Nama gadis itu Monika Ariella. Gadis keturunan Indonesia campuran Inggris, usianya hampir sama denganku, hanya beda beberapa bulan. Bekerja di kantor kami kira-kira sejak enam bulan lalu sebagai model untuk beberapa produk pakaian muslimah meskipun sebenarnya ia tidak mengenakan hijab.
Monika sebenarnya tipe gadis supel yang gampang dekat dengan siapapun. Tapi denganku kami hanya pernah bertegur sapa beberapa kali. Saat berada di pantry, atau ketika rehat siang. Setelah itu ia tidak dekat sama sekali. Mungkin karena belum pernah punya projek bersama.
Gadis campuran itu baru di dunia modelling. Sebelumnya ia malah bekerja sebagai seorang desainer. Tetapi karena penampilannya yang good looking, akhirnya ditawarkan jadi seorang model dan kebetulan juga ia punya bakat di dunia tersebut secara alamiah.
Sayangnya, beberapa pekan lalu, tepatnya aku tidak terlalu ingat, ia memilih keluar meskipun sebenarnya sudah dapat kontrak baru. Entah apa alasannya, aku juga tidak terlalu tahu.
Aku hanya ingat, beberapa kali pernah mendapati Arif berbincang dengannya. Tetapi saat aku datang, mereka diam. Bahkan Monika menjauh meskipun sebenarnya aku tidak mempermasalahkan sebab bisa saja mereka bicara soal pekerjaan karena salah satu job Arif adalah sebagai fotografer di kantor ini. Tentunya memfoto Monika sebagai modelnya.
"Apa mereka benar-benar selingkuh di belakang kamu, Ra?" pertanyaan Dini membuyarkan lamunanku.
"Selingkuh?" entahlah, aku melihat semuanya wajar-wajar saja. Tidak ada yang aneh sama sekali.
Saat kami sedang berdiskusi, tiba-tiba kak Gita masuk. Ia ngos-ngosan, mungkin karena terburu-buru.
"Ada apa, kak? Kok sampai segitunya?" tanyaku, sambil menawarkan kursi dan segelas air minum.
Setelah duduk dan menghabiskan air minum, kak Gita mengaku naik dari lobi ke lantai melatih tempat ruanganku dengan tangga sebab ia tidak sabar, sementara lift tidak kunjung terbuka sebab banyak orang yang memakai hilir mudik di pagi hari.
"Ra, aku sangat yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Arif!" kata kak Gita.
"Kami juga yakin seperti itu, kak." Dini mengemukakan hasil diskusi kamu harusnya.
"Lalu sekarang bagaimana?" tanya Risa.
"Sebaiknya kamu hubungi Arif." kata kak Gita.
"Ngapain kak?" aku menggeleng. Setelah apa yang ia lakukan padaku, rasanya tidak ingin bertemu dengannya lagi. Tapi masa kak Gita menyuruh aku menghubunginya. Kan malas benget.
"Bukan apa-apa, Ra. Kamu berhak tahu apa yang sebenarnya terdapat." ungkap kak Gita. "Jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan apa?" tanyaku.
"Ya, pasti ada sesuatu!" ungkap Aya.
"Hufff, aku enggak tahu harus bicara apa. Bertemu saja rasanya masih malas." kataku. Bicara apa adanya yang aku rasakan.
"Konfrontasi!" kata kak Gita tegas.
"Bagaimana ya," aku masih berpikir.
"Jangan mikir lagi Ra. Sekarang juga telepon dia, minta ketemuan. Dia harus menjelaskan semuanya. Kamu tenang saja. Kami semua akan ikut menemani." ungkap Dini.
"Iya, benar!" kata Kak Gita, Risa dan Aya serentak.
Sebenarnya masih ragu untuk menghubungi Arif. Tapi apa yang dikatakan kak Gita dan ketiga sahabatku itu memang benar. Aku berhak tau apa yang sebenarnya terjadi. Kalau tidak ada apa-apa antara Arif dan Monika, kenapa pernikahannya begitu cepat. Hanya dua hari setelah ia membatalkan pernikahan kami tapi sudah langsung bagi undangan.
Melihat lokasi pernikahan yang cukup mewah, aku yakin persiapannya bukan sehari dua hari. Sama seperti pesta yang ingin digelar Mama saja memakan waktu sampai dua pekan lebih untuk persiapan saja. Padahal gedung yang kami pakai dibawah gedung yang dipesan Arif.
