa diberdayakan. "Pokoknya kasih nomor Hpnya saja, nanti aku yang akan menghubungi semuanya." kata Dini.
"InsyaAllah nggak akan ada yang datang ke acara akhir pekan nanti." tambahnya lagi.
"Di rumah juga ada nasi dan snack untuk acara kajian nanti malam. Kira-kira enaknya diapain ya?" tanyaku.
"Kalau itu mudah sekali Ra. Juga bagi-bagikan saja. Suruh ibu catering ya antar ke sini saja. Dijamin habis. Kalau enggak habis juga, ada bapak-bapak ojek dan juga pejalan kaki yang lalu lalang di depan kantor. Nanti dibagi ke mereka aja. Aku yang handle!" ungkap Aya.
Inilah salah satu keberuntunganku. Punya tiga sahabat yang selalu bisa diandalkan saat apapun juga. Misalnya sekarang ini. Mereka akan selalu bergerak cepat sehingga aku tidak perlu menghadapinya sendiri.
Makanan untuk catering sudah dikirim ke kantor. Aya janji ia yang akan menghandle semuanya. Aku hanya perlu tenang saja. Sementara Dini akan melaksanakan tugasnya nanti setelah pulang kerja.
"Kalau begitu kita kembali ke rumahan masing-masing. Sudah masuk jam kantor. Aku enggak mau urusan pribadi dicampur adukkan dengan urusan kantor!" kataku. Setelah kami berempat saling berpelukan, lalu kami berpisah sebab harus kembali ke divisi masing-masing.
"Ra, ada anak baru nih yang mau masuk." kata kak Gita, selaku seniorku. Ia mengajakku ke depan untuk melihat anak baru yang akan bergabung dengan kami.
"Nama saya Ken." seorang lelaki yang mungkin seusia denganku sedang memperkenalkan dirinya. Lelaki dengan penampilan good looking, memakai kemeja biru muda dan celana kain hitam yang pas di badannya.
"Saya Biaca." lanjut seorang perempuan dengan tunggu ku perkirakan seratus tujuh puluh sentimeter, bahkan mungkin lebih sebab ia menjulang tinggi, kontras sekali dengan aku yang hanya seratus lima puluh lima sentimeter.
Bianca, ia pasti model pengganti Monica. Model lama yang baru saja resaign sepekan lalu. Entah kenapa. Padahal kontraknya belum habis. Ada yang bilang ia mau lanjut bisnis orang tuanya, tapi ada juga isu bahwa ia akan menikah.
Aku memang tidak terlalu akrab dengan Monica meski pernah dua kali meliputnya untuk rubrikku. Ia tipikal high class, jadi sudah beda level denganku yang bukan siapa-siapa.
"Ra, Ken masuk divisi kamu ya." kata pak Pras, wakil pimpinan.
"Hah, kenapa pak?" tanyaku, yang belum konsentrasi penuh.
"Kamu yang bina."
"Tapi kan saya cuma staff pak. Masa staff membina staff."
"Sudah, jalani saja. Saya percaya kamu. Gita sudah punya tanggung jawab lain soalnya. Tapi ngomong-ngomong kapan kamu cuti?"
"Enggak jadi pak."
"Loh, katanya mau nikah?"
"Batal pak."
"Oh, maaf Ra."
"Iya oke, Pak!"
"Saya titip Ken ya." pak Pras meninggalkan aku dan Ken di aula kantor, sementara yang lain sudah lanjut bekerja.
Fiuff. Ternyata aku harus banyak berlatih untuk bisa tetap tenang saat ada yang mempertanyakan tentang rencana pernikahan kami. Padahal tadi saat keluar dari mushalla rasanya hati sudah stabil, enggak akan gusar meski ada yang mempertanyakan. Tetapi tetap saja, aku masih kecewa.
"Tenanglah Rara. Kamu pasti bisa melewati semua ini." bisikku pada diri sendiri untuk mensugesti diri agar tidak larut dalam kekecewaan ini.
"Hem," suara deheman membuyarkan lamunanku.
"Eh maaf, saya lupa kalau harus mentraining. Oh ya, namanya siapa tadi?" tanyaku.
"Ken Bu." jawabnya.
"Jangan panggil ibu dong. Memang usianya berapa?"
"Dua puluh lima."
"Yah, berarti masih tuaan kamu. Tapi aku tetap panggil Ken enggak apa-apa, kan?"
"Iya enggak apa-apa Ra."
"Ra?"
"Rara kan?"
"Hah, iya."
Aku langsung memberi isyarat agar ia mengikuti menuju ruangan kami. Di sini diisi oleh sepuluh orang, salah satunya kak Gita, ia adalah seniorku.
"Kamu punya pengalaman apa?" tanyaku padanya. "Maksud saya di dunia kepenulisan. Pernah nulis enggak?"
"Enggak."
"Terus pernah apa?"
"Saya benar-benar baru, Ra."
"Oh, fresh graduate ya? Ya sudah. Yang penting rajin baca dan nanya saja. Di sini asyik kok. Semua orang baik-baik juga."
"Direkturnya juga baik?"
"Entah."
"Loh kok begitu jawabannya?"
"Yang aku tahu pimpinannya itu ya pak Pras. Kalau direktur utama entah siapa. Konon yang bakal mimpin kita itu anaknya pemilik perusahaan ini, tapi sampai sekarang belum kelihatan batang hidungnya."
"Oh ya?"
"Iya."
"Memang ada gosip tidak baik tentangnya?"
"Kalau itu aku enggak tahu dan nggak mau tahu. Aku paling enggak suka orang nanya-nanya tentang hal-hal nggak penting seperti ini. Jadi tolong jangan ajak aku buat ngegosip. Oke!"
"Oke. Maaf ya Ra."
"Enggak apa-apa."
Setelah mengarahkan Ken tentang apa yang harus ia kerjakan di awal, barulah aku lanjut dengan pekerjaan sendiri. Mulai mempersiapkan calon proyek baruku. Sebenarnya aku akan mempresentasikan nanti setelah cuti menikah, tetapi karena semuanya gagal, makanya jadwaknya akan aku majukan.
Lebih cepat lebih baik. Dari pada sekarang tidak melakukan apapun. Lagipula aku berharap dengan proyek baru yang sudah kusiapkan ini bisa membuat perusahaan semakin berkembang. Apalagi idenya muncul secara dadakan saat tadi sedang berdiam diri di mushalla.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Nyonya Harahap_81
banyak typo
resign, bukan resaind
2020-09-11
0
Santi Harahap
lanjuttt
2020-08-23
0
Sindi Kartika Putri
lanjut authorrr
2020-08-02
1