"Aku adalah anak korban perceraian. Semenjak dulu selalu membatasi pertemanan dengan lelaki sebab aku tidak bisa percaya pada lelaki manapun karena ayahku sendiri tidak pernah ada untukku.
Tetapi Arif mengubah semuanya. Entah kapan tepatnya, aku bisa membuka hati untuknya. Tapi ternyata itu semua harus berakhir begitu saja. Padahal besar sekali harapanku agar ialah yang mengobati trauma itu. Ialah yang akan membuka mataku bahwa tidak semua laki-laki itu tak bertanggung jawab. Heh, aku hanya terlalu naif saja." perlahan aku menghapus air mata terakhir yang turun.
"Sudah?" tanya Ken.
"Maaf, enggak seharusnya aku curhat sama kamu, Ken. Tadi hanya benar-benar merasa sesak."
"Enggak apa-apa Ra. Kamu boleh cerita apa saja padaku. Oh ya, kalau kamu ingin benar-benar merasa lega. Lebih baik sekarang ke mushalla. Salat Ra. Seberat apapun masalah kamu, tempat curhat yang paling baik adalah Allah. Pergilah ... aku enggak bisa menghilangkan beban di hati kamu."
Aku menuruti apa yang Ken katakan. Pergi ke mushalla kantor. Salat, lalu menangis sejadi-jadinya.
Ada banyak hal yang kuceritakan pada Allah. Tentang luka dan kecewa yang ditorehkan papa. Mungkin inilah saatnya aku berdamai dengan diri sendiri. Kalau kekecewaan itu tetap dipendam, maka lama-kelamaan hanya akan jadi penyakit. Aku hanya harus ikhlas.
Benar saja, usai berdoa dan meluapkan semua perasaan di hati, ada ini terasa begitu lega sekali. Hanya saja efeknya adalah mata yang bengkak.
"Ra, kamu enggak apa-apa?" tanya Ken saat aku kembali.
"Gara-gara kamu mataku jadi seperti ini." kataku, sambil menunduk, khawatir ada yang curiga.
Bukannya menjawab, anak baru itu malah terkekeh. "Jangan lupa, sebentar lagi kamu presentasi." katanya, lalu lanjut fokus pada komputernya.
Ya ampun, bagaimana aku bisa menangis sejadi-jadinya padahal sebentar lagi harus presentasi. Bisa-bisa semua orang tahu kalau aku habis nangis dan tatapan iba itu akan terus tertuju padaku. Padahal aku tak semalaman itu juga.
***
Hanya satu hari setelah pernikahannya, Arif masuk kerja. Iya, dia sudah masuk kerja padahal dapat jatah cuti sepekan. Aku yakin tidak salah melihat orang, ialah yang ada di koridor saat aku baru datang dan langsung ke pantry. Bukan karena ingin menghindar, tapi karena memang pengen membuta minuman dulu sebelum mulai kerja.
Aku enggak akan mempedulikannya lagi. Dia hanyalah orang asing yang benar-benar sudah tidak punya jejak apapun di hidupku. Kata-kata itu terus kubatinkan di dalam hati.
Sebenarnya aku memang sudah bisa bersikap normal. Segala kekecewaan yang kemarin terasa sudah perlahan aku hapus. Kini aku hanya ingin melangkah lanjut ke depan. Tetapi kadang orang-orang di sekitar kita saja yang membuta kondisinya semakin dramatis, meski kita baik-baik saja.
"Ra, kamu beneran enggak apa-apa?" tanya Anita, pagi ini, saat kami sama-sama menghabiskan teh hangat.
"Hm. Aku enggak apa-apa kok. Yang kemarin sudah aku lupakan." jawabku.
"Hai Ra, hai Nit! sapa seseorang yang barusan jadi pembicaraan kami.
Arif. Ia kini ada di hadapan kami. Dengan santainya duduk di meja yang sama, meletakkan bubur ayam yang baru ia beli. Lalu mulai menyantapnya.
Hanya beberapa suap ia menyendok buburnya. Lalu diam, kemudian mengangkat kepalanya. Menatap aku dan Anita bergantian.
"Kalian kenapa?" tanyanya.
"Enggak." kataku, lalu beralih pada cangkir tehku. Benar-benar manusia aneh. Bisa-bisanya dia sok tidak terjadi apa-apa. Astagfirullah, sabar Rara!
"Kok sudah masuk Rif?" tanya Anita.
"Enggak apa. Mau ngasih kejutan saja sama kalian, habisnya kalian juga kompak ngasih kejutan ke aku. Enggak pada datang di nikahanku. Ini pasti ide Rara, kan?" Arif menunjukku.
"Aku? Enggak." jawabku.
"Rara enggak ngomong apa-apa kok. Kami saja yang sepakat, enggak datang ke acara pernikahan peng ... ahhhh, aku takut berprasangka buruk, tapi gimana ya?" Anita memancing Arif.
"Enggak usah main sindir-sindir Nit, aku enggak ngelakuin kesalahan apapun. Aku hanya korban!" seru Arif. Ia lalu berdiri dari duduknya, menatapku sekilas, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan makanannya yang belum habis semuanya.
