19. Segala Rasa

"Astagfirullah. Rara, kenapa kamu terpancing. Malah sibuk ingin memermak diri. Harusnya kamu melakukan muhasabah. Gagal nikah bukan berarti akhir segalanya. Pasti ada hikmahnya. Benar apa yang dikatakan Arif tadi, harusnya kamu bersyukur Ra, gagal nikah dari pada gagal di tengah jalan. Pasti lebih sakit lagi. Apalagi kalau sudah sempat punya anak. Bersyukur Ra, yakin Allah punya jawaban terbaik untuk masalah ini!" aku terus membatin sambil mengendarai motor.

Kini motor berhenti tepat di depan kedai bunga Mama. Kedai yang hanya terdiri dari tiga ruangan kecil. Paling depan tempat memajang bunga, tengahnya untuk kantor sekaligus tempat Mama istirahat, sedangkan di belakang ruang tempat menyimpan bunga-bunga yang baru datang, ditambah satu kamar mandi kecil.

Ruko ini letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Toko bunga yang menjadi sumber rezeki utama kami saat papa meninggalkan Mama begitu saja setelah bercerai tanpa memberikan nafkah untukku dan Dinda.

Dulu, setiap pulang sekolah, aku dan Dinda selalu pulang ke sini. Menghabiskan waktu, bahkan mengerjakan tugas sekolah dan tidur siang pun di sini. Makanya di kantor Mama ada kasur kecil untukku dan Rara tidur. Kami akan menunggu dengan sabar sampai Mama selesai berjualan. Kalau banyak pesanan bunga, bisa sampai jam sembilan malam baru Mama pulang.

Untuk menghemat pengeluaran, Mama memang tidak punya pegawai tetap. Hanya memanfaatkan jasa dua orang tukang ojek yang mangkal di ujung jalan untuk membantu Mama mengantarkan pesanan. Kadang malah Mama yang mengantarkan sendiri.

"Assalamualaikum, Mama." kataku, sambil memeluk Mama dari belakang. Tentu saja membuat Mama kaget.

"Rara?" Mama memastikan bahwa itu benar-benar aku. "Baru saja mama membatin, ternyata kamu datang."

"Sepertinya apa yang mama batinkan selalu kejadian ya."

"Hm. Makanya Mama menyesal pernah membatin tentang kamu Ra. Berat ketika harus ditinggal setelah menikah. Eh malah kejadiannya seperti ini."

"Diambil hikmahnya saja ma."

"Eh, tapi sebentar dulu. Kamu kok kelihatan beda, Ra?"

"Beda apanya, ma?"

"Jadi lebih kinclong dari biasanya."

"Hahaha, memang kelihatan sekali ya ma perbedaannya? Tadi Rara ke salon."

"Tumben. Kenapa Ra?"

"Itu, tadi Rara ketemu Arif."

"Ra,"

"Arif akan menikah ma."

"Maksudnya bagaimana, Ra?"

"Dia mau menikah akhir pekan ini dengan mantan model di kantor Rara. Mungkin Rara baper ma, jadinya kebawa perasaan. Secara enggak sadar jalan ke salon. Jadilah seperti ini. Tapi enggak banyak kok treatment yang Rara lakuin. Cuma creambath sama facial saja."

"Rara!" Mama langsung memelukku. "Pasti berat ya nak?"

"Enggak apa-apa kok ma. Rara sudah sadar. Enggak seharusnya Rara ngikutin perasaaan Rara. Harusnya Rara perbanyak instrospeksi diri. Mungkin Rara terlalu banyak kekurangan, bukan kelebihan. Hehehe."

Lagi-lagi Mama memelukku. Lalu mulai terdengar kata-kata penyesalan dari mulut Mama. Bagaimana Mama menyesali, harusnya dulu mengajariku sedikit berdandan saja, mungkin aku enggak akan merasa seburuk ini.

"Ya enggak apa-apa, ma. Rara baik-baik saja kok. Lagipula kalau untuk cantik harus melewati proses yang sangat menyakitkan seperti itu, Rara juga enggak mau. Rara sekarang sadar, yang harus diperbaiki itu bukan hanya fisik, tapi hati juga. Percuma kan ma punya wajah cantik tapi hatinya jelek."

