Di ruangan rapat, aku sudah siap dengan semua peralatan presentasi. Selain itu sudah hadir Pak Pras, Bu Tari dan kak Gita yang akan menilai apakah proyekku sesuai dengan perusahaan atau tidak.
Ken juga hadir di sini sebab pak Pras ingin ia bergabung dengan divisi yang akan aku jalani nantinya.
"Ra, kamu yakin akan mengerjakan rubrik ini?" tanya Bu Tari.
Aku sangat yakin pertanyaan itu muncul sebab kejadian pagi tadi. Saat aku mebtumuybahwa gagal nikah. Lalu sekarang aku membuta semacam ruang curhat untuk orang-orang yang senasib denganku.
"Yakin Bu." jawabku. Ide ini sebenarnya tidak muncul begitu saja sebab aku mengalaminya, tapi jauh-jauh hari. Aku juga berkaca dari pengalaman Mama. Bagaimana terpuruknya Mama saat bercerai dari papa. Tapi mama harus bangkit sendiri tanpa siapapun yang mendampingi. Sehingga hari-hari Mama begitu goyah.
"Ra, saya menghargai apa yang kamu ajukan, tapi saya enggak mau kamu jadi baper. Kita harus profesional. Kerja ya kerja. Urusan pribadi tidak boleh dibawa-bawa." ungkap Bu Tari lagi.
"Saya berusaha profesional kok Bu." kataku. Seperti yang selama ini aku lakukan. Proyek ini juga sudah melewati yang namanya survei yang cukup panjang. Banyak hal yang membuatku mempertimbangkan bahwa ia memang harus ada di majalah terbaru kami.
"Lalu kamu akan menuliskan curhat kamu juga?" pertanyaan bubTari sukses membuatku geram. Kenapa harus bawa-bawa aku.
"Ya enggak harus dong Bu." kataku.
"Berarti orang-orang yang mengalaminya juga enggak bakal mau curhat. Mereka pasti malu. Membahasnya sama saja membuka kenangan buruk." tambah bu Tari.
"Tapi saya yakin ini akan meledak Bu." kataku.
"Kalau begitu saya tantang kamu nulis dulu kisah kamu!" tantangan bubTari kembali membuatku mengelus dada.
Kenapa semuanya dibalikkan ke aku? Benar-benar membuat tidak nyaman. Padahal maksudku bukan untuk aku. Ini adalah wadah untuk orang-orang yang pernah patah hati.
"Sudah. Begini saja, bagaimana menurut mas Ken?" tanya pak Pras.
"Kok Ken sih?" tanyaku dan Bu Tari bersamaan.
"Ya tidak apa-apa. Sebagai orang yang masih baru. Saya ingin tahu pendapatnya. Pemikirannya masih sama dengan orang-orang umum di luar sana. Silakan mas Ken." pak Pras mempersilakan, sementara Bu Tari masih tetap belum Ridha kalau harus Ken yang memberikan penilaian sebab ia adalah anak baru di perusahaan ini. Sama sekali belum punya pengalaman, sementara Bu Tari sendiri sudah dua puluh tahun mendedikasikan dirinya untuk perusahaan ini.
"Saya setuju." jawaban Ken. Jawaban super pendek namun bisa membuat pak Pras juga menyetujui proyekku.
"Duh, apa-apaan ini pak Pras. Masa anak baru yang menentukan. Ini tidak relevan sekali." Bu Tari masih protes.
"Sudah Bu. Kalau menurut saya juga tidak ada salahnya Rara mencoba rubrik ini. Siapa tahu meledak." kata kak Gita yang mendukung penuh apa yang sudah kubuat. "Maju terus Ra!" kata kak Gita lagi, memberiku semangat.
Aku melangkah meninggalkan ruangan rapat, tentunya diikuti oleh Ken. Sebenarnya ada perasaan tidak enak sebab apa yang sudah kuusulkan tersebut ditentang oleh bu Tari.
"Ra, memang kamu gagal nikah?" pertanyaan Zen langsung membuatku terhenti.
Aku menatap lelaki yang kini hanya berjarak tiga meter dariku. "Iya!" jawabku.
"Sama siapa?"
"Apa kamu juga masuk tipe laki-laki tukang gosip?" aku balik bertanya, lalu berbalik, kembali ke ruangan sebab ia hanya tersenyum melihat ke arahku.
Pertanyaan itu ternyata masih terasa sensitif. Tiba-tiba saja aku menjadi pesimis. Apa proyekku ini akan berhasil? Aku saja tidak suka membahasnya. Terlalu menyebalkan rasanya. Di hati masih terasa betul sakitnya. Orang yang bernasib sama sepertiku juga pasti merasakannya. Malas untuk membahas.