"Dih, aneh sekali. Kenapa menyebut dirinya korban. Jelas-jelas kamu korbannya. Iya, kan Ra?" tanya Anita.
"Udah Nit, jangan bahas ini lagi." aku pun ikut berlalu, setelah menghabiskan teh dalam gelasku.
Enggak Rara, kamu enggak perlu memikirkan apapun yang barusan dikatakan Arif. Biarkan saja ia dengan kehidupannya, toh ia sudah punya kehidupan sendiri, sudah punya istri. Aku harus menghargai Monika. Kamu enggak perlu peduli, apalagi sakit hati. Allah lebih tahu segala-galanya. Aku terus membatin sampai ke ruangan.
Siapa sangka, rubrik yang baru saja aku kelola kini jadi bahan perbincangan pemakai dunia maya. Beberapa pesan juga mulai masuk. Mulai dari curhatan pengalaman mereka sediri, pengalaman orang terdekat, hingga dukungan agar rubrik ini bisa jadi penyemangat. Aku menjadikan ini semua sebagai cambuk, bahwa begitu banyak orang-orang yang mengalami kegagalan, mereka harus disupport agar selalu berada dalam koridor yang benar.
"Wow Ra, rubrik kamu masuk trending lho di media sosial. Jadi bahan perbincangan orang-orang!" seru Aya, sambil melahap nasi Padang yang baru diantarkan oleh OB untuk menu makan siang kami.
"Alhamdulillah. Aku harap banyak manfaat yang bisa diambil orang-orang." kataku dengan penuh antusias.
"Bisa-bisa kamu naik pangkat lho gara-gara ini!" ungkap Dini.
"Aku enggak berani berharap banyak Din, kan cuma staff biasa." kataku. Memang benar beberapa waktu lalu kak Gita pernah membocorkan tentang isu bahwa aku akan dipromosikan, mungkin bakal jadi supervisor. Tetapi benar atau enggaknya aku tidak berharap banyak. Sekarang hanya ingin bekerja sebaik mungkin untuk masa depanku nanti.
"Ra!" lagi-lagi dia.
Setelah muncul di pantry lalu pergi begitu saja, kini ia muncul di hadapan aku dan ketiga sahabatku seperti tidak terjadi apa-apa. Memang benar aku sudah biasa saja, tapi kan harusnya ia segan atau setidaknya jaga jarak dulu.
"Mau apa kamu?" Aya langsung bangkit, siap untuk melayangkan tinjunya.
"Aku nggak cari ribut." jawab Arif, santai sekali.
"Terus mau apa?" Aya masih berdiri di hadapan Arif.
"Kalian kenapa sih? Katanya sudah ikhlas, kok masih nyimpan dendam?" tanya Arif lagi.
Sikapnya itu memang sangat mengesalkan, seolah-olah apa yang dilakukan kemarin hanya kesalahan kecil yang tidak patut dibesar-besarkan.
"Memang kami sudah ikhlas. Bahkan Rara sudah move on dari kamu, Rif. Cuma ya enggak gini juga. Tahu diri dong Rif, jaga jarak kek!" ungkap Aya, seolah paham isi hatiku.
"Move on? Yakin? Aku nggak percaya Rara sudah move on!" kata Arif dengan penuh percaya diri.
"Aku udah enggak peduli dengan apa yang terjadi kemarin, Rif." kataku dengan santai.
"Kalau kamu sudah move on, kenapa kamu bikin rubrik khusus untuk orang-orang patah hati? Kamu belum move on kan Ra? Udahlah, jujur saja!" Arif memaksaku mengakui sesuatu hal yang tidak benar.
"Terserah kamu mau percaya atau enggak." aku tidak peduli, ia mau percaya atau enggak. Yang penting aku memang sudah tidak punya perasaan apapun lagi padanya.
"Kalau begitu buktikan!" tantang Arif.
"Apa?" Aya kini maju.
"Aku mau gabung di grup rubrik Rara supaya bisa membuktikan bahwa ia benar-benar sudah move on." kata Arif.
"Hahaha, gila ya kamu Rif. Enggak akan pernah!" kata Aya.
"Kalau begitu benar. Rara belum bisa melupakan aku. Iya kan Ra? Sudahlah, mengaku saja!" kata Arif.
"Aku enggak butuh fotografer." kataku.
"Aku bisa jadi editor. Bagaimana? Kamu mau ngelak apa lagi?"
Ya Tuhan ... aku benar-benar heran. Kenapa ada manusia seperti Arif. Dia yang datang mendekat, lalu menbuangku begitu saja. Kini saat aku siap menata hidup baru, ia datang lagi. Mau kamu apa sih Rif?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Gita Risnawati
bener² gx tau malu si arif
2022-11-03
0
ISYATUR RAKHMAH
si arif pengen gue tonjok2 smpi bonyok
2022-11-03
0
Epit Sunimar
sumpah..gw pengen injek injek tuh si afif
2020-09-16
3