"Astagfirullah. Rara, kenapa kamu terpancing. Malah sibuk ingin memermak diri. Harusnya kamu melakukan muhasabah. Gagal nikah bukan berarti akhir segalanya. Pasti ada hikmahnya. Benar apa yang dikatakan Arif tadi, harusnya kamu bersyukur Ra, gagal nikah dari pada gagal di tengah jalan. Pasti lebih sakit lagi. Apalagi kalau sudah sempat punya anak. Bersyukur Ra, yakin Allah punya jawaban terbaik untuk masalah ini!" aku terus membatin sambil mengendarai motor.
Kini motor berhenti tepat di depan kedai bunga Mama. Kedai yang hanya terdiri dari tiga ruangan kecil. Paling depan tempat memajang bunga, tengahnya untuk kantor sekaligus tempat Mama istirahat, sedangkan di belakang ruang tempat menyimpan bunga-bunga yang baru datang, ditambah satu kamar mandi kecil.
Ruko ini letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Toko bunga yang menjadi sumber rezeki utama kami saat papa meninggalkan Mama begitu saja setelah bercerai tanpa memberikan nafkah untukku dan Dinda.
Dulu, setiap pulang sekolah, aku dan Dinda selalu pulang ke sini. Menghabiskan waktu, bahkan mengerjakan tugas sekolah dan tidur siang pun di sini. Makanya di kantor Mama ada kasur kecil untukku dan Rara tidur. Kami akan menunggu dengan sabar sampai Mama selesai berjualan. Kalau banyak pesanan bunga, bisa sampai jam sembilan malam baru Mama pulang.
Untuk menghemat pengeluaran, Mama memang tidak punya pegawai tetap. Hanya memanfaatkan jasa dua orang tukang ojek yang mangkal di ujung jalan untuk membantu Mama mengantarkan pesanan. Kadang malah Mama yang mengantarkan sendiri.
"Assalamualaikum, Mama." kataku, sambil memeluk Mama dari belakang. Tentu saja membuat Mama kaget.
"Rara?" Mama memastikan bahwa itu benar-benar aku. "Baru saja mama membatin, ternyata kamu datang."
"Sepertinya apa yang mama batinkan selalu kejadian ya."
"Hm. Makanya Mama menyesal pernah membatin tentang kamu Ra. Berat ketika harus ditinggal setelah menikah. Eh malah kejadiannya seperti ini."
"Diambil hikmahnya saja ma."
"Eh, tapi sebentar dulu. Kamu kok kelihatan beda, Ra?"
"Beda apanya, ma?"
"Jadi lebih kinclong dari biasanya."
"Hahaha, memang kelihatan sekali ya ma perbedaannya? Tadi Rara ke salon."
"Tumben. Kenapa Ra?"
"Itu, tadi Rara ketemu Arif."
"Ra,"
"Arif akan menikah ma."
"Maksudnya bagaimana, Ra?"
"Dia mau menikah akhir pekan ini dengan mantan model di kantor Rara. Mungkin Rara baper ma, jadinya kebawa perasaan. Secara enggak sadar jalan ke salon. Jadilah seperti ini. Tapi enggak banyak kok treatment yang Rara lakuin. Cuma creambath sama facial saja."
"Rara!" Mama langsung memelukku. "Pasti berat ya nak?"
"Enggak apa-apa kok ma. Rara sudah sadar. Enggak seharusnya Rara ngikutin perasaaan Rara. Harusnya Rara perbanyak instrospeksi diri. Mungkin Rara terlalu banyak kekurangan, bukan kelebihan. Hehehe."
Lagi-lagi Mama memelukku. Lalu mulai terdengar kata-kata penyesalan dari mulut Mama. Bagaimana Mama menyesali, harusnya dulu mengajariku sedikit berdandan saja, mungkin aku enggak akan merasa seburuk ini.
"Ya enggak apa-apa, ma. Rara baik-baik saja kok. Lagipula kalau untuk cantik harus melewati proses yang sangat menyakitkan seperti itu, Rara juga enggak mau. Rara sekarang sadar, yang harus diperbaiki itu bukan hanya fisik, tapi hati juga. Percuma kan ma punya wajah cantik tapi hatinya jelek."
Mama menyolek hidungku. Mencoba tersenyum meski aku tahu bagaimana perasaan Mama begitu sedih saat ini.