Mama menyolek hidungku. Mencoba tersenyum meski aku tahu bagaimana perasaan Mama begitu sedih saat ini.

***

Ahad pagi. Sudah pukul sembilan. Aku masih asyik di kamar membuat outline pekerjaan yang harus kulakukan besok. Beberapa pesan masuk ke Hp. Dari teman-teman kantor yang mengatakan mereka tidak akan datang ke acara pernikahan Arif meskipun dapat undangan. Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas padaku yang ditinggal menikah.

Memang, saat ini, sedang hangat isu perselingkuhan. Siapa saja yang coba-coba melakukannya maka sanksi sosial pasti akan didapatkan olehnya. Padahal aku sendiri tidak melarang siapapun datang, termasuk sahabat-sahabatku karena mulai kemarin aku sudah benar-benar menyapu bersih kenangan tentang Arif.

Waktunya move on. Arif bukan seseorang yang berarti dan tak akan pernah berarti dalam kehidupanku.

Aku memang bukan manusia yang sempurna, tetapi tidak akan pernah memberikan toleransi untuk orang-orang yang berselingkuh. Itu hal prinsipil di hidupku.

***

Persis seperti yang aku duga. Senin pagi. Saat masuk kantor, semua orang masih memandang iba. Padahal aku sudah baik-baik saja. Ya, InsyaAllah aku sangat yakin sekali dengan hatiku sendiri bahwa aku sudah bisa melupakan Arif, apalagi ia sudah menikah dengan Monika. Enggak ada dan enggak akan pernah ada tempat sepesial untuknya.

"Benar lho Ra, jangan pernah lagi mau dibohongi oleh Arif. Cukup satu kali itu saja!" kata Aya dengan tegas saat kami makan siang.

"Ya enggaklah. Ngapain aku mikirin dia lagi. Apalagi sudah menikah." kataku dengan penuh keyakinan.

"Tapi kan laki-laki punya jatah empat Ra." cetus Aya lagi.

"Aya, apaan sih. Rara itu sudah move on, bisa enggak jangan bahas manusia enggak punya hati yang cuma bisa numpang hidup kayak parasit itu lagi? Enggak ada manfaatnya untuk kita. Yakin deh, Rara insyaAllah akan mendapatkan ganti yang terbaik dari Allah!" kata Dini dengan penuh keyakinan.

"Yap. Itu Benar. Aku enggak akan pernah memikirkan dia lagi!" kataku.

Usai makan siang, aku dan ketiga sahabatku kembali ke ruangan masing-masing. Ada banyak hal yang ingin mulai kukerjakan setelah beberapa hari tidak mempedulikan pekerjaan.

Pertama sekali, untuk membuka rubrik ku sendiri, akan ada tulisan kecil yang ingin kupersembahkan untuk para perempuan di luar sana, juga untuk diriku sendiri yang pernah patah hati agar segera move on. Hidup kita terlalu berharga untuk terus berada dalam hubungan yang toxic.

"Rara, kamu pasti bisa!" aku menyemangati diri sendiri saat kata-kata yang hendak kutuliskan macet di tengah jalan.

Papa, Rara sebenarnya butuh papa hadir di sini sebab Rara masih gamang, Pa. Mungkin, ini yang disebut dengan trauma. Tidak ada lagi perasaan bisa percaya pada lelaki. Mungkin Rara akan sulit memulainya, pa.

Tetes bening itu perlahan turun. Aku sudah berusaha menahannya tapi tetap saja turun, semakin lama makin deras. Ya Allah ...

Segera aku berlari ke kamar mandi. Membasuh muka beberapa kali. Setelah yakin bahwa semuanya baik-baik saja, aku segera keluar karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

"Ra," sebuah suara membuat langkahku terhenti.

"Ken. Kamu mau ke kamar mandi? Silakan." aku mempersilakan Ken.

"Kamu kenapa menangis?"