Mungkin karena aku terlihat masih ragu-ragu. Aya segera menekan gadget milikku agar tersambung pada nomor Arif. Jantungku langsung berdetak lebih kencang. Bukan karena grogi karena mau bicara dengannya, tapi bingung harus berkata apa?
[Assalamualaikum, Ra.] suara Arif menjawab teleponku.
[Wa'alai ... kumussalam.] aku bicara dengan suara terbata-bata.
[Kenapa Ra?]
Aku harus bilang apa? Aku melihat kak Gita, Aya, Dini dan Risa. Untungnya dengan sigap Aya membisikkan kata-kata padaku.
[Rif, bisa bicara?]
[Ini kan sudah bicara, Ra?]
[Maksudku, bisa kita ketemu.]
[Kenapa Ra?]
[Ada yang ingin aku katakan. Bisa?]
[Mmm, bagaimana ya Ra.]
[Cuma sebentar.]
[Ya sudah. Kapan?]
Lagi-lagi aku melirik mereka berempat, berharap petunjuk. Dengan sigap kak Gita menulis sesuatu di kertas.
[Sekarang.] usai mengatakan itu aku langsung menutup mulut. Sekarang? Aku yang tidak siap. Bagaimana ini? Sekarang selain deg-degan, badanku juga panas dingin dibuatnya.
[Dimana Ra? Tapi kamu datang sendiri ya, jangan bawa teman ataupun kak Gita.]
Lagi-lagi kak Gita menulis. Ia memintaku mengajak Arif ketemuan di taman belakang kantor. Setelah Arif menyetujui, ia menutup teleponnya.
"Kak kok sekarang sih?" tanyaku.
"Soalnya aku udah enggak sabar pengen bejek-bejek kepalanya si Arif itu!" kata kak Gita.
"Aku juga."
"Iya, aku juga!" kata Aya dan Dina bersamaan.
"Terus kenapa ngomongnya di taman belakang? Kan sepi?" tanyaku lagi.
"Ra, namanya mau meluapkan emosi ya di tempat tertutup supaya enggak ada yang tahu apa yang kita lakukan pada Arif." kata Dini.
"Biar gampang juga memutilasi dia," cetus Aya.
"Ih serem amat. Jangan merusak diri sendiri hanya gara-gara orang kayak gitu " Kataku yang masih bisa berpikir jernih meski sebenarnya akulah yang paling terluka sebab aku korbannya Arif. "Terus rencananya bagaimana nanti?" mengingat Arif enggak akan mungkin mau bicara kalau ada sahabat-sahabatku, apalagi kak Gita.
Arif sadar betul bahwa kak Gita masih sangat kesal padanya dan ia harus cari aman dengan menghindar terlebih dahulu agar tidak jadi korban pelampiasan emosi kak Gita.
Kami berlima mengatur strategi sebelum bertemu dengan Arif. Untuk urusan izin kantor, kak Gita yang mengaturnya. Kami tinggal beres sebab kak Gita yang akan bertanggung jawab atas segala resiko yang mungkin saja timbul atas perbuatan bolos kerja yang kompak kami lakukan.
Entahlah. Apakah aku sanggup bertemu dengannya. Tapi aku harus memberikan sedikit pelajaran pada Arif agar ia tidak berbuat seenaknya pada perempuan. Apalagi sudah banyak kerugian yang harus aku tanggung. Kalau ini tentang aku saja, mungkin aku bisa menahannya, tapi mengingat bagaimana sedihnya Mama karena batalnya pernikahan ini membuatku marah pada Arif. Selain harus menanggung malu, Mama juga kehilangan uang tabungannya secara sia-sia.
Bagi perempuan seperti mama yang harus bekerja keras di usia yang tidak lagi muda, mengumpulkan daba untuk biaya pernikahan itu tidaklah mudah. Arif harus bertanggung jawab untuk itu semua.
Aku setuju untuk bertemu dengan Arif untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Toh ialah yang awalnya datang baik-baik padaku. Meskipun sekarang ia akan menikah dengan Monika, tapi ia harus jelaskan semuanya terlebih dahulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Lina Atiek Budiarti
yang semangat ya Rara,,,kasih pelajaran biar kapok.
2020-08-21
0
Sindi Kartika Putri
raraaa semangatttt😊
2020-08-02
1
Umi Nadia Azza
semangat rara
2020-07-28
1