***
Ahad pagi. Sudah pukul sembilan. Aku masih asyik di kamar membuat outline pekerjaan yang harus kulakukan besok. Beberapa pesan masuk ke Hp. Dari teman-teman kantor yang mengatakan mereka tidak akan datang ke acara pernikahan Arif meskipun dapat undangan. Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas padaku yang ditinggal menikah.
Memang, saat ini, sedang hangat isu perselingkuhan. Siapa saja yang coba-coba melakukannya maka sanksi sosial pasti akan didapatkan olehnya. Padahal aku sendiri tidak melarang siapapun datang, termasuk sahabat-sahabatku karena mulai kemarin aku sudah benar-benar menyapu bersih kenangan tentang Arif.
Waktunya move on. Arif bukan seseorang yang berarti dan tak akan pernah berarti dalam kehidupanku.
Aku memang bukan manusia yang sempurna, tetapi tidak akan pernah memberikan toleransi untuk orang-orang yang berselingkuh. Itu hal prinsipil di hidupku.
***
Persis seperti yang aku duga. Senin pagi. Saat masuk kantor, semua orang masih memandang iba. Padahal aku sudah baik-baik saja. Ya, InsyaAllah aku sangat yakin sekali dengan hatiku sendiri bahwa aku sudah bisa melupakan Arif, apalagi ia sudah menikah dengan Monika. Enggak ada dan enggak akan pernah ada tempat sepesial untuknya.
"Benar lho Ra, jangan pernah lagi mau dibohongi oleh Arif. Cukup satu kali itu saja!" kata Aya dengan tegas saat kami makan siang.
"Ya enggaklah. Ngapain aku mikirin dia lagi. Apalagi sudah menikah." kataku dengan penuh keyakinan.
"Tapi kan laki-laki punya jatah empat Ra." cetus Aya lagi.
"Aya, apaan sih. Rara itu sudah move on, bisa enggak jangan bahas manusia enggak punya hati yang cuma bisa numpang hidup kayak parasit itu lagi? Enggak ada manfaatnya untuk kita. Yakin deh, Rara insyaAllah akan mendapatkan ganti yang terbaik dari Allah!" kata Dini dengan penuh keyakinan.
"Yap. Itu Benar. Aku enggak akan pernah memikirkan dia lagi!" kataku.
Usai makan siang, aku dan ketiga sahabatku kembali ke ruangan masing-masing. Ada banyak hal yang ingin mulai kukerjakan setelah beberapa hari tidak mempedulikan pekerjaan.
Pertama sekali, untuk membuka rubrik ku sendiri, akan ada tulisan kecil yang ingin kupersembahkan untuk para perempuan di luar sana, juga untuk diriku sendiri yang pernah patah hati agar segera move on. Hidup kita terlalu berharga untuk terus berada dalam hubungan yang toxic.
"Rara, kamu pasti bisa!" aku menyemangati diri sendiri saat kata-kata yang hendak kutuliskan macet di tengah jalan.
Papa, Rara sebenarnya butuh papa hadir di sini sebab Rara masih gamang, Pa. Mungkin, ini yang disebut dengan trauma. Tidak ada lagi perasaan bisa percaya pada lelaki. Mungkin Rara akan sulit memulainya, pa.
Tetes bening itu perlahan turun. Aku sudah berusaha menahannya tapi tetap saja turun, semakin lama makin deras. Ya Allah ...
Segera aku berlari ke kamar mandi. Membasuh muka beberapa kali. Setelah yakin bahwa semuanya baik-baik saja, aku segera keluar karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
"Ra," sebuah suara membuat langkahku terhenti.
"Ken. Kamu mau ke kamar mandi? Silakan." aku mempersilakan Ken.
"Kamu kenapa menangis?"
"Enggak. Siapa yang nangis? Ini enggak nangis kok. Enggak ada air matanya "
"Kalau kamu butuh teman bercerita, aku siap mendengarkan."
Harusnya aku tidak mengikuti Ken. Harusnya aku tahu batasan. Tapi kini kami berada di beranda kantor lantai empat. Sama-sama menatap ke depan. Bedanya aku menangis, sedangkan Ken diam mendengarkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Nyonya Harahap_81
kalo di dunia nyata, cowok kayak Arif ngapain ditangisi?! cuma seonggok wartawan doang. kalo tadi perwira TNI ato dokter, okelah ditangisi.. 😁
2020-09-11
0
Citra Ade Purnama
say no to arif ra
2020-08-03
1
Sindi Kartika Putri
ken sama rara nih kayaknya🤔🤔
2020-08-02
2