"Enggak. Siapa yang nangis? Ini enggak nangis kok. Enggak ada air matanya "

"Kalau kamu butuh teman bercerita, aku siap mendengarkan."

Harusnya aku tidak mengikuti Ken. Harusnya aku tahu batasan. Tapi kini kami berada di beranda kantor lantai empat. Sama-sama menatap ke depan. Bedanya aku menangis, sedangkan Ken diam mendengarkan.

Terpopuler

Comments

Nyonya Harahap_81

Nyonya Harahap_81

kalo di dunia nyata, cowok kayak Arif ngapain ditangisi?! cuma seonggok wartawan doang. kalo tadi perwira TNI ato dokter, okelah ditangisi.. 😁

2020-09-11

0

Citra Ade Purnama

Citra Ade Purnama

say no to arif ra

2020-08-03

1

Sindi Kartika Putri

Sindi Kartika Putri

ken sama rara nih kayaknya🤔🤔

2020-08-02

2

lihat semua
Episodes
1 Panggilan Dadakan
2 Pembatalan Sepihak
3 Perjalanan Pulang
4 Candaan Teman-teman
5 Sampai Di Rumah
6 Bernafas Sejenak
7 7. Harapan Mama
8 8. Mata Mama Berkaca-kaca
9 9. Mengurung Diri Di Kamar
10 10. Pengumuman: Aku Gagal Nikah
11 11. Karyawan Baru
12 12. Saat Semuanya Serba Salah
13 13. Pulang
14 14. Semua Salah Rara?
15 15. Arif Jadi Nikah?
16 16. Monika Ariella
17 17. Bertemu Arif
18 18. Gara-gara Enggak Cantik
19 19. Segala Rasa
20 20. Tuduhan Arif
21 21. Sabar Rara!
22 22. Naik Jabatan
23 23. Bertemu Papa
24 24. Nyaris Ditilang
25 25. Rara Yang Berprestasi
26 26. Mencari Mbak Yuni
27 27. Tangis Rara
28 28. Makan Siang Bersama Ken
29 29. Diantar Pulang Oleh Ken
30 30. Pesan Dari Ken
31 31. Bianca Minta Dicomblangi
32 32. Ken Datang Berkunjung
33 33. Gosip
34 34. Maaf, Aku Tidak Mau Ghibah!
35 35. Pengakuan Ken
36 36. Curhat Arif
37 37. Membesuk Mbak Yuni
38 38. Sebuah Tamparan Untuk Arif
39 39. Gosip Tentang Rara
40 40. Ujian Lagi?
41 41. Penjelasan Ken
42 42. DESAKAN MAMA
43 43. Ulang Tahun Yang Membawa Masalah
44 44. Perempuan-perempuan Di Sekeliling Ken
45 45. Perempuan-perempuan Di Sekeliling Ken (2)
46 46. Bertemu
47 47. Air Mata Buaya
48 48. Tamu Itu Adalah Papa
49 49. Seseorang Yang Selalu Ada
50 50. Terlambat
51 51. Tiga Orang Lelaki
52 52. Lamaran?
53 53. Lamaran? (2)
54 54. Apakah Harus Gagal Untuk Kedua Kalinya?
55 55. Beneran Dilamar
56 56. Persiapan Pernikahan
57 57. Sah!
58 58. Malam Penuh Cinta
59 59. Papa, Aku Menyayangimu
60 60. Ken Cemburu (Lagi?)
61 61. Kamu Adalah Rezeki Untukku
62 62. Peta Kehidupan Ken
63 63. Gina
64 64. Hadiah Dari Ibu Mertua
65 65. Perjalanan Ke Paris
66 66. Aku Percaya!
67 67. Rencana Shopping Dengan Ibu
68 68. Shopping Bersama Ibu
69 69. Drop
70 70. Perdebatan
71 71. Gosip Tentang Ken
72 72. Mama Masuk Rumah Sakit
73 73. Bertengkar Dengan Dinda
74 74. Permintaan Tante Wira
75 75. Permintaan Dinda
76 76. Palsu?
77 77. Maaf
78 78. Habibati
79 79. Suamiku Yang Baik
80 80. Berdebat Dengan Elsa
81 81. Pilih Agama
82 82. Ketemu Tante Wira
83 83. Datang Tiba-tiba
84 84. Datang Tiba-tiba (2)
85 85. Perjalanan Pulang
86 86. Pertemuan
87 87. Ragu
88 88. Terimakasih Tuhan
89 89. Posesif
90 90. Maaf Jika Aku Menyusahkan Kamu
91 91. Jaga Jarak
Episodes

Updated 91 Episodes

1
Panggilan Dadakan
2
Pembatalan Sepihak
3
Perjalanan Pulang
4
Candaan Teman-teman
5
Sampai Di Rumah
6
Bernafas Sejenak
7
7. Harapan Mama
8
8. Mata Mama Berkaca-kaca
9
9. Mengurung Diri Di Kamar
10
10. Pengumuman: Aku Gagal Nikah
11
11. Karyawan Baru
12
12. Saat Semuanya Serba Salah
13
13. Pulang
14
14. Semua Salah Rara?
15
15. Arif Jadi Nikah?
16
16. Monika Ariella
17
17. Bertemu Arif
18
18. Gara-gara Enggak Cantik
19
19. Segala Rasa
20
20. Tuduhan Arif
21
21. Sabar Rara!
22
22. Naik Jabatan
23
23. Bertemu Papa
24
24. Nyaris Ditilang
25
25. Rara Yang Berprestasi
26
26. Mencari Mbak Yuni
27
27. Tangis Rara
28
28. Makan Siang Bersama Ken
29
29. Diantar Pulang Oleh Ken
30
30. Pesan Dari Ken
31
31. Bianca Minta Dicomblangi
32
32. Ken Datang Berkunjung
33
33. Gosip
34
34. Maaf, Aku Tidak Mau Ghibah!
35
35. Pengakuan Ken
36
36. Curhat Arif
37
37. Membesuk Mbak Yuni
38
38. Sebuah Tamparan Untuk Arif
39
39. Gosip Tentang Rara
40
40. Ujian Lagi?
41
41. Penjelasan Ken
42
42. DESAKAN MAMA
43
43. Ulang Tahun Yang Membawa Masalah
44
44. Perempuan-perempuan Di Sekeliling Ken
45
45. Perempuan-perempuan Di Sekeliling Ken (2)
46
46. Bertemu
47
47. Air Mata Buaya
48
48. Tamu Itu Adalah Papa
49
49. Seseorang Yang Selalu Ada
50
50. Terlambat
51
51. Tiga Orang Lelaki
52
52. Lamaran?
53
53. Lamaran? (2)
54
54. Apakah Harus Gagal Untuk Kedua Kalinya?
55
55. Beneran Dilamar
56
56. Persiapan Pernikahan
57
57. Sah!
58
58. Malam Penuh Cinta
59
59. Papa, Aku Menyayangimu
60
60. Ken Cemburu (Lagi?)
61
61. Kamu Adalah Rezeki Untukku
62
62. Peta Kehidupan Ken
63
63. Gina
64
64. Hadiah Dari Ibu Mertua
65
65. Perjalanan Ke Paris
66
66. Aku Percaya!
67
67. Rencana Shopping Dengan Ibu
68
68. Shopping Bersama Ibu
69
69. Drop
70
70. Perdebatan
71
71. Gosip Tentang Ken
72
72. Mama Masuk Rumah Sakit
73
73. Bertengkar Dengan Dinda
74
74. Permintaan Tante Wira
75
75. Permintaan Dinda
76
76. Palsu?
77
77. Maaf
78
78. Habibati
79
79. Suamiku Yang Baik
80
80. Berdebat Dengan Elsa
81
81. Pilih Agama
82
82. Ketemu Tante Wira
83
83. Datang Tiba-tiba
84
84. Datang Tiba-tiba (2)
85
85. Perjalanan Pulang
86
86. Pertemuan
87
87. Ragu
88
88. Terimakasih Tuhan
89
89. Posesif
90
90. Maaf Jika Aku Menyusahkan Kamu
91
91. Jaga Jarak

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!