Lalu apakah aku harus mundur seperti yang diinginkan bu Tari. Aku tidak ingin gagak juga dalam pekerjaan, setelah gagal nikah.
Ya Allah ...
***
Pulang kerja, siapa sangka Aya, Dini dan Risa sudah menunggu di depan kantor. Mereka tidak mengizinkan aku langsung pulang. Tapi mengajak jalan ke Taman Anggrek.
Sampai di sana, kami makan bakso dan lemon tea. Menu yang selalu jadi andalan kamu berempat kalau makan di luar. Iya, kami sama-sama pecinta bakso. Sampai-sampai pipi kami berempat juga kompak cuby.
Usai makan, kami main ice skating. Sebenarnya aku sudah menolak karena takut pulang kemalaman, tapi teman-teman tetap memaksa. Akhirnya aku ikut meluncur. Rasanya cukup menyenangkan. Meluncur sepuasnya sambil tertawa-tawa. Kadang berteriak sesuka hatiku.
"Luapkan saja semuanya Ra!" kata Aya, sambil meluncur mendahuluiku. Tetapi siapa sangka, ternyata ia malah menabrak orang yang ada di depannya hingga jatuh terlentang.
"Bagaimana Ra, perasaan kamu hari ini setelah main ice skating?" tanya Dini, sambil mengusap tangannya yang mulai kedinginan, sebab tidak pakai jaket.
"Seru!" jawabku.
"Kamu masih mikirin kata-kata Bu Tari?" tanya Aya.
"Dikit!" kataku, sambil menunjukkan ujung jari.
"Kalau begitu meluncur lagi sana!" perintah Aya.
"Enggak! Ini udah malam. Dingin banget. Aku udah enggak kuat. Capek. Besok juga kan harus kerja. Aku mau pulang saja." kataku, menolak permintaan Aya.
"Kalau begitu maju terus Ra, jangan pikirkan apa yang dikatakan Bu Tari!" Aya menyemangatiku.
"Siap!" kataku, demi mendapatkan izin keluar dari arena ice skating sebelum aku membeku di sini.
Di parkiran kamu berpisah. Aku langsung memacu motor menuju rumah, di bawah langit malam yang semakin gelap.
Ya Tuhan ... apakah hatiku akan seperti makam? Gelap gulita? Ahhhh tapi enggak, ada bulan dan bintang yang bersinar. Ada juga lampu kelap-kelip dari rumah orang-orang. Hidupku juga harus begitu. Aku harus tetap semangat. Menata kembali hati untuk kehidupan yang lebih baik. Duniaku belum berakhir meski di Arif membatalkan pernikahan. Toh aku tidak melakukan kesalahan, alasan dia membatalkannya karena aku terlalu baik. Ya, aku terlalu baik untuknya. Hahaha, semangat Rara!
Bruk. Motorku menabrak tiang yang ada di pinggir jalan. Sialnya lagi ada seseorang memakai baju cokelat-cokelat berdiri di situ. Polisi! Habislah aku.
"Permisi mbak, mohon tunjukkan ... eh, ini mbak yang waktu itu, kan?" ia melemparkan senyum padaku.
Polisi yang waktu itu. Ya Tuhan, mimpi apa aku bertemu lagi dengannya.
"Pertama kali saya bertemu mbak, nangis-nangis. Sekarang senyum-senyum. Sepertinya suasana hatinya lebih baik dari sebelumnya." kata polisi tersebut.
Senyum yang semula terkembang di bibir cepat-cepat kutarik. Malu sekali rasanya. Ini gara-gara menyemangati diri sendiri.
"Lho, kok senyumnya diambil lagi?" tanyanya padaku.
"Maaf pak, saya tidak sengaja menabrak tiangnya. Saya juga tidak tahu kalau di sana ada bapak, lagipula malam-malam ngapain ngumpet di sana. Maaf banget!" kataku sambil menautkan kedua tangan di depan.
"Sebenarnya saya bisa saja menilang mbak. Tapi karena suasana hati mbak sepertinya sedang bagus, ya sudah, mbak boleh pergi." katanya.
"Wah, terimakasih banyak pak." kataku.
"Iya, tapi lain kali hati-hati ya mbak ... maaf, namanya siapa?"
"Rara pak."
"Oh Rara. Saya Rangga."
"Sudah tahu."
"Oh ya, tahu darimana?"
Aku menunjuk papan nama di depan dadanya. Lalu setelah itu pamit pergi sebab tidak ingin jadi perhatian orang-orang yang sedang lalu-lalang sebab posisi kami persis di sebelah jembatan penyeberangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Santi Harahap
semangattt thor
2020-09-20
0
Ree.Pand
pak polisi sksd.. hhh
2020-08-20
3
Sindi Kartika Putri
hallo thor.. lanjutkan yaaa
2020-08-